Libia Lawas yang Baru

By , Selasa, 22 Januari 2013 | 12:11 WIB

Bagi warga Misratahh, tetangga itu ada­lah warga Tawurgha yang merupakan kota kelas pekerja. Kota itu pula yang menjadi tempat pasukan pe­merintah meluncurkan serangan ganas ke Misratahh.

Visi utama Qaddafi untuk Libia adalah filo­sofi populisme haus perang, yang dirancang untuk melemahkan pusat-pusat perkotaan yang mengancam pusat kekuasaannya. Untuk men­capai tujuan itu, dia membagi-bagikan pe­kerja­an dan perumahan kepada warga Tawurgh sebagai imbalan atas kesetiaan mereka. Mereka hampir seluruhnya bangsa Afrika ke­turun­an sub-Sahara berkulit gelap.

Strategi me­mecah-belah ini menyebabkan berbagai kota serta sejumlah kelompok etnis dan suku saling bersaing di seluruh penjuru Libia. Revo­lusi me­nyebab­kan wilayah yang terpecah-belah ini menjadi medan pertempuran. Suka­relawan Tawurgha yang bergabung dengan pasukan Qaddafi bergerak menuju Misratahh, membunuhi tetangga mereka, dan, dalam be­berapa kasus, memperkosa kaum perempuan tetangga mereka.

Tuduhan itu terbantahkan, kecuali satu: Tawur­gha sekarang menjadi kota hantu. Warga Misratah mengosongkan kota dengan paksa dan menghancurkan sebagian besar bangunannya. Hampir 30.000 warga Tawurgha sekarang ting­gal di kamp pengungsian, terutama di Benghazi dan Tripoli.

Ketika saya berada di Tawurgha, jalanan tampak ko­song. Hanya selongsong peluru yang ber­serak­­an di mana-mana, beberapa pakaian compang-camping, dan seekor kucing yang se­tengah kelaparan. Jalanan menuju kota dijaga ketat oleh milisi Misratah. Tidak seorang pun diperbolehkan kembali ke Tawurgha.

Warga Misratah dengan keras kepala menolak untuk berdamai. Seperti yang disampaikan ke­pada saya oleh salah seorang pedagang setempat yang terkemuka, Mabrouk Misurati. Dia berkata dengan suara keras yang bergetar, “Kami tidak bisa menerima mereka yang telah memperkosa dan membunuh saudari kami untuk tinggal di tengah-tengah kami lagi! Ini bukan hal yang mudah! Kami meminta rekonsiliasi hanya kepada pemerintah—yaitu menyeret orang-orang yang melakukan kejahatan itu ke depan meja hijau. Setelah itu, barulah kita bisa membicarakan pemulangan mereka.”!break!

Nafsu untuk membalas dendam ini meng­khawatir­kan kepala polisi baru Misratahh. “Kita tidak dapat menyamaratakan semua rakyat Tawurgha,” kata Albera. “Kita tidak boleh melakukan hukuman massal seperti yang dilakukan Qaddafi. Kita harus bertindak sesuai dengan hukum yang berlaku. Inilah yang kami coba capai di Libia yang baru.”

Kepala polisi itu telah berhasil membentuk dewan keamanan beranggotakan milisi yang lebih berkepala dingin, dan membujuk mereka untuk menginventarisasi senjata. “Kami perlu mengendalikan semuanya lagi,” katanya. Terlalu banyak penembakan yang terjadi—sebagian karena tidak disengaja dan beberapa disebabkan oleh pertumpahan darah yang bengis.

Terlalu banyak penjahat yang dibebaskan dalam kekacauan revolusi dan berkeliaran di jalanan. Namun, sebaliknya, ujar kepala polisi itu, mereka pernah bertempur dengan gagah berani di sampingnya. Bahkan, sudah terlalu banyak anak muda me­ngonsumsi narkoba. Setidaknya dia dapat me­mahami hal ini.

“Mengingat apa yang baru saja mereka lalui, banyak di antaranya yang me­merlukan perawatan psikologis,” kata sang kepala polisi. “Sejujurnya, mungkin kami semua memerlukannya. Putra saya yang berusia 17 tahun—dia melihat kakak lelakinya roboh ke tanah tepat di sampingnya.”

Tetapi, bagaimana cara sebuah bangsa mulai membersihkan jiwanya? Sekarang ini di Misratahh, murid sekolah yang dahulu dipaksa membaca Kitab Hijau diharapkan benar-benar melupakan penulisnya.“Seluruh masa pemerintahan Qaddafi telah dihapus dari buku pelajaran,” kata seorang guru setempat kepada saya. “Kami tidak akan pernah lagi menyebut namanya. Dia telah dilupakan.”

Jejak kebesaran masa lalu Libia tetap ter­lihat jelas berkat iklimnya yang kering, ter­hampar di sejumlah daerah perkotaan. Keyakinan tradisional untuk tidak mengganggu ba­rang peninggalan orang mati, dan berlimpahnya pasir menjadi pengawet yang optimal.