Libia Lawas yang Baru

By , Selasa, 22 Januari 2013 | 12:11 WIB

Tak lama setelah korban luka tembak per­tama diantarkan ke ruang gawat da­ru­rat di Rumah Sakit Al Jala di Benghazi pada 17 Februari 2011, seorang dokter bedah wanita mulai meneriakkan perintah. Kemudian dia terdiam. Mantan suaminya selalu berkata kepadanya, “Maryam, kaum wanita tidak boleh menjadi pengambil keputusan. Biarkan para le­laki menyampaikan pendapatnya terlebih da­hu­lu.”

Saat itu, warga sipil ditembaki di jalan­an Benghazi oleh tentara pemerintah. Orang-orang Qaddafi memerintahkan direktur rumah sakit untuk tidak menangani para pemberontak. Ketika direktur rumah sakit menentang pe­rintah mereka, antek-antek pemerintah mulai me­menuhi rumah sakit, mencatat nama para dok­ter yang terus bekerja.

Tetapi, Mar­yam Eshtiwy yang berusia 31 tahun, tidak me­lepas­kan jas putihnya dan pulang. Namun, dia pulang pun hanya untuk menyusui bayinya yang berusia enam bulan. Setelah itu, dia kembali merawat ratusan pemuda terluka. Dalam satu hari, tatanan sosial yang menyata­kan bahwa kaum wanita Libia harus tunduk ke­pada lelaki itu tiba-tiba mengalami per­geseran dahsyat yang menyentak.

Benarkah begitu? Libia telah lama merupakan negara Islam moderat. Qaddafi mendorong partisipasi wanita dalam pendidikan dan pekerjaan. Tetapi, masih harus dibuktikan apakah negara yang ber­­usaha untuk berhubungan kembali dengan tetangga Eropa di seberang Laut Tengah itu akan lebih merangkul kaum wanita—atau gagal me­manfaatkan bakat yang dimiliki setengah pen­duduknya.

“Jujur saja. Saya bekerja di dunia kaum lelaki,” katanya. Kepala departemen operasi—tentu saja seorang pria—bersikap keras kepadanya. Setiap kali dia mengemukakan diagnosisnya kepada kepala departemen, pria itu mendebat setiap hal, seolah-olah mendesaknya untuk mengundurkan diri. Eshtiwy dengan jelas menunjukkan sikap bahwa dia tidak berniat mengundurkan diri.

Dia juga menjelaskan hal itu kepada man­tan suaminya, seorang apoteker, sebelum per­nikah­an mereka: “Saya dokter bedah, saya bekerja di rumah sakit, dan saya mengendarai mobil sendiri.” Suaminya mengaku tidak keberatan dengan semua itu.

Pernikahan mereka adalah pernikahan yang dijodohkan. Sang suami diperkenalkan oleh kakak perempuannya, diikuti oleh pacaran selama dua bulan, pertunangan, kemudian pesta pernikahan tradisional selama tiga hari yang dihadiri 700 tamu.

Dalam waktu semalam, sikap sang suami ter­­hadap profesinya berubah drastis. “Maafkan saya karena mengatakannya, tapi kaum lelaki tidak suka istri mereka lebih baik darinya,” kata Eshtiwy. Suaminya menelepon pada suatu pagi untuk mengatakan bahwa dia akan menceraikannya.

Menurut hukum Islam Libia, wanita tidak memiliki hak perlindungan—bahkan seandainya pun wanita itu sedang hamil tiga bulan, seperti yang dialaminya saat itu. Ketika perang hampir setahun, keluarga dan teman-temannya mendesaknya, “Kembalilah kepada­nya—mungkin dia sudah lebih baik. Jika kau terbunuh di rumah sakit, anakmu tidak akan memiliki ibu.”

Sementara itu, para pemberontak yang cedera tidak mempermasalahkan jenis kelamin dokter bedah. Beberapa orang tampaknya lebih menyukai sikap dan kesabarannya dalam merawat pasien. Sekarang, di Rumah Sakit Al Jala, banyak suami mengungkapkan rasa lega bahwa dialah, bukan dokter lelaki, yang merawat istri mereka.!break!

Eshtiwy merasa relatif aman di tempatnya. Dia menceritakan wanita Benghazi lainnya dan berkata, “Wanita Libia sangat kuat, sangat pintar. Kami mampu bertahan hidup tanpa bantuan dari luar.” “Saya mengkhawatirkan semuanya,” ungkap­nya.

Dia lebih suka melihat Libia sebagai sebuah negara yang sepenuhnya bersatu. Namun, orang lain di kotanya menuntut otonomi yang jauh lebih besar. Udara dan jalanan dipenuhi dengan retorika menegangkan­—“perang yang terjadi sekarang adalah perang kata-kata,” kata Eshtiwy.