Pada malam hari, bonobo membuat sarang berdekatan, mungkin demi keamanan bersama. Makanannya umumnya mirip dengan makanan simpanse—buah, daun, sedikit protein hewani apabila dapat—hanya berbeda dalam satu hal penting: Bonobo makan banyak tumbuhan terna yang melimpah sepanjang tahun—macam-macam gelagah hingga termasuk batang jagung, serta umbi-umbian seperti ararut—dengan tunas dan daun muda serta umbut nan bergizi, kaya protein dan gula.
Dengan demikian, bonobo memiliki pasokan camilan yang tiada habisnya. Jadi, bonobo tidak mengalami masa paceklik, kelaparan, dan perebutan makanan separah yang dialami simpanse. Fakta ini mungkin memiliki implikasi evolusi yang penting.
Bonobo dan simpanse memiliki satu keistimewaan yang sama: Kedua spesies ini merupakan kerabat terdekat Homo sapiens yang masih ada. Sekitar tujuh juta tahun yang lalu, di suatu tempat di hutan Afrika khatulistiwa, hidup purwa-kera yang merupakan nenek moyang kedua spesies ini dan manusia. Kemudian garis keturunan kita terpisah dari kedua spesies itu, dan sekitar 900.000 tahun lalu, kedua spesies kera itu pun terpisah jalur evolusinya.
Tidak ada yang tahu apakah nenek moyang terdekat keduanya, dalam hal anatomi dan perilaku, mirip simpanse atau bonobo—jika misteri ini terpecahkan, mungkin kita juga bisa mengetahui nenek moyang manusia. Apakah kita berasal dari garis keturunan kera yang didominasi betina, cinta damai, dan doyan seks, ataukah dari galur keturunan yang didominasi jantan yang suka berperang dan membunuh bayi? Selain itu: Apa yang terjadi dalam sejarah evolusi sehingga menjadikan Pan paniscus seunik ini?
Richard Wrangham punya hipotesis. Wrangham adalah ahli antropologi biologi ternama dan profesor di Department of Human Evolutionary Biology di Harvard, dengan pengalaman meneliti primata di alam liar selama lebih dari empat dasawarsa. Poin penting dalam hipotesisnya adalah ketiadaan gorila, selama satu atau dua juta tahun terakhir, di tepi kiri Sungai Kongo.
Alasan ketiadaan gorila tidak diketahui dengan pasti, namun konsekuensi evolusinya tampak jelas. Di tepi kanan sungai, tempat simpanse dan gorila hidup bersama dalam hutan, makanan gorila tidak berubah dari dahulu sampai sekarang, terutama tumbuhan terna, sementara makanan simpanse juga tetap, terutama buah, daun pohon, dan kadang-kadang daging.!break!
Di tepi kiri, hiduplah kerabat simpanse itu yang beruntung lantaran tidak harus berebut makanan dengan gorila. “Dan keadaan inilah,” ujar Wrangham kepada saya melalui telepon dari kantornya di Harvard, “yang menciptakan bonobo.”
Makhluk tepi kiri ini—menikmati menu simpanse yang bergizi saat tersedia dan hidup dari makanan pokok gorila saat tidak tersedia—menjalani kehidupan yang lebih stabil. Satwa ini tidak perlu membentuk kelompok kecil yang tidak stabil untuk mencari makan, menyebar, berkumpul kembali. Lalu, berebut makanan berharga yang tidak selalu tersedia, sebagaimana yang sering dialami simpanse tepi barat.
Dan perbedaan dalam strategi mencari makan itu membawa konsekuensi pada perilaku sosial, Wrangham menjelaskan. Kestabilan kelompok pencari makan dalam kawanan bonobo yang lebih besar berarti bahwa anggota yang lemah biasanya selalu memiliki sekutu. Hal ini dapat meredam perkelahian dan perang perebutan kekuasaan.
Kestabilan kelompok pencari makan, katanya, juga berdampak pada irama seksual bonobo betina. Tidak seperti simpanse betina, bonobo betina tidak dipaksa keadaan untuk selalu tampil memikat dan siap kawin dengan jantan mana pun selama masa suburnya yang singkat. “Bonobo betina,” kata Wrangham, yang hidup dalam kelompok peramban yang lebih besar dan lebih stabil, “dapat memiliki periode berahi yang lebih panjang.”
Dia selalu menarik, selalu siap. “Hal ini sangat mengurangi urgensi bonobo jantan berebut kekuasaan dan mengintimidasi betina.” Jadi, kehidupan sosial bonobo yang terkenal damai dan penuh seks, berdasarkan hipotesis Wrangham, berasal dari sumber yang tak terduga: ketersediaan makanan gorila yang tidak dimakan gorila.
Lalu, mengapa tidak ada gorila di tepi kiri? Wrangham mengajukan satu skenario, spekulatif, katanya, tetapi masuk akal. Sekitar 2,5 juta tahun yang lalu, kemarau parah melanda Afrika Tengah. Di dataran rendah khatulistiwa di kedua sisi Sungai Kongo, tumbuhan terna—habitat gorila—layu dan mati.