Libia Lawas yang Baru

By , Selasa, 22 Januari 2013 | 12:11 WIB

Di pantai barat terdapat Leptis Magna, salah satu situs arkeologi Romawi yang paling menakjubkan di dunia, gerbang ke­menangan dan forum yang luas serta jalanan ber­tiang meng­ingatkan pada puncak dinamika perkotaan. Lebih jauh ke barat terdapat bekas pusat perdagangan tepi laut Sabratah yang di­dominasi oleh teater batu pasir megah yang di­dirikan pada akhir abad ke-2 Masehi.

Karena melihat Sabratah sebagai perwakilan kejayaan Romawi yang indah, Mussolini memerintahkan agar teater itu, yang berupa puing-puing sejak gempa pada 365 M, dipugar. Il Duce menghadiri pembukaannya kembali pada 1937, ketika Oedipus Rex dipentaskan. Konon, penduduk setempat diperintahkan oleh tentara Italia untuk bertepuk tangan dengan penuh semangat hingga tangan mereka berdarah.!break!

Di sebelah timur terdapat situs arkeologi Libia paling abadi yang mampu menyaingi situs Romawi: benteng Yunani kuno di Cyrene, sebuah wilayah penting. Di tempat itu terdapat reruntuhan amfiteater dan Kuil Zeus kokoh berusia 2.500 tahun yang menunjukkan era kesuburan dan kekayaan. Setelah dikuasai kekuatan asing berabad-abad lamanya, suku Badui menyerang Libia pada abad ketujuh.

Bersama mereka datanglah Islam, kebudayaan spiritual yang mampu bertahan. Bahkan, tetap langgeng melalui setiap kekuatan eksternal berikutnya: Utsmaniyah, penjajah Italia, militer Inggris dan Amerika, perusahaan minyak asing, dan monarki yang didukung oleh Barat.

Setelah kudeta militer yang menggulingkan Raja Idris pada 1969, Qaddafi segera mulai menulis ulang sejarah Libia. Dia tidak mengacuhkan suku pribumi Berber Afrika Utara, atau Amazigh, dan mengakui bangsa Arab sebagai orang Libia asli. Dengan demikian, dia mengangkat dirinya sendiri, putra seorang pengembara Arab Badui, sebagai pusat jati diri Libia.

Situs Yunani dan Romawi kuno di Libia tidak berarti apa-apa baginya. Dia mengidentikkan reruntuhan itu dengan penjajah Italia. Qaddafi terkenal sering tidur di tenda, bah­kan saat kunjungan kenegaraan ke Paris dan ibu kota Eropa lainnya. Dia mendukung versi etika Badui yang ketinggalan zaman, kata Mohammed Jerary, direktur arsip nasional Libia.

“Sebagai seorang Badui, dia ingin menerapkan nilai-nilai Badui pada nilai-nilai yang sudah ada, tenda menaklukkan istana. Dia ingin kami melupakan kota yang tertata dan berbagai hal yang sangat canggih—bahkan juga dalam bidang budaya dan ekonomi. Tetapi, orang Badui sendiri tidak selamanya primitif. Mereka tahu bahwa tidak­lah santun menjarah tempat lain setiap kali untanya kehabisan makanan. Mereka bel­ajar menerapkan sistem dan pemerintahan. Se­balik­nya, Qaddafi malah hanya menerapkan segi negatif kehidupan kaum Badui.”

Pemerintahannya adalah kekacauan besar yang direkayasa. “Tidak ada rutinitas—semua­nya dapat berubah setiap saat, mengacaukan segalanya,” kata Walda kepada saya. “Tiba-tiba saja kami tidak boleh memiliki rumah kedua. Kami tidak boleh bepergian ke luar negeri.

Kami tidak boleh bermain dalam tim olahraga. Kami tidak boleh mempelajari bahasa asing.” Banyak cendekiawan paling menonjol di negara itu digiring ke penjara Abu Salim yang menakutkan; di situ, sekitar 1.200 orang dibantai oleh sipir penjara pada 1996.

Ulama Muslim di­penjarakan karena tampak lebih setia kepada Islam daripada kepada pemimpin mereka. Para pendukung setia Qaddafi yang menjadi anggota komite revolusioner mengawasi ruang kelas dan tempat kerja. Daftar pegawai negeri membengkak karena ratusan ribu pekerja di­bayar dengan upah seadanya tanpa perlu me­laku­kan apa pun.

Para bujangan menjalani gaya hidup mewah, sementara itu para kritikus rezim, seperti yang disebutkan dengan puitis oleh sejumlah warga Libia, “Hilang tanpa kabar.”

Bahkan, geografi Libia pun tidak luput dari ulahnya. “Dia mendorong laut menjauh dari Tripoli, mengisi dasar lautan dengan pasir dan menanam pepohonan palem di sana—untuk menunjukkan bahwa Libia telah memalingkan wajahnya dari Laut Tengah,” kata Mustafa Turjman, pakar arkeologi di Departemen Purbakala sejak 1979. “Dia dewa keburukan!”!break!