Sang Naga di Barat Jakarta

By , Senin, 20 Januari 2014 | 13:24 WIB

Saya menyaksikan repihan berbagai hunian awal berdirinya masyarakat pinggiran Sungai Cisadane itu telah dijangkiti rumah modern, sarang walet, dan perniagaan berdinding beton.

jalanan beton mulus memaruh permukiman padat dan pergudangan rapat di Dadap, pesisir Tangerang. Salah satu tuan tanah terakhir di Dadap adalah Khouw Oen Giok, wafat pada awal abad ke-20. Mausoleum mewahnya ada di permakaman Jatipetamburan, Jakarta Pusat.

Sekitar setengah abad yang lalu, seorang sosiolog muda yang bernama Go Gien Tjwan berjejak di daerah ini. Saat itu, jalanan beton yang kami lewati masih berupa jalan tanah yang memaruh persawahan. "Pada musim hujan," demikian tulisnya, "jalanan desa ini berubah menjadi genangan lumpur, yang hanya dapat dilalui mobil jip [...] atau dokar yang selalu berisiko patah salah satu porosnya."

Saat Gien Tjwan menyelisik Dadap, penghidupan utama masyarakatnya adalah bertanam padi dan menangkap ikan laut atau budi daya empang. Kala itu sawah mereka sekitar 250 hektare lebih. Sementara hari ini kami kesulitan untuk menemukan sepetak empang atau sawah di desa itu.!break!

Di Dadap, siapa yang tak kenal dengan Lie Djie Tong: Jagoan silat. Dia anak dari Lie Tong San dan cucu dari Lie Tjeng Hok. Mereka bertiga legenda běkshi, seni bela diri Tangerang, yang sohor lantaran pernah punya perguruan silat di Dadap yang beken hingga Tangerang udik. Singkat kata, Djie Tong adalah fenomena.

Djie Tong, kini berusia 92 tahun, tetap tegap dan gagah. Dia melakukan ciotau bersama istri pertama pada 1945, lalu menikah lagi dengan perempuan Muslim pada 1965. Kini, cucunya ada 50 lebih, cicitnya ada belasan—dia sendiri lupa angka pastinya. Bahkan, beberapa anak mereka telah berhaji.

Sore itu, ketika saya menjumpainya, Djie Tong baru saja menghabiskan butir salak terakhir di teras rumah gedongannya. Percakapan yang awalnya mencekam itu akhirnya melumer dengan ledakan tawa. Djie Tong ternyata seorang jenaka dengan tutur melayu pasar yang lantang. "Sedikit-sedikit punya juga. Mau jajal?" ujarnya sambil pasang kuda-kuda menonjolkan cincin batu akik di kedua jari manisnya. "Kalau mau jajal ayo jalanin gitu, nanti saya timpa."

"Tidak ada perguruan lagi di sini," ujarnya gamblang. "Banyak yang masih minta dilatih. Gua ngga mau, gua udah tua, gua ogah." Sejak Lie Tjeng Hok wafat pada 1951 dalam usia 97 tahun dan dimakamkan di Kebon Besar, perguruan silatnya pun meredup. Namun, semangat dan ilmu sang guru itu telah menyebar dan berkembang ke pelosok Tangerang.

Sampai hari ini, para pesilat penerus ilmu engkongnya sangat menghormati Djie Tong. Setiap tahun baru Imlek rumahnya selalu kebanjiran tetamu dari pelosok Tangerang. "Orang Slam [Islam] tahun baru kemari. Mereka masih tahun baruan sama empek."

Semasa muda, seperti yang dituturkan Djie Tong, setiap tahun dia menumbangkan setidaknya empat guru silat. Dia bukan mencari ketenaran, namun ada saja orang yang mengajaknya untuk adu pukul. "Saya mau kata ogah, saya malu. Saya kata iya, lha elo sama gua emang kagak ada apa-apanya," kenangnya. "Kan, běkshi di Dadap yang megang bapak gua."

Entah berkah atau musibah bagi lelaki sepuh itu, namun kini nama "Djie Tong" yang melegenda itu telah menjadi kata kunci bagi siapa saja yang merindukan keselamatan. Dia berkisah kepada kami, banyak pengendara sepeda motor di jalanan Dadap yang dikeroyok massa karena mengakibatkan orang lain—dan ternak—celaka. Namun, banyak pula pengendara yang diampuni massa lantaran mereka mengaku sebagai cucunya. Sambil menyeringai, dia berkata dengan ekspresi antara bangga dan getir, "Sekarang kalau kenal Empek Djie Tong ngga jadi dipukul."

Tradisi keguyuban beragama boleh dibilang sudah menjadi karakter masyarakat Cina Benteng, demikian juga dengan keluarganya. Meskipun seorang Cina dan Konghucu, dia mengakui ada darah pribumi Muslim mengalir di dalam tubuhnya. Ketika Djie Tong mendapat dana ganti rugi atas penggusuran makam mertuanya, dia justru menyumbangkan dana itu kepada sebuah masjid. "Lie Tjeng Hok itu bininya orang udik, orang Slam," ungkapnya tentang sang engkong. "Makanya yang ngelahirin bapak saya itu orang Slam."