Sang Naga di Barat Jakarta

By , Senin, 20 Januari 2014 | 13:24 WIB

Cumei bangun kesiangan. Perempuan muda dengan pergelangan tangan kiri bertoreh rajah beraksara Tibet itu bergegas keluar dari kamarnya. Dia menyungging senyuman. Matanya yang sipit tampak kian sipit lantaran kurang tidur. Sanak saudara yang sejak tadi menunggunya di luar segera bergantian menyampaikan selamat atas hari jadinya: kado pelukan dan kecupan mesra. Hari itu Cumei berusia 29 tahun.

Semenjak dua hari lalu, rumahnya berhias tenda merah hati dengan semarak bunga-bunga. Kedamaian rumahnya itu berpadu dengan deru truk-truk pengangkut pasir dan batu gunung yang menghamburkan debu akhir musim kemarau yang menyesakkan.

Nama Cumei bermakna 'adik perempuan terakhir'. Dia tinggal tak jauh dari perempatan Pasar Prumpung, Desa Gunungsindur, sekitar dua kilometer lepas dari perbatasan dengan Kota Tangerang Selatan, Banten. Sekitar sepertiga penduduk desa itu dinaungi oleh satu klenteng di belakang pasar. Meskipun desanya merupakan bagian dari wilayah Bogor-Jawa Barat, tampaknya masyarakat di sini lebih dekat pertaliannya dengan Tangerang-Banten, khususnya soal ekonomi dan budaya.

Tiga pemusik udik mulai menguarkan suara kendang, gong, dan tehyan (rebab Cina). Semalam, juga malam nanti, mereka mengiringi gambang kromong dan cokek yang melantunkan kidung stambul lawas di teras rumahnya.

Ini bukan pesta biasa. Hari ini Cumei dan Candra, suaminya, akan melangsungkan ciotau, pernikahan dalam tradisi Konghucu yang telah diadopsi sebagai budaya Cina Benteng. Maknanya 'menjalin rambut ke atas', sebuah ritual inisiasi perubahan dari sosok lajang menjadi pasangan yang telah menikah.

Sesungguhnya, mereka berdua telah menikah secara Buddha dua bulan sebelumnya di wihara Padumuttara yang menjadi bagian Boen Tek Bio, klenteng tertua di Tangerang. Dahulu, setiap pasangan yang menikah harus melewati ritual ciotau. Namun, kini tidak ada batasan kapan harus melaksanakan tradisi ini, utamanya hanya dilakukan sekali seumur hidup.

Upacara ini merupakan salah satu ritual terpenting dalam kehidupan orang Konghucu. Meskipun Cumei merupakan satu-satunya penganut Buddha Mahayana dalam keluarga Konghucu yang teguh, dia tidak canggung melakukan ritual itu. Hal yang harus selalu dia ingat: cara hormat tradisi Konghucu—berbeda dengan kebiasaannya berhormat dalam Buddha.

Aroma setanggi ladan yang terbakar mulai menyeruak di ruang tamu. Cumei duduk di kursi menghadap pelataran depan rumahnya. Berbusana panjang warna putih dan bawahan kain hijau berlanggam bunga dan burung phoenix, dia membelakangi meja abu leluhur yang memajang foto hitam-putih almarhum ayahnya. Layaknya seorang pengantin, pagi itu Cumei bertabur perhiasan klasik. Alas kakinya, selop warna merah berhias manik-manik yang membentuk pola naga.

Mama, encek (paman), dan seorang keponakan yang belia secara bersama-sama mulai menjalin dan menyisir rambut Cumei yang panjangnya sepunggung. Dia duduk menghadap bangku yang berisi gantang bercat merah berlukis naga. Gantang itu berisi beras yang di atasnya ditancapkan cermin, sisir, gunting, benang, penggaris, timbangan antik, primbon lawas beraksara Cina, dan dua lilin merah yang menyala. Semuanya bermakna, laksana pesan leluhur kepada mempelai.

Setelah menyisir dan menggelung rambutnya ke atas, juru rias menusukkan 25 bunga konde goyang dari besi tempa—yang jelas terbayang beratnya. Rona wajah Cumei pun tampak tulus menikmati beban di kepalanya itu.

Sebelum prosesi ini berlangsung, saya teringat Cumei pernah bercerita kepada saya. "Rangkaian bunga itu ada artinya, kayak beban berat," ujar Cumei. "Katanya sih, semakin kita bilang berat, maka dia semakin berat."

"Ingin ciotau karena adat," ujar Cumei. "Bagi yang ciotau mungkin kelak kalau sudah meninggal bisa ketemu lagi dengan pasangan kita di sana." Dia bertekad atas keinginan sendiri untuk menggunakan upacara yang mulai jarang dipakai orang, meskipun sejatinya dia tidak mengerti benar filosofi di setiap rangkaiannya.

Pada awalnya, keluarga besar justru me­ragukan kesungguhan Cumei karena tidak mudah menjalani ritual sakral ini. Namun, pada akhirnya mereka mendukungnya karena orang tua Cumei dan Candra pun dulu menikah dengan upacara ini.!break!