Di dalam hutan terpencil di Republik Demokrasi Kongo, 80 kilometer jalan tanah dari lapangan terbang rumput terdekat, terdapat kamp penelitian Wamba. Tempat di tepi utara Sungai Luo, yang diam-diam terkenal dalam sejarah primatologi itu, didirikan pada 1974 oleh ahli primata Jepang bernama Kano Takayoshi. Tujuannya, untuk meneliti bonobo, Pan paniscus, spesies kera yang sangat berbeda dari yang lain.
Bonobo, terkenal sebagai anggota keluarga kera yang mengagungkan “make love, not war”, jauh lebih gasang dan cinta damai daripada kerabat dekatnya, simpanse. Ahli biologi Amerika keturunan Belanda Frans de Waal dan rekannya pernah meneliti populasi bonobo di kebun binatang.
Mereka mendokumentasikan perilaku maniak seks bonobo yang umum terjadi, serta kecenderungannya membentuk kelompok yang rukun (terutama di kalangan betina). Hal itu sangat berlawanan dengan perebutan kekuasaan (terutama kalangan jantan) dan perang antar-kelompok simpanse.
Sayangnya, perilaku bonobo di alam liar lebih sulit diteliti, dan Kano Takayoshi, peneliti di Institut Penelitian Primata Universitas Kyoto, merupakan salah satu ilmuwan pertama yang berusaha mempelajari bonobo di alam liar. Terlepas dari beberapa gangguan, termasuk masa vakum selama perang Kongo pada 1996-2002, pengamatan di Wamba berlanjut sejak didirikan.
Suatu pagi saya mengikuti peneliti, yang bernama Sakamaki Tetsuya, masuk ke hutan. Dia dari Universitas Kyoto juga. Saya segera menyaksikan kejadian yang, berdasarkan gambaran populer spesies ini, mustahil terjadi. Bonobo bertengkar. Bonobo berburu mangsa. Berjam-jam berlalu tanpa berhubungan seks. Benarkah ini satwa yang sangat terkenal dengan gaya hidupnya yang damai dan gila seks?
Saat saya dan Sakamaki mengamati kawanan bonobo menikmati buah boleka—sejenis keranji Afrika yang buahnya lebih kecil—dia mengenalkan nama setiap bonobo. Betina di sana, yang terlihat sedang berahi, kami panggil Nova, katanya. Dia terakhir melahirkan tahun 2008; area genitalnya yang membengkak secara mencolok, seperti bantal jambon yang ditempelkan ke pantat, menunjukkan kesiapannya untuk dibuahi lagi.
Betina yang ini Nao, katanya, sangat tua, sangat senior. Nao memiliki dua anak betina, yang sulung masih bersama kelompok ini. Dan betina di sana, Kiku namanya, juga sangat senior, dengan tiga anak jantan dalam kelompok ini. Salah satu anaknya Nobita—mudah dikenali, tutur Sakamaki, dari badannya yang besar dan jari tangan kanan serta kedua kakinya yang buntung, dan biji pelirnya yang hitam.
Jarinya buntung akibat kena jerat. Nobita tampaknya menjadi jantan utama, meski pengakuan status jantan utama dalam kelompok bonobo tidak terlalu berarti.!break!
Sekarang kami mengikuti bonobo ke dalam rumpun pohon musanga, dan satwa ini sibuk melahap buahnya yang hijau berair. Tiba-tiba pecah adu mulut antara Nobita dan jantan lain, Jiro. Kiku, induk Nobita yang sudah sepuh, bergegas datang untuk membela anaknya. Jiro yang gentar menghadapi keduanya pun mundur. Dia merajuk di pohon tak jauh dari situ.
Menarik, catat Sakamaki, sekalipun Nobita jantan terbesar dalam kelompok ini, namun tetap dibela induknya saat berkelahi. Empat puluh menit kemudian, ketika keributan terdengar lagi, Sakamaki menunjukkan sumber keriuhan itu: seekor Anomalurus (satwa pengerat yang bisa terbang, seperti walangkopo), berusaha menyelamatkan diri di batang pohon, sementara beberapa bonobo datang memburu.
Saat bonobo mendekat, sang Anomalurus meluncur terbang. Kemudian kami melihat Anomalurus kedua. Meskipun demikian, beberapa saat kemudian bonobo lain melihatnya, dan kelompok itu pun menyerbu dengan teriakan ganas sang pemangsa. Seekor bonobo memanjat batang itu dengan susah-payah. Sang Anomalurus bergegas naik enam meter lagi, semudah tokek merayap di dinding.
Begitu terkepung oleh kawanan bonobo yang haus darah, satwa pengerat kecil itu pun meluncur terbang di antara cabang dan semak untuk menyelamatkan diri. “Perilaku berburu—sangat jarang terjadi,” kata Sakamaki. “Jadi, Anda sangat beruntung.” Belum lagi setengah hari saya di Wamba, anggapan saya terhadap bonobo sudah dikacaukan oleh realitas, kontras, dan komplikasi.
Bonobo memang membingungkan orang sejak pertama diteliti. Pada 1927, ahli zoologi Belgia bernama Henri Schouteden memeriksa tengkorak dan kulit milik satwa aneh dari Kongo Belgia, yang dikira simpanse betina dewasa. Tahun berikutnya, ahli zoologi Jerman, Ernst Schwarz, mengunjungi museum Schouteden.
Setelah mengukur tengkorak itu serta dua tengkorak lainnya, ia menyimpulkan bahwa satwa itu pasti merupakan simpanse jenis lain, hanya ada di sebelah selatan—tepi kiri—Sungai Kongo. Schwarz mengumumkan penemuannya dalam makalah yang berjudul “Le Chimpanzé de la Rive Gauche du Congo”—Simpanse Tepi Kiri Kongo.
Jadi, dari awal memang ada hubungan tersirat antara budaya la Rive Gauche (Tepi Kiri) di pusat dunia Frankofon—seniman, penulis, dan filsuf bohemian di selatan Sungai Seine di Paris—dengan kera aneh dari Kongo yang baru diidentifikasi ini. Tidak lama setelah itu, kera tepi kiri ini pun diakui sebagai spesies sendiri dan diberi nama ilmiah Pan paniscus.
Satwa ini juga disebut orang “simpanse kerdil”, meskipun faktanya kera ini hampir sama besar dengan simpanse biasa yang sudah dikenal luas, Pan troglodytes. Proporsi kepala terhadap tubuh bonobo memang lebih kecil dibanding simpanse, badannya lebih ramping, kakinya lebih panjang.!break!
Namun, secara keseluruhan, berat bonobo dewasa baik jantan maupun betina umumnya hampir sama dengan simpanse betina. Para ilmuwan saat ini cenderung menghindari istilah simpanse kerdil; nama “bonobo” lebih menunjukkan bahwa makhluk ini bukan versi miniatur makhluk lain.
Perbedaan utama antara bonobo dan simpanse terletak pada perilakunya, dan yang paling mencolok memang melibatkan seks. Baik di penangkaran maupun di alam liar, bonobo melakukan interaksi seksual yang sangat bervariasi.
Menurut de Waal: “Sementara simpanse menunjukkan sedikit variasi dalam kegiatan seksual, bonobo berperilaku seakan satwa ini baru membaca Kama Sutra, melakukan semua posisi dan variasi yang mungkin.” Misalnya, bonobo bersebadan sambil berbaring, hal yang hampir tidak pernah terlihat di kalangan simpanse. Namun, perilaku seks bonobo bukan hanya untuk pembuahan.
Kebanyakan variasi itu bersifat sosioseksual, artinya kopulasi belum tentu dilakukan antara jantan dewasa dan betina dewasa pada masa suburnya saja. Pasangan yang kawin bisa saja dua bonobo dewasa berjenis kelamin sama, bonobo dewasa dengan remaja dari jenis kelamin mana pun, atau dua-duanya masih remaja.
Kegiatannya antara lain ciuman mulut, seks oral, merangsang genital dengan tangan, adu penis antara dua jantan, seks anal antara dua jantan. Juga, gesekan genito-genital antara dua betina estrus, yang saling menggesekkan vulvanya yang bengkak dengan penuh semangat keakraban. Biasanya tidak sampai orgasme.
Tujuan kegiatan ini sepertinya untuk menyampaikan berbagai maksud: menunjukkan niat baik, menenangkan, menyapa, melepas ketegangan, mempererat ikatan, meminta makanan, dan berdamai. Selain tujuan di atas, kita juga bisa menambahkan untuk senang-senang dan (khusus remaja) sebagai pelajaran. Seks yang bervariasi, kerap, dan sering tanpa basa-basi merupakan bagian pranata sosial yang berlaku secara luas guna menjaga stabilitas politik bonobo.
Masih menurut De Waal: “Simpanse menyelesaikan masalah seksual dengan kekuatan; sedangkan bonobo menyelesaikan masalah kekuatan dengan seks.” Perilaku seks bukanlah satu-satunya perbedaan besar antara bonobo dan simpanse, meskipun mungkin terkait dengan perbedaan lainnya, baik sebagai sebab maupun akibat.!break!
Bonobo betinalah yang memegang kekuasaan sosial tertinggi, bukan jantan. Kekuasaan itu tampaknya diraihnya melalui kehangatan pergaulan (seperti gesekan genito-genital) alih-alih melalui persekutuan sementara dan pertarungan, seperti pada simpanse jantan.
Kawanan bonobo tidak menyerang kawanan bonobo lain yang tinggal berdekatan dengan wilayahnya. Bonobo mencari makan pada siang hari dalam kawanan yang lebih stabil dan biasanya lebih besar. Kadang-kadang, rombongan beranggotakan 15 atau 20 ekor bergerak bersama-sama dari satu tempat makan ke tempat lainnya.
Pada malam hari, bonobo membuat sarang berdekatan, mungkin demi keamanan bersama. Makanannya umumnya mirip dengan makanan simpanse—buah, daun, sedikit protein hewani apabila dapat—hanya berbeda dalam satu hal penting: Bonobo makan banyak tumbuhan terna yang melimpah sepanjang tahun—macam-macam gelagah hingga termasuk batang jagung, serta umbi-umbian seperti ararut—dengan tunas dan daun muda serta umbut nan bergizi, kaya protein dan gula.
Dengan demikian, bonobo memiliki pasokan camilan yang tiada habisnya. Jadi, bonobo tidak mengalami masa paceklik, kelaparan, dan perebutan makanan separah yang dialami simpanse. Fakta ini mungkin memiliki implikasi evolusi yang penting.
Bonobo dan simpanse memiliki satu keistimewaan yang sama: Kedua spesies ini merupakan kerabat terdekat Homo sapiens yang masih ada. Sekitar tujuh juta tahun yang lalu, di suatu tempat di hutan Afrika khatulistiwa, hidup purwa-kera yang merupakan nenek moyang kedua spesies ini dan manusia. Kemudian garis keturunan kita terpisah dari kedua spesies itu, dan sekitar 900.000 tahun lalu, kedua spesies kera itu pun terpisah jalur evolusinya.
Tidak ada yang tahu apakah nenek moyang terdekat keduanya, dalam hal anatomi dan perilaku, mirip simpanse atau bonobo—jika misteri ini terpecahkan, mungkin kita juga bisa mengetahui nenek moyang manusia. Apakah kita berasal dari garis keturunan kera yang didominasi betina, cinta damai, dan doyan seks, ataukah dari galur keturunan yang didominasi jantan yang suka berperang dan membunuh bayi? Selain itu: Apa yang terjadi dalam sejarah evolusi sehingga menjadikan Pan paniscus seunik ini?
Richard Wrangham punya hipotesis. Wrangham adalah ahli antropologi biologi ternama dan profesor di Department of Human Evolutionary Biology di Harvard, dengan pengalaman meneliti primata di alam liar selama lebih dari empat dasawarsa. Poin penting dalam hipotesisnya adalah ketiadaan gorila, selama satu atau dua juta tahun terakhir, di tepi kiri Sungai Kongo.
Alasan ketiadaan gorila tidak diketahui dengan pasti, namun konsekuensi evolusinya tampak jelas. Di tepi kanan sungai, tempat simpanse dan gorila hidup bersama dalam hutan, makanan gorila tidak berubah dari dahulu sampai sekarang, terutama tumbuhan terna, sementara makanan simpanse juga tetap, terutama buah, daun pohon, dan kadang-kadang daging.!break!
Di tepi kiri, hiduplah kerabat simpanse itu yang beruntung lantaran tidak harus berebut makanan dengan gorila. “Dan keadaan inilah,” ujar Wrangham kepada saya melalui telepon dari kantornya di Harvard, “yang menciptakan bonobo.”
Makhluk tepi kiri ini—menikmati menu simpanse yang bergizi saat tersedia dan hidup dari makanan pokok gorila saat tidak tersedia—menjalani kehidupan yang lebih stabil. Satwa ini tidak perlu membentuk kelompok kecil yang tidak stabil untuk mencari makan, menyebar, berkumpul kembali. Lalu, berebut makanan berharga yang tidak selalu tersedia, sebagaimana yang sering dialami simpanse tepi barat.
Dan perbedaan dalam strategi mencari makan itu membawa konsekuensi pada perilaku sosial, Wrangham menjelaskan. Kestabilan kelompok pencari makan dalam kawanan bonobo yang lebih besar berarti bahwa anggota yang lemah biasanya selalu memiliki sekutu. Hal ini dapat meredam perkelahian dan perang perebutan kekuasaan.
Kestabilan kelompok pencari makan, katanya, juga berdampak pada irama seksual bonobo betina. Tidak seperti simpanse betina, bonobo betina tidak dipaksa keadaan untuk selalu tampil memikat dan siap kawin dengan jantan mana pun selama masa suburnya yang singkat. “Bonobo betina,” kata Wrangham, yang hidup dalam kelompok peramban yang lebih besar dan lebih stabil, “dapat memiliki periode berahi yang lebih panjang.”
Dia selalu menarik, selalu siap. “Hal ini sangat mengurangi urgensi bonobo jantan berebut kekuasaan dan mengintimidasi betina.” Jadi, kehidupan sosial bonobo yang terkenal damai dan penuh seks, berdasarkan hipotesis Wrangham, berasal dari sumber yang tak terduga: ketersediaan makanan gorila yang tidak dimakan gorila.
Lalu, mengapa tidak ada gorila di tepi kiri? Wrangham mengajukan satu skenario, spekulatif, katanya, tetapi masuk akal. Sekitar 2,5 juta tahun yang lalu, kemarau parah melanda Afrika Tengah. Di dataran rendah khatulistiwa di kedua sisi Sungai Kongo, tumbuhan terna—habitat gorila—layu dan mati.
Simpanse bisa bertahan hidup dengan mencari buah di hutan tepi sungai, tetapi gorila tepi kanan terpaksa pindah ke tempat yang lebih tinggi, seperti gunung berapi Virunga di timur laut daerah itu dan Pegunungan Crystal di barat. Sayangnya, di tepi kiri tidak ada dataran tinggi semacam itu. Tanahnya datar. Jadi, jika gorila dulu hidup di sisi ini, kekeringan kala Pleistosen mungkin menyebabkannya punah.
Perilaku bonobo tidak umum di kalangan kera, sementara di kalangan bonobo pun banyak kekecualian. Kita tidak bisa menggambarkan perilakunya secara seragam. Tidak ada peneliti yang lebih cermat dalam hal ini dibanding Gottfried Hohmann dan Barbara Fruth, sepasang suami istri dari Max Planck Institut für Evolutionäre Anthropologie, di Leipzig, Jerman, yang telah meneliti bonobo di alam liar selama lebih dari dua dasawarsa.!break!
Penelitian mereka dimulai pada 1990 di tempat yang bernama Lomako, di Kongo bagian utara. Penelitian lapangan mereka berjalan lancar sampai pecah perang 1998, dan mereka menghentikan semua kegiatannya selama empat tahun. Hohmann dan Fruth kemudian mendirikan kamp di Lui Kotale, kawasan hutan yang sangat sehat tepat di luar Taman Nasional Salonga.
Mereka membuat kesepakatan dengan penduduk pribumi yang memiliki hutan adat: Masyarakat setempat bersedia tidak berburu atau menebang pohon di Lui Kotale dengan sejumlah imbalan. Untuk menuju ke sana, kami harus mendarat di lapangan terbang rumput lain, berjalan satu jam ke desa, minta izin kepada para tetua, lalu berjalan lagi selama lima jam lebih.
Kemudian kami menyeberangi Sungai Lokoro dengan perahu belongkang, mengarungi sungai air hitam, mendaki tebing sungai, dan akhirnya sampai di kamp sederhana dan rapi yang terdiri atas tenda dan dangau terbuka beratap rumbia, dengan dua panel surya untuk menyalakan perangkat komputer.
Hohmann datang kembali ke tempat ini bulan Juni tahun lalu. Pria kurus 60 tahun bermata biru ini sangat siap menghadapi beratnya rintangan primatologi lapangan, dan andai saya tidak memaksa diri mengikutinya, perjalanan enam jam tadi akan saya tempuh dalam tujuh jam.
Suatu pagi, saya berangkat bersama “tim subuh”, dua relawan muda dan kurus yang bernama Tim Lewis-Bale dan Sonja Trautmann. Kami sampai di sarang bonobo pukul 5.20, sebelum satwa itu bangun tidur. Kegiatan pertama bonobo di pagi hari: kencing. Lewis-Bale dan Trautmann masing-masing berdiri di bawah pohon tempat bonobo bersarang, menadah air kencing dengan daun.
Mereka memindahkan tadahan tersebut ke dalam botol kecil, mencatat identitas setiap pengencing. Lalu, kami mengikuti perjalanan kawanan itu. Sore itu saya dan Hohmann duduk di salah satu dangau beratap rumbia membahas perilaku bonobo. Tidak banyak peneliti lain yang pernah melihat bonobo berburu.
Namun, Fruth dan Hohmann melaporkan sembilan kasus perburuan oleh bonobo di Lomako, tujuh di antaranya melibatkan antelop yang cukup besar. Antelop tersebut biasanya ditangkap oleh salah satu bonobo, dirobek perutnya hidup-hidup, lalu isi perutnya dimakan lebih dahulu, dan dagingnya dinikmati bersama.
Baru-baru ini, di Lui Kotale ini, mereka menyaksikan lagi 21 perburuan yang sukses, delapan korban di antaranya antelop dewasa, satu galago, dan tiga monyet. Bonobo ternyata memangsa primata lainnya: “Primata merupakan makanan biasa bagi bonobo,” kata Hohmann.!break!
Sebaliknya, perilaku seksnya tampaknya tidak seumum yang dinyatakan peneliti lain, seperti de Waal. “Saya bisa menunjukkan kepada Frans beberapa perilaku yang pasti dianggapnya mustahil pada bonobo,” kata Hohmann. Jarang berhubungan seks, misalnya. Ya, memang kegiatan seksual bonobo sangat bervariasi, tetapi “situasi penangkaran mendorong perilaku tersebut. Perilaku bonobo di alam liar berbeda—pasti berbeda—karena terlalu sibuk mencari makan untuk menyambung hidup.”
Hohmann menyebutkan pula beberapa anggapan umum yang dia dan Fruth tidak setuju, bahwa kawanan bonobo merupakan kelompok rukun yang diikat oleh pertalian antar-betina, dan anggapan bonobo tidak agresif terhadap satu sama lain. Agresi memang langka dan teredam, katanya, tapi itu tidak membuatnya tidak penting. Ingat bagaimana satu tindakan kekerasan, atau sekadar tindakan kasar, bisa terus tertanam dalam ingatan seseorang selama bertahun-tahun.
“Saya pikir inilah yang terjadi pada perilaku bonobo,” katanya. Hidup bonobo mungkin lebih berat daripada yang terlihat. Bukti kecemasannya mulai terkuak dari penelitian hormon dari salah satu peneliti pascadoktoral, Martin Surbeck.
Melalui analisis sampel kotoran dan urine, Surbeck menemukan hal mengejutkan: tingkat kortisol, hormon yang terkait dengan stres, tinggi pada beberapa bonobo jantan. Tingkat kortisol terutama meningkat di kalangan jantan utama jika ada betina yang berahi. Apa artinya?
Jantan utama bonobo harus meniti buih agar jangan sampai kurang macho (bisa kehilangan status di kalangan jantan) atau terlalu macho (bisa melenyapkan kesempatan kawin dengan betina penguasa). Dia merasa tertekan oleh situasi rumit ini. Bonobo memang menghindari agresi kasar dan kekerasan, tapi tidak berarti tidak punya beban pikiran. Makhluk ini menggunakan perilaku sosioseksual dan relatif sering sebagai sarana manajemen konflik.
Bonobo terancam punah. Meskipun dilindungi oleh hukum Kongo, satwa ini tetap dirundung masalah, terutama perburuan satwa liar dan hilangnya habitat. Mungkin masih ada 15.000 sampai 20.000 bonobo yang hidup di alam liar, beberapa di antaranya di dalam taman nasional dan cagar alam.
Dapat atau tidaknya kawasan “lindung” ini menyelamatkan bonobo dan margasatwa lainnya bergantung pada kenyataan di lapangan. Apakah ada penjaga yang dilatih, digaji, dan dipersenjatai secara memadai untuk menghadapi pemburu. Kongo sangat menderita akibat tujuh dasawarsa dijajah Belgia, diikuti tiga dekade kleptokrasi Mobutu, dan kemudian perang.
Salah satu korban situasi ini adalah bonobo, spesies asli yang tidak ditemukan di tempat lain di dunia selain Kongo. Jika tak dapat bertahan hidup di alam liar Kongo, satwa ini tak akan dapat bertahan di alam liar lain.!break!
Pasangan John dan Terese Hart, pelestari yang pertama datang ke Cekungan Kongo awal 1970-an, meyakini bahwa bonobo pasti dapat bertahan. Saat ini, pasangan Hart bekerja sama dengan seorang staf lokal dan berbagai mitra Kongo dalam proyek besar yang dikenal sebagai Lanskap Pelestarian TL2.
Lanskap ini meliputi area yang dilintasi tiga sungai di Kongo bagian timur. Selain dihuni bonobo, tempat ini juga dihuni gajah hutan (Loxodonta cyclotis), okapi, dan monyet aneh bernama lesula yang baru ditemukan. Bonobo masih diburu secara liar di TL2, kata John kepada saya. Dengan status taman nasional untuk sebagian TL2, peraturan larangan berburu, dukungan dari masyarakat setempat, dan beberapa pos pemeriksaan, dia menjelaskan, kegiatan ini diharapkan dapat dihentikan. TL2 punya potensi yang luar biasa, tetapi kendalanya juga luar biasa.
Saya menemui John dan Terese di Kinshasa. Lalu, kami terbang ke Kindu, ibu kota provinsi di Kongo bagian timur di tepi barat Sungai Lualaba. Kawasan ini menjadi batas timur penyebaran bonobo. Di Kindu kami akhirnya mendapat persetujuan untuk ekspedisi singkat selama lima hari untuk menjelajahi TL2.
Sekitar pukul empat sore kami naik ke perahu belongkang besar. Kami ditemani dua warga Kongo yang menjadi mitra kepercayaan Hart, ditambah seorang ahli biologi yang sedang berkunjung, serta seorang kolonel dan seorang prajurit (keduanya menenteng Kalashnikov) sebagai pendamping militer kami. Kami pun menghilir di tengah sungai Lualaba.
Sungai itu cokelat, landai, dan lebarnya 900 meter. Matahari, rendah di balik kepulan debu musim kemarau, tampak seperti cakram jingga. Saya melihat sepasang burung nasar-sawit (Gypohierax angolensis) melintas di angkasa. Kemudian, kawanan keluang berkelibang.
Malam pun turun mengusir senja, dan air sungai tampak sepia disinari cahaya bulan perbani. Sekian jam kemudian tibalah kami di sebuah desa di tepi kiri sungai yang menjadi pangkal jalan setapak menuju negeri bonobo. Memang cuma tepi kiri yang bisa kami datangi. Tidak ada satu bonobo pun di tepi kanan.