Kera Bohemian di Tepi Kiri

By , Selasa, 26 Februari 2013 | 16:14 WIB

Di dalam hutan terpencil di Republik Demokrasi Kongo, 80 kilometer jalan tanah dari lapangan terbang rumput terdekat, terdapat kamp penelitian Wamba. Tempat di tepi utara Sungai Luo, yang diam-diam terkenal dalam sejarah primatologi itu, didirikan pada 1974 oleh ahli primata Jepang bernama Kano Takayoshi. Tujuannya, untuk meneliti bonobo, Pan paniscus, spesies kera yang sangat berbeda dari yang lain.

Bonobo, terkenal sebagai anggota keluarga kera yang mengagungkan “make love, not war”, jauh lebih gasang dan cinta damai daripada kerabat dekatnya, simpanse. Ahli biologi Amerika keturunan Belanda Frans de Waal dan rekannya pernah meneliti populasi bonobo di kebun binatang.

Mereka mendokumentasikan perilaku maniak seks bonobo yang umum terjadi, serta kecenderungannya membentuk kelompok yang rukun (terutama di kalangan betina). Hal itu sangat berlawanan dengan pe­rebutan kekuasaan (terutama kalangan jantan) dan perang antar-kelompok simpanse.

Sayangnya, perilaku bonobo di alam liar lebih sulit diteliti, dan Kano Takayoshi, peneliti di Institut Penelitian Primata Universitas Kyoto, merupakan salah satu ilmuwan pertama yang berusaha mempelajari bonobo di alam liar. Terlepas dari beberapa gangguan, termasuk masa vakum selama perang Kongo pada 1996-2002, pengamatan di Wamba berlanjut sejak didirikan.

Suatu pagi saya mengikuti peneliti, yang ber­nama Sakamaki Tetsuya, masuk ke hutan. Dia dari Universitas Kyoto juga. Saya segera me­nyaksikan kejadian yang, berdasarkan gambaran populer spesies ini, mustahil terjadi. Bonobo bertengkar. Bonobo berburu mangsa. Berjam-jam berlalu tanpa berhubungan seks. Benarkah ini satwa yang sangat terkenal dengan gaya hidupnya yang damai dan gila seks?

Saat saya dan Sakamaki mengamati kawanan bonobo menikmati buah boleka—sejenis ke­ranji Afrika yang buahnya lebih kecil—dia me­­ngenalkan nama setiap bonobo. Betina di sana, yang terlihat sedang berahi, kami panggil Nova, katanya. Dia terakhir melahirkan tahun 2008; area genitalnya yang membengkak se­cara mencolok, seperti bantal jambon yang ditempelkan ke pantat, menunjukkan ke­siapannya untuk dibuahi lagi.

Betina yang ini Nao, katanya, sangat tua, sangat senior. Nao memiliki dua anak betina, yang sulung masih bersama kelompok ini. Dan betina di sana, Kiku namanya, juga sangat senior, dengan tiga anak jantan dalam kelompok ini. Salah satu anaknya Nobita—mudah dikenali, tutur Sakamaki, dari badannya yang besar dan jari tangan kanan serta kedua kakinya yang buntung, dan biji pelirnya yang hitam.

Jarinya buntung akibat kena jerat. Nobita tampaknya menjadi jantan utama, meski pengakuan status jantan utama dalam kelompok bonobo tidak terlalu berarti.!break!

Sekarang kami mengikuti bonobo ke dalam rumpun pohon musanga, dan satwa ini sibuk melahap buahnya yang hijau berair. Tiba-tiba pecah adu mulut antara Nobita dan jantan lain, Jiro. Kiku, induk Nobita yang sudah sepuh, bergegas datang untuk membela anaknya. Jiro yang gentar menghadapi keduanya pun mundur. Dia merajuk di pohon tak jauh dari situ.

Menarik, catat Sakamaki, sekalipun Nobita jantan terbesar dalam kelompok ini, namun tetap dibela induknya saat berkelahi. Empat puluh menit kemudian, ketika ke­ributan terdengar lagi, Sakamaki menunjukkan sumber keriuhan itu: seekor Anomalurus (satwa pengerat yang bisa terbang, seperti walangkopo), berusaha menyelamatkan diri di batang pohon, sementara beberapa bonobo datang memburu.

Saat bonobo mendekat, sang Anomalurus meluncur terbang. Kemudian kami melihat Anomalurus kedua. Meskipun demikian, beberapa saat kemudian bonobo lain melihatnya, dan kelompok itu pun menyerbu dengan teriakan ganas sang pemangsa. Seekor bonobo memanjat batang itu dengan susah-payah. Sang Anomalurus bergegas naik enam meter lagi, semudah tokek merayap di dinding.

Begitu terkepung oleh kawanan bonobo yang haus darah, satwa pengerat kecil itu pun meluncur terbang di antara cabang dan semak untuk menyelamatkan diri. “Perilaku berburu—sangat jarang terjadi,” kata Sakamaki. “Jadi, Anda sangat beruntung.” Belum lagi setengah hari saya di Wamba, anggapan saya terhadap bonobo sudah dikacaukan oleh realitas, kontras, dan komplikasi.

Bonobo memang membingungkan orang sejak pertama diteliti. Pada 1927, ahli zoologi Belgia bernama Henri Schouteden memeriksa tengkorak dan kulit milik satwa aneh dari Kongo Belgia, yang dikira simpanse betina dewasa. Tahun berikutnya, ahli zoologi Jerman, Ernst Schwarz, mengunjungi museum Schouteden.