Libia Lawas yang Baru

By , Selasa, 22 Januari 2013 | 12:11 WIB

Patung perunggu musuh Muammar Qaddafi tergeletak telentang di dalam peti kayu, diselimuti kegelapan gudang museum. Namanya Septimius Severus. Seperti Qaddafi, dia berasal dari negara yang sekarang disebut sebagai Libia.

Selama 18 tahun pada penghujung abad kedua dan awal abad ketiga Masehi, dia memerintah Kekaisaran Romawi. Tempat kelahirannya, Leptis Magna, adalah kota perdagangan 130 kilo­meter sebelah timur dari daerah yang pernah disebut bangsa Fenisia sebagai Oea, atau yang sekarang disebut Tripoli.

Kota itu menjadi kawasan yang sangat cocok untuk disebut sebagai Roma kedua. Lebih dari 1.700 tahun setelah kaisar tersebut mangkat, penjajah Italia di Libia menghormatinya dengan mendirikan patung berjenggot yang memukau. Patung itu memegang obor yang diacungkan tinggi-tinggi dengan tangan kanannya.

Mereka meletakkannya di alun-alun Tripoli (sekarang Martyrs’ Square) pada 1933—yang bertahan selama setengah abad sampai penguasa Libia berikutnya merasa terganggu oleh kehadirannya.

“Patung itu menjadi corong oposisi karena dialah satu-satunya sosok yang tidak dapat dihukum Qaddafi,” kata Hafed Walda, warga asli Libia dan dosen arkeologi di King’s College, London. “Setiap hari orang bertanya, ‘Apa yang mungkin dikatakan Septimius Severus se­­karang?’ Jadi, Qaddafi membuangnya ke tumpukan sampah. Warga Leptis Magna me­nyelamat­kannya dan membawanya pulang. “Dan di sanalah saya menemukannya, beristirahat dalam kotak kayu, menunggu nasib yang akan diberikan Libia baru kepadanya.

Qaddafi tidak salah ketika menganggap patung itu sebagai ancaman. Ini lantaran Septimius Severus melambangkan kenangan pilu akan Libia masa lalu. Kenangan itu berupa wilayah Laut Tengah dengan kekayaan budaya dan ekonomi yang sangat melimpah, sekaligus memiliki hubungan erat dengan dunia lain di balik lautan.

Garis pantainya membentang lebih dari 1.800 kilometer, dibentengi dataran tinggi yang memudar menjadi sejumlah wadi semi kering dan akhirnya menjadi gurun kecokelatan. Libia sudah lama menjadi jalur perdagangan dan seni serta aspirasi sosial yang tak terpadamkan. Wilayah tiga-kota Tripolitania—Leptis Magna, Sabratah, dan Oea—pernah menghasilkan gandum dan zaitun bagi warga Roma.

Namun, Qaddafi menyia-nyiakan kelebihan negaranya: lokasi yang tepat berada di selatan Italia dan Yunani, menjadikannya salah satu pintu gerbang Afrika ke Eropa. Kelebihan lain­nya, populasi yang dikelola dengan baik (kurang dari tujuh juta orang menghuni daratan seluas enam kali Italia) dan cadangan minyak yang besar.

Dia membungkam inovasi dan kebebasan berekspresi. Murid-murid sekolah menghafalkan falsafah kusut Qaddafi sebagaimana tertulis dalam Kitab Hijau-nya. Mereka menemukan bahwa kisah negara me­reka hanya terdiri atas dua bab: hari-hari gelap di bawah penjajahan imperialis Barat dan ke­jayaan Pemimpin Persaudaraan.!break!

Sekarang seluruh bangsa menjalani per­juangan penciptaan kembali yang liar berdenyut. Seperti yang diungkapkan Walda, “Perjalanan penemuan jati diri baru saja dimulai. Dari ba­nyak aspek, saat ini jauh lebih berbahaya dari­pada masa perang.” Penjara darurat dijejali ribuan pendukung setia Qaddafi.

Kaum milisi mengendalikan sebagian besar negeri ini. Senjata tidak lagi kasatmata seperti pada masa perang. Ratusan ribu orang yang memiliki senjata cukup pintar untuk me­nyembunyikannya. Jalan raya di daerah pe­desaan tetap tidak diawasi pihak kepolisian (tidak termasuk sejumlah pos pemeriksaan yang dijaga oleh bekas pemberontak atau thuwwar). Sejumlah kroni utama Qaddafi, serta istri dan beberapa anaknya, masih diburu. Beberapa menteri baru sudah mulai menerima suap.

Serangan teroris bulan September lalu ke Konsulat AS di Benghazi meninggalkan kesan yang jelas bahwa Libia adalah negara yang di ujung tanduk. Tetapi, meskipun terus bergolak, Libia tidak berada di ambang anarki. Kongres Nasional Umum yang terpilih secara demokratis sedang membentuk konstitusi baru.

Tripoli pada umumnya tetap aman. Di pusatnya, Martyrs’ Square—medan kontak senjata se­lama revolusi—tampak beberapa pengendara sepeda motor berzig-zag dengan suara menderu di sekitar permainan anak-anak yang baru dipasang. Di selatan alun-alun, penjaja kaki lima menjual buku, ma­ja­lah, dan koran baru yang bermunculan. Di timur, puluhan warga Libia berkumpul di teras kafe jazzy di bawah menara jam zaman Utsmaniyah, berceloteh sambil menikmati latte dan roti croissant.

Spanduk dan grafiti yang menggambarkan bendera Libia merah-hitam-hijau kini kembali menghiasi setiap bangunan. Sebelumnya, bendera itu pernah dilarang Qaddafi selama 42 tahun karena keterkaitannya dengan Raja Idris yang digulingkan.

Papan iklan dan poster menampilkan gambar sekian banyak pejuang Libia yang gugur, dengan tulisan seperti: “Kami gugur untuk kemerdekaan Libia—jagalah agar tetap merdeka!”

Di balik ketidakpastian yang bergejolak ini, terdapat bangsa yang dirasuki semangat muda untuk bergabung kembali dengan dunia bebas. Salaheddin Sury, profesor di Pusat Arsip Nasional dan Studi Sejarah pada 80-an, berkata kepada saya, “Ketika kami mendapatkan kemerdekaan pada 1951, kemerdekaan itu boleh dikatakan diperoleh dengan gratis. Kali ini para pemuda membayarnya dengan darah. Saya tidak pernah mengacuhkan lagu kebangsaan saat itu. Sekarang, untuk pertama kalinya,” katanya sambil menyeringai bangga, “Saya mampu menghafalnya di luar kepala.”!break!

Namun, pengibaran bendera hanya menawarkan fatamorgana jalan pintas. Seperti yang diakui Sury, pembangunan kembali Libia “dimulai dari nol.” Serangan teroris pada September lalu menebarkan kegalauan dalam meningkatkan stabilitas dan membangun kembali pemerintahan Libia.

Masih terlalu dini untuk menyimpulkan apakah 30.000 warga Libia yang mengecam serangan milisi itu kelak merupakan pertanda yang lebih baik untuk masa depan Libia. Sekarang, seperti patung Severus di dalam kotak kayu, negara ini menunggu masa depannya.

Ketika revolusi melanda pusat komersial Misratahh pada Februari 2011, Omar Albera menemui keluarganya dan berkata, “Aku akan melepaskan baju seragamku dan melawan Qaddafi.” “Kamu polisi Qaddafi,” seru istrinya. “Orang lain pasti akan mencurigaimu. Dan bagaimana jika revolusi gagal? Apa yang akan terjadi?”

Hanya putra sulung kolonel polisi itulah yang memuji keputusannya—kemudian ber­juang di samping ayahnya dan tewas dalam per­tempuran. Kaum pemberontak berusia muda yang dipimpin kolonel polisi itu belum ber­pengalaman dalam peperangan.

Pada awalnya, mereka melemparkan batu dan bom Molotov. Begitu para pemberontak mulai memperoleh sen­jata api dari para tentara yang tewas, kolonel polisi ini mengajarkan cara menembak. Beberapa di antaranya adalah penjahat yang dahu­lu dijebloskannya ke dalam penjara. Mereka lebih tangguh daripada yang lain; dia senang mendapatkan bantuan mereka dan mereka pun akhirnya memandangnya sebagai sesama pejuang.

Warga Misratahh akhirnya mampu memukul mundur pengepungan yang ganas—hal yang sangat menentukan dalam revolusi—selama tiga bulan oleh pasukan Qaddafi. Setelah itu Albera kembali mengenakan seragam polisi yang sudah dikenakannya selama 34 tahun pada masa rezim Qaddafi.

Sekarang dia menjadi kepala polisi Misratahh. Tujuannya adalah memperkenalkan konsep tugas kepolisian yang berbeda kepada warga kotanya. Maksudnya, bahwa orang yang mengenakan seragam polisi bukanlah pencuri atau preman, melainkan pelindung. Kepala polisi baru ini bukanlah seorang idealis yang ceria. Dia tidak pernah bermimpi bahwa kredibilitas dapat dimenangkan dalam waktu semalam, padahal menurut sejarah, tiga perempat polisi Libia adalah petugas korup.!break!

Persoalan yang sesungguhnya semakin memberatkan tantangan yang dihadapi Albera adalah bahwa dia bukanlah pimpinan otoritas penegak hukum di Misratahh. “Thuwwar-lah ke­­kuatan kota yang sesungguhnya,” ujarnya me­ngakui. Peralatan departemen kepolisian hancur selama perang; para pemuda yang di­bantu­nya berlatih untuk berperang dalam revolusi sekarang menjadi kawanan bersenjata.

“Walaupun pemberani, mereka tidak dilatih untuk menjadi pemimpin,” katanya. “Banyak yang jujur. Ada juga yang mudah dipengaruhi. Hal ini menciptakan situasi yang sangat rapuh.” Rakyat kecil yang menggulingkan pemimpin kejam itu sekarang menguasai seantero negeri dan tidak berniat mengembalikannya kepada pe­mimpin baru. Selain itu, Para pendukung Qaddafi masih berkeliaran di tengah-tengah me­reka. Beberapa malah berte­tangga.

Bagi warga Misratahh, tetangga itu ada­lah warga Tawurgha yang merupakan kota kelas pekerja. Kota itu pula yang menjadi tempat pasukan pe­merintah meluncurkan serangan ganas ke Misratahh.

Visi utama Qaddafi untuk Libia adalah filo­sofi populisme haus perang, yang dirancang untuk melemahkan pusat-pusat perkotaan yang mengancam pusat kekuasaannya. Untuk men­capai tujuan itu, dia membagi-bagikan pe­kerja­an dan perumahan kepada warga Tawurgh sebagai imbalan atas kesetiaan mereka. Mereka hampir seluruhnya bangsa Afrika ke­turun­an sub-Sahara berkulit gelap.

Strategi me­mecah-belah ini menyebabkan berbagai kota serta sejumlah kelompok etnis dan suku saling bersaing di seluruh penjuru Libia. Revo­lusi me­nyebab­kan wilayah yang terpecah-belah ini menjadi medan pertempuran. Suka­relawan Tawurgha yang bergabung dengan pasukan Qaddafi bergerak menuju Misratahh, membunuhi tetangga mereka, dan, dalam be­berapa kasus, memperkosa kaum perempuan tetangga mereka.

Tuduhan itu terbantahkan, kecuali satu: Tawur­gha sekarang menjadi kota hantu. Warga Misratah mengosongkan kota dengan paksa dan menghancurkan sebagian besar bangunannya. Hampir 30.000 warga Tawurgha sekarang ting­gal di kamp pengungsian, terutama di Benghazi dan Tripoli.

Ketika saya berada di Tawurgha, jalanan tampak ko­song. Hanya selongsong peluru yang ber­serak­­an di mana-mana, beberapa pakaian compang-camping, dan seekor kucing yang se­tengah kelaparan. Jalanan menuju kota dijaga ketat oleh milisi Misratah. Tidak seorang pun diperbolehkan kembali ke Tawurgha.

Warga Misratah dengan keras kepala menolak untuk berdamai. Seperti yang disampaikan ke­pada saya oleh salah seorang pedagang setempat yang terkemuka, Mabrouk Misurati. Dia berkata dengan suara keras yang bergetar, “Kami tidak bisa menerima mereka yang telah memperkosa dan membunuh saudari kami untuk tinggal di tengah-tengah kami lagi! Ini bukan hal yang mudah! Kami meminta rekonsiliasi hanya kepada pemerintah—yaitu menyeret orang-orang yang melakukan kejahatan itu ke depan meja hijau. Setelah itu, barulah kita bisa membicarakan pemulangan mereka.”!break!

Nafsu untuk membalas dendam ini meng­khawatir­kan kepala polisi baru Misratahh. “Kita tidak dapat menyamaratakan semua rakyat Tawurgha,” kata Albera. “Kita tidak boleh melakukan hukuman massal seperti yang dilakukan Qaddafi. Kita harus bertindak sesuai dengan hukum yang berlaku. Inilah yang kami coba capai di Libia yang baru.”

Kepala polisi itu telah berhasil membentuk dewan keamanan beranggotakan milisi yang lebih berkepala dingin, dan membujuk mereka untuk menginventarisasi senjata. “Kami perlu mengendalikan semuanya lagi,” katanya. Terlalu banyak penembakan yang terjadi—sebagian karena tidak disengaja dan beberapa disebabkan oleh pertumpahan darah yang bengis.

Terlalu banyak penjahat yang dibebaskan dalam kekacauan revolusi dan berkeliaran di jalanan. Namun, sebaliknya, ujar kepala polisi itu, mereka pernah bertempur dengan gagah berani di sampingnya. Bahkan, sudah terlalu banyak anak muda me­ngonsumsi narkoba. Setidaknya dia dapat me­mahami hal ini.

“Mengingat apa yang baru saja mereka lalui, banyak di antaranya yang me­merlukan perawatan psikologis,” kata sang kepala polisi. “Sejujurnya, mungkin kami semua memerlukannya. Putra saya yang berusia 17 tahun—dia melihat kakak lelakinya roboh ke tanah tepat di sampingnya.”

Tetapi, bagaimana cara sebuah bangsa mulai membersihkan jiwanya? Sekarang ini di Misratahh, murid sekolah yang dahulu dipaksa membaca Kitab Hijau diharapkan benar-benar melupakan penulisnya.“Seluruh masa pemerintahan Qaddafi telah dihapus dari buku pelajaran,” kata seorang guru setempat kepada saya. “Kami tidak akan pernah lagi menyebut namanya. Dia telah dilupakan.”

Jejak kebesaran masa lalu Libia tetap ter­lihat jelas berkat iklimnya yang kering, ter­hampar di sejumlah daerah perkotaan. Keyakinan tradisional untuk tidak mengganggu ba­rang peninggalan orang mati, dan berlimpahnya pasir menjadi pengawet yang optimal.

Di pantai barat terdapat Leptis Magna, salah satu situs arkeologi Romawi yang paling menakjubkan di dunia, gerbang ke­menangan dan forum yang luas serta jalanan ber­tiang meng­ingatkan pada puncak dinamika perkotaan. Lebih jauh ke barat terdapat bekas pusat perdagangan tepi laut Sabratah yang di­dominasi oleh teater batu pasir megah yang di­dirikan pada akhir abad ke-2 Masehi.

Karena melihat Sabratah sebagai perwakilan kejayaan Romawi yang indah, Mussolini memerintahkan agar teater itu, yang berupa puing-puing sejak gempa pada 365 M, dipugar. Il Duce menghadiri pembukaannya kembali pada 1937, ketika Oedipus Rex dipentaskan. Konon, penduduk setempat diperintahkan oleh tentara Italia untuk bertepuk tangan dengan penuh semangat hingga tangan mereka berdarah.!break!

Di sebelah timur terdapat situs arkeologi Libia paling abadi yang mampu menyaingi situs Romawi: benteng Yunani kuno di Cyrene, sebuah wilayah penting. Di tempat itu terdapat reruntuhan amfiteater dan Kuil Zeus kokoh berusia 2.500 tahun yang menunjukkan era kesuburan dan kekayaan. Setelah dikuasai kekuatan asing berabad-abad lamanya, suku Badui menyerang Libia pada abad ketujuh.

Bersama mereka datanglah Islam, kebudayaan spiritual yang mampu bertahan. Bahkan, tetap langgeng melalui setiap kekuatan eksternal berikutnya: Utsmaniyah, penjajah Italia, militer Inggris dan Amerika, perusahaan minyak asing, dan monarki yang didukung oleh Barat.

Setelah kudeta militer yang menggulingkan Raja Idris pada 1969, Qaddafi segera mulai menulis ulang sejarah Libia. Dia tidak mengacuhkan suku pribumi Berber Afrika Utara, atau Amazigh, dan mengakui bangsa Arab sebagai orang Libia asli. Dengan demikian, dia mengangkat dirinya sendiri, putra seorang pengembara Arab Badui, sebagai pusat jati diri Libia.

Situs Yunani dan Romawi kuno di Libia tidak berarti apa-apa baginya. Dia mengidentikkan reruntuhan itu dengan penjajah Italia. Qaddafi terkenal sering tidur di tenda, bah­kan saat kunjungan kenegaraan ke Paris dan ibu kota Eropa lainnya. Dia mendukung versi etika Badui yang ketinggalan zaman, kata Mohammed Jerary, direktur arsip nasional Libia.

“Sebagai seorang Badui, dia ingin menerapkan nilai-nilai Badui pada nilai-nilai yang sudah ada, tenda menaklukkan istana. Dia ingin kami melupakan kota yang tertata dan berbagai hal yang sangat canggih—bahkan juga dalam bidang budaya dan ekonomi. Tetapi, orang Badui sendiri tidak selamanya primitif. Mereka tahu bahwa tidak­lah santun menjarah tempat lain setiap kali untanya kehabisan makanan. Mereka bel­ajar menerapkan sistem dan pemerintahan. Se­balik­nya, Qaddafi malah hanya menerapkan segi negatif kehidupan kaum Badui.”

Pemerintahannya adalah kekacauan besar yang direkayasa. “Tidak ada rutinitas—semua­nya dapat berubah setiap saat, mengacaukan segalanya,” kata Walda kepada saya. “Tiba-tiba saja kami tidak boleh memiliki rumah kedua. Kami tidak boleh bepergian ke luar negeri.

Kami tidak boleh bermain dalam tim olahraga. Kami tidak boleh mempelajari bahasa asing.” Banyak cendekiawan paling menonjol di negara itu digiring ke penjara Abu Salim yang menakutkan; di situ, sekitar 1.200 orang dibantai oleh sipir penjara pada 1996.

Ulama Muslim di­penjarakan karena tampak lebih setia kepada Islam daripada kepada pemimpin mereka. Para pendukung setia Qaddafi yang menjadi anggota komite revolusioner mengawasi ruang kelas dan tempat kerja. Daftar pegawai negeri membengkak karena ratusan ribu pekerja di­bayar dengan upah seadanya tanpa perlu me­laku­kan apa pun.

Para bujangan menjalani gaya hidup mewah, sementara itu para kritikus rezim, seperti yang disebutkan dengan puitis oleh sejumlah warga Libia, “Hilang tanpa kabar.”

Bahkan, geografi Libia pun tidak luput dari ulahnya. “Dia mendorong laut menjauh dari Tripoli, mengisi dasar lautan dengan pasir dan menanam pepohonan palem di sana—untuk menunjukkan bahwa Libia telah memalingkan wajahnya dari Laut Tengah,” kata Mustafa Turjman, pakar arkeologi di Departemen Purbakala sejak 1979. “Dia dewa keburukan!”!break!

Tak lama setelah korban luka tembak per­tama diantarkan ke ruang gawat da­ru­rat di Rumah Sakit Al Jala di Benghazi pada 17 Februari 2011, seorang dokter bedah wanita mulai meneriakkan perintah. Kemudian dia terdiam. Mantan suaminya selalu berkata kepadanya, “Maryam, kaum wanita tidak boleh menjadi pengambil keputusan. Biarkan para le­laki menyampaikan pendapatnya terlebih da­hu­lu.”

Saat itu, warga sipil ditembaki di jalan­an Benghazi oleh tentara pemerintah. Orang-orang Qaddafi memerintahkan direktur rumah sakit untuk tidak menangani para pemberontak. Ketika direktur rumah sakit menentang pe­rintah mereka, antek-antek pemerintah mulai me­menuhi rumah sakit, mencatat nama para dok­ter yang terus bekerja.

Tetapi, Mar­yam Eshtiwy yang berusia 31 tahun, tidak me­lepas­kan jas putihnya dan pulang. Namun, dia pulang pun hanya untuk menyusui bayinya yang berusia enam bulan. Setelah itu, dia kembali merawat ratusan pemuda terluka. Dalam satu hari, tatanan sosial yang menyata­kan bahwa kaum wanita Libia harus tunduk ke­pada lelaki itu tiba-tiba mengalami per­geseran dahsyat yang menyentak.

Benarkah begitu? Libia telah lama merupakan negara Islam moderat. Qaddafi mendorong partisipasi wanita dalam pendidikan dan pekerjaan. Tetapi, masih harus dibuktikan apakah negara yang ber­­usaha untuk berhubungan kembali dengan tetangga Eropa di seberang Laut Tengah itu akan lebih merangkul kaum wanita—atau gagal me­manfaatkan bakat yang dimiliki setengah pen­duduknya.

“Jujur saja. Saya bekerja di dunia kaum lelaki,” katanya. Kepala departemen operasi—tentu saja seorang pria—bersikap keras kepadanya. Setiap kali dia mengemukakan diagnosisnya kepada kepala departemen, pria itu mendebat setiap hal, seolah-olah mendesaknya untuk mengundurkan diri. Eshtiwy dengan jelas menunjukkan sikap bahwa dia tidak berniat mengundurkan diri.

Dia juga menjelaskan hal itu kepada man­tan suaminya, seorang apoteker, sebelum per­nikah­an mereka: “Saya dokter bedah, saya bekerja di rumah sakit, dan saya mengendarai mobil sendiri.” Suaminya mengaku tidak keberatan dengan semua itu.

Pernikahan mereka adalah pernikahan yang dijodohkan. Sang suami diperkenalkan oleh kakak perempuannya, diikuti oleh pacaran selama dua bulan, pertunangan, kemudian pesta pernikahan tradisional selama tiga hari yang dihadiri 700 tamu.

Dalam waktu semalam, sikap sang suami ter­­hadap profesinya berubah drastis. “Maafkan saya karena mengatakannya, tapi kaum lelaki tidak suka istri mereka lebih baik darinya,” kata Eshtiwy. Suaminya menelepon pada suatu pagi untuk mengatakan bahwa dia akan menceraikannya.

Menurut hukum Islam Libia, wanita tidak memiliki hak perlindungan—bahkan seandainya pun wanita itu sedang hamil tiga bulan, seperti yang dialaminya saat itu. Ketika perang hampir setahun, keluarga dan teman-temannya mendesaknya, “Kembalilah kepada­nya—mungkin dia sudah lebih baik. Jika kau terbunuh di rumah sakit, anakmu tidak akan memiliki ibu.”

Sementara itu, para pemberontak yang cedera tidak mempermasalahkan jenis kelamin dokter bedah. Beberapa orang tampaknya lebih menyukai sikap dan kesabarannya dalam merawat pasien. Sekarang, di Rumah Sakit Al Jala, banyak suami mengungkapkan rasa lega bahwa dialah, bukan dokter lelaki, yang merawat istri mereka.!break!

Eshtiwy merasa relatif aman di tempatnya. Dia menceritakan wanita Benghazi lainnya dan berkata, “Wanita Libia sangat kuat, sangat pintar. Kami mampu bertahan hidup tanpa bantuan dari luar.” “Saya mengkhawatirkan semuanya,” ungkap­nya.

Dia lebih suka melihat Libia sebagai sebuah negara yang sepenuhnya bersatu. Namun, orang lain di kotanya menuntut otonomi yang jauh lebih besar. Udara dan jalanan dipenuhi dengan retorika menegangkan­—“perang yang terjadi sekarang adalah perang kata-kata,” kata Eshtiwy.

Eshtiwy tetaplah seorang muslimah taat yang menerima perjodohan dan tidak pernah bepergian ke luar Benghazi. Namun, tetap saja, dunianya yang dikekang telah terlontar ke dalam kekacauan. “Gambarannya,” katanya, “terlihat terdistorsi bagi saya.”

Dia percaya adanya harapan. Pe­ng­alam­an di rumah sakit selama revolusi me­­nunjukkan karakter warga Libia. Dia be­ker­ja sebagai tim, sepanjang hari, merawat pem­berontak dan pendukung setia Qaddafi, sementara sesama warga membawa makanan dan selimut.

“Selama masa Qaddafi, kami me­ngira bahwa kami adalah orang jahat, bahwa tidak ada yang dapat mencintai kami,” katanya. “Sekarang, kami melihat keindahan negara kami.”

Tetapi, Eshtiwy juga merasakan tekanan pascatrauma yang menggerogoti kota. Terdapat sejumlah video kepahlawanannya di rumah sakit. Dia tidak mau menontonnya. “Tidak mungkin.” Dia bahkan tidak sanggup menonton berita.

“Semuanya sangat menyedihkan,” katanya. “Kadang-kadang saya bertanya dalam hati, mengapa semua orang ini harus mati? Apakah kami harus membayar semua kekacauan ini dengan darah mereka yang berharga?” Darah masih terus tumpah.

Sebelum revolusi, Rumah Sakit Al Jala hanya merawat sekitar tiga atau empat kasus luka tembak setiap tahun. Sekarang, dia merawat tiga atau empat kasus seperti itu setiap hari.“Sekarang kami sangat ahli berurusan dengan kasus seperti ini,” desah dokter bedah itu.!break!

Ketika membayangkan masa depan Libia, bangsa muda yang acak-acakan, pikiran saya kembali kepada seorang lelaki 61 tahun yang saya temui di salah satu souk (pasar) tua Benghazi. Namanya Mustafa Gargoum. Dia mencari nafkah ala kadarnya sebagai penjual foto-foto antik Tripoli.

Sejak 1996, dia menempati sebuah sudut jalan, hanya beberapa ratus meter dari Pantai Laut Tengah. Pameran darurat kolektor foto ini adalah satu-satunya yang ada di Benghazi, dan mungkin di seluruh Libia. Sejumlah orang berkerumun merenungi gambar dari masa lalu yang dilupakan.

Tampak deretan foto: bagal membawa kendi minyak zaitun, Lapangan Hadada dari zaman Utsmaniyah yang gemilang yang kini  dipakai para penjual perhiasan, gedung parlemen Italia yang hancur karena Qaddafi dan kini menjadi lapangan parkir.

Sejumlah lelaki tua berjongkok di depan foto Gargoum dan menatapnya berlama-lama. Beberapa foto menampilkan gambar terlarang, seperti bendera masa lalu Libia, yang sekarang menjadi bendera baru Libia. Galeri kaki lima Gargoum juga menampilkan beberapa poster yang sengaja ditulisi sejumlah pesan provokatif seperti: “Mereka yang mengorbankan kebebasan untuk keamanan tidak layak mendapatkan keduanya” dan “Pikiran bebas Amerika dan Eropa, kalian selalu mengecewakan kami.”

Tidak mengherankan, renungan yang bersifat membangkang ini menyebabkan Gargoum kerap mendapatkan gangguan. Setiap September, bertepatan dengan ulang tahun kenaikan takhta Pemimpin Persaudaraan, petugas Departemen Dalam Negeri mengawal Gargoum ke pos polisi. dan memaksanya bermalam di situ.

“Kami tahu apa yang kaulakukan,” ujar mereka, meskipun selalu membebaskannya lagi. Dia terus menampilkan gambar dan pesan-pesannya. Namun, foto yang dikumpulkannya dari musuh bebuyutan Qaddafi disembunyikannya di rumahnya. Di dinding kamar dia menuliskan kata-kata sensitif yang tidak berani ditampilkannya di jalanan Benghazi. Keluh kesah pahit itu seperti, “Langit-langit rezim begitu rendah sehingga aku tidak dapat berdiri di bawahnya!”

Ketika protes damai pertama dimulai pada pertengahan Februari, Gargoum menutup galerinya dan bergabung dalam demonstrasi, tetapi segera kembali pulang. Delapan bulan kemudian, pada hari kematian Qaddafi, dia kembali ke souk dengan membawa foto-fotonya.

Tak hanya itu, dia juga membawa karya para seniman, cendekiawan, dan prajurit yang  dieksekusi lantaran menentang sang diktator, Muammar Qaddafi.

Pameran yang cukup besar ini juga me­nampilkan lukisan yang dibuatnya pada 1996. Tahun itu adalah kala pertama dia me­nawar­kan foto dan slogan secara sembunyi-sembunyi kepada masyarakat Benghazi yang gelisah. Lukisan itu menampilkan sosok monumental yang ditelan kegelapan—berdiri memunggungi, tangannya memegang obor tinggi-tinggi.

Meskipun Gargoum berniat untuk menjadikannya sebagai potret diri, tanpa disadari, dia telah menggambar ulang patung Septimius Severus yang dikucilkan.

Pada hari kebebasan baru ini, Gargoum me­nempatkan lukisan itu pada kuda-kuda dan me­ngambil kuasnya. Dengan sapuan cermat, dia menambahkan kerumunan orang secara samar-samar di latar belakang. Lalu, dia mengangguk puas pada lukisan yang sudah jadi itu. Sebuah potret bangsa yang belum selesai, warganya berdiri bersama-sama pada malam setelah revolusi—sesaat dibutakan oleh cahaya obor, menunggu visi baru memecah kegelapan.