Cumei bangun kesiangan. Perempuan muda dengan pergelangan tangan kiri bertoreh rajah beraksara Tibet itu bergegas keluar dari kamarnya. Dia menyungging senyuman. Matanya yang sipit tampak kian sipit lantaran kurang tidur. Sanak saudara yang sejak tadi menunggunya di luar segera bergantian menyampaikan selamat atas hari jadinya: kado pelukan dan kecupan mesra. Hari itu Cumei berusia 29 tahun.
Semenjak dua hari lalu, rumahnya berhias tenda merah hati dengan semarak bunga-bunga. Kedamaian rumahnya itu berpadu dengan deru truk-truk pengangkut pasir dan batu gunung yang menghamburkan debu akhir musim kemarau yang menyesakkan.
Nama Cumei bermakna 'adik perempuan terakhir'. Dia tinggal tak jauh dari perempatan Pasar Prumpung, Desa Gunungsindur, sekitar dua kilometer lepas dari perbatasan dengan Kota Tangerang Selatan, Banten. Sekitar sepertiga penduduk desa itu dinaungi oleh satu klenteng di belakang pasar. Meskipun desanya merupakan bagian dari wilayah Bogor-Jawa Barat, tampaknya masyarakat di sini lebih dekat pertaliannya dengan Tangerang-Banten, khususnya soal ekonomi dan budaya.
Tiga pemusik udik mulai menguarkan suara kendang, gong, dan tehyan (rebab Cina). Semalam, juga malam nanti, mereka mengiringi gambang kromong dan cokek yang melantunkan kidung stambul lawas di teras rumahnya.
Ini bukan pesta biasa. Hari ini Cumei dan Candra, suaminya, akan melangsungkan ciotau, pernikahan dalam tradisi Konghucu yang telah diadopsi sebagai budaya Cina Benteng. Maknanya 'menjalin rambut ke atas', sebuah ritual inisiasi perubahan dari sosok lajang menjadi pasangan yang telah menikah.
Sesungguhnya, mereka berdua telah menikah secara Buddha dua bulan sebelumnya di wihara Padumuttara yang menjadi bagian Boen Tek Bio, klenteng tertua di Tangerang. Dahulu, setiap pasangan yang menikah harus melewati ritual ciotau. Namun, kini tidak ada batasan kapan harus melaksanakan tradisi ini, utamanya hanya dilakukan sekali seumur hidup.
Upacara ini merupakan salah satu ritual terpenting dalam kehidupan orang Konghucu. Meskipun Cumei merupakan satu-satunya penganut Buddha Mahayana dalam keluarga Konghucu yang teguh, dia tidak canggung melakukan ritual itu. Hal yang harus selalu dia ingat: cara hormat tradisi Konghucu—berbeda dengan kebiasaannya berhormat dalam Buddha.
Aroma setanggi ladan yang terbakar mulai menyeruak di ruang tamu. Cumei duduk di kursi menghadap pelataran depan rumahnya. Berbusana panjang warna putih dan bawahan kain hijau berlanggam bunga dan burung phoenix, dia membelakangi meja abu leluhur yang memajang foto hitam-putih almarhum ayahnya. Layaknya seorang pengantin, pagi itu Cumei bertabur perhiasan klasik. Alas kakinya, selop warna merah berhias manik-manik yang membentuk pola naga.
Mama, encek (paman), dan seorang keponakan yang belia secara bersama-sama mulai menjalin dan menyisir rambut Cumei yang panjangnya sepunggung. Dia duduk menghadap bangku yang berisi gantang bercat merah berlukis naga. Gantang itu berisi beras yang di atasnya ditancapkan cermin, sisir, gunting, benang, penggaris, timbangan antik, primbon lawas beraksara Cina, dan dua lilin merah yang menyala. Semuanya bermakna, laksana pesan leluhur kepada mempelai.
Setelah menyisir dan menggelung rambutnya ke atas, juru rias menusukkan 25 bunga konde goyang dari besi tempa—yang jelas terbayang beratnya. Rona wajah Cumei pun tampak tulus menikmati beban di kepalanya itu.
Sebelum prosesi ini berlangsung, saya teringat Cumei pernah bercerita kepada saya. "Rangkaian bunga itu ada artinya, kayak beban berat," ujar Cumei. "Katanya sih, semakin kita bilang berat, maka dia semakin berat."
"Ingin ciotau karena adat," ujar Cumei. "Bagi yang ciotau mungkin kelak kalau sudah meninggal bisa ketemu lagi dengan pasangan kita di sana." Dia bertekad atas keinginan sendiri untuk menggunakan upacara yang mulai jarang dipakai orang, meskipun sejatinya dia tidak mengerti benar filosofi di setiap rangkaiannya.
Pada awalnya, keluarga besar justru meragukan kesungguhan Cumei karena tidak mudah menjalani ritual sakral ini. Namun, pada akhirnya mereka mendukungnya karena orang tua Cumei dan Candra pun dulu menikah dengan upacara ini.!break!
Di desanya, upacara ini nyaris punah karena sulitnya mendapatkan juru rias yang memahami urutan sakralnya. Selain masyarakat Cina Benteng di Tangerang dan pinggiran Bogor, upacara ini diperkirakan masih bertahan juga di Tambun, Karawang, hingga Cikampek. Pun, kecenderungannya kian langka. Di kota-kota lain, tradisi ini nyaris tak lagi dijumpai.
Inilah warisan tradisi agraris orang-orang Hokkian dari Cina Selatan, yang di negeri asalnya sudah punah. Pesta pernikahan digelar usai panen—waktu bersantai dan bersuka cita. Pada abad ke-15, hunian mereka telah menyebar di kota-kota sepanjang pantai utara Jawa.
Saya menghadiri upacara pernikahan ini atas undangan Oey Tjin Eng, seorang berdarah Cina Benteng yang meneladani kearifan ajaran Konfusius. Usianya 70 tahun, rambutnya beruban, dan berkulit sawo matang. Sehari-hari, dia mengabdi sebagai pengurus Boen Tek Bio, dan turut berupaya melestarikan kebudayaan ini. Bagi Cumei, Tjin Eng ibarat engkongnya sendiri, seorang sesepuh yang turut membimbing pribadinya sejak remaja.
Tjin Eng bercerita, ketika dia dan istrinya menikah sekitar empat dekade silam, tradisi ini urutannya lebih lengkap dan waktunya lebih panjang. Saat itu, orang masih menganggap "pernikahan agama" lebih penting ketimbang "pernikahan negara". Kini, tradisi ini jauh lebih ringkas demi mengikuti masyarakat yang kian bergaya praktis. Setelah ciotau yang hanya memakan waktu dua jam, kedua mempelai pun buru-buru bersalin dengan busana pengantin Barat, lalu siap menerima tetamu.
Namun, Tjin Eng berusaha supaya sisi filosofinya tidak lenyap. "Tidak semua sesuai asalnya, namun disesuaikan dengan masyarakat sekarang," ujarnya. "Agama yang berkembang dan bisa mengikuti perkembangan zaman, bakal tidak punah."
Sejatinya siapa pun dapat menggunakan adat ini tanpa harus bersembahyang ala Konghucu, demikian hematnya, demi melestarikan budaya. Ibarat tahun baru Imlek, kini semua keturunan Cina merayakannya, tanpa memandang agama.
Tjin Eng mengajak saya ke sudut dapur rumah Cumei. Dia menunjukkan salah satu budaya Cina Benteng dalam hal sesajen. Pendaringan, kopi pahit, kopi manis, susu, air putih, teh pahit, teh manis, rujak buah tujuh rupa, kue, telor ayam, cabe, garam, bawang, ayam bekakak, pisang, dan pelita yang tidak boleh mati. Juga, anglo kecil untuk membakar kemenyan. "Ini akulturasi budaya," ujarnya sembari terkekeh, "tidak ada di Cina."
Kemudian, di depan rumah Cumei, kami mengamati ancak yang berisi sesajian aneka kue, nasi tumpeng plus lauk, rokok, dan duit receh. "Sesajen ini ditempatkan di empat penjuru rumah supaya pernikahan ini lancar," ujar Tjin Eng. "Orang Tionghoa saat datang ke Indonesia tidak bawa istri," ujarnya. "Mereka kawin dengan penduduk lokal. Akulturasi budaya pun terjadi."
Tibalah puncak ritual, Cumei dan Candra bersanding dengan busana bak kaisar dan permaisuri Dinasti Qing, sebuah wangsa yang berkuasa pada 1644–1911 di Cina. Cumei berbusana kain panjang warna merah, bermahkota, dengan wajah tersamar tirai manik-manik. Sedangkan Candra berbusana berjubah hitam, bermahkota caping merah.
Usai santap sajian 12 mangkuk dan aneka ritual nan rumit, juru rias yang merangkap sebagai saman menebarkan sepiring rajangan bunga, uang logam, serta beras kuning kepada dua mempelai. Semua yang ditunjukkan Tjin Eng kepada saya tadi merupakan bagian tradisi Cina Benteng, budaya Cina rasa Tangerang. Semua tradisi itu telah berkembang dan dipelihara oleh klenteng. "Benteng budaya orang Tionghoa itu ada di klenteng," ungkapnya.!break!
Sebuah benteng VOC di tepian timur Cisadane telah mengukuhkan sebuah identitas pecinan di sisi selatannya, dengan julukan Cina Benteng. Sebutan itu meluas ke pedalaman, seiring meluasnya permukiman Tangerang.
Garda pertahanan terdepan di barat Batavia itu dibangun sekitar 1683-1685 tatkala menegangnya hubungan antara VOC dan Banten. Kemudian diperbesar dan diperkuat sekitar 1730-an. Sayangnya, penanda peradaban kota itu telah lenyap. Beberapa ruas jalan yang membelah permukiman di sekitar bekas lokasi benteng itu bertoponimi "Benteng Makasar"—nama kubu pertahanan VOC itu.
Sekitar enam dasawarsa sebelum benteng itu dibangun, VOC telah mengerahkan berbagai kelompok suku untuk menghuni Kota Batavia dan kawasan sekitarnya. Mereka ditempatkan di pinggiran untuk menggarap tanah milik kongsi dagang itu, dan alasan menjaga keamanan di perbatasan. Sejarah mencatat, orang-orang Cina turut menjadi bagian utamanya. Kala industri gula menuai manisnya tebu pada akhir abad ke-17 hingga awal abad ke-18, diduga terjadi migrasi akbar orang-orang Cina ke Tangerang.
Penjualan tanah partikelir yang turut membuka pedalaman sisi barat Batavia rupanya justru berpangkal pada masa Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels pada 1809 sampai 1811. Demikian pemerian Mona Lohanda dalam tesisnya seputar sejarah keberadaan orang-orang Cina dalam masyarakat kolonial. Mona merupakan ahli arsip di Arsip Nasional Republik Indonesia, seorang prominen berdarah Cina Benteng asal Benteng Makasar.
"Intensitas penjualan tanah-tanah itu memang terjadi di masa Daendels, karena butuh dana," ungkap Mona kepada saya. Daendels menghadapi kas yang kocar-kacir lantaran Negeri Belanda tengah menghadapi Perang Napoleon. Dialah yang merencanakan penjualan tanah-tanah sekitar Batavia kepada publik demi mendapatkan likuiditas bagi program pertahanan Hindia Belanda. Dalam kesempatan penjualan itu, menurut Mona, segelintir orang Cina turut membeli tanah di sekitar Tangerang. Dan, sejak saat itu berangsur-angsur banyak pemukim Cina merambahi kawasan tersebut.
Liuk lampai Sungai Cisadane membelah hamparan tanah subur yang pernah dimiliki oleh sebagian besar opsir Cina pada abad ke-19. Bertumpu pada catatan Mona, kawasan Tanjungburung, Rawakidang, Kramat, dan Kapuk dimiliki Mayor Tan Eng Goan yang kemudian—karena bangkrut—berpindah ke penerusnya, Mayor Tan Tjoen Tiat. Daerah Sepatan, Karang Serang Laut, Karang Serang Dalam, dan Rajeg dikuasai oleh Kapiten Lie Tjoe Tjiang. Dan, masih ada sederet nama opsir Cina lainnya hingga awal abad ke-20. Tampaknya sejarah itu menjadi salah satu alasan, menurut Mona, sampai pada akhir abad ke-19 Tangerang merupakan kawasan dengan populasi warga Cina terbanyak seantero Batavia dan sekitarnya.
Para tuan tanah Tangerang itu tidak bekerja untuk menumpuk harta belaka. Saya menemukan sebuah tumpukan koran Bintang Timoer terbitan 29 Mei 1875 yang berdebu dan merepih di Perpustakaan Nasional. Koran itu menyebutkan Souw Siauw Tjong, seorang filantropi dan letnan tituler, mendirikan sebuah sekolah anak-anak di Mauk. Setahun sebelumnya, koran itu mengabarkan tentang Tan Tjeng Po, asisten residen dan tuan tanah, yang mendirikan sekolah untuk anak-anak di tanah miliknya di Batu Ceper.
Hasil pertanian utama tanah partikelir milik para opsir Cina di Tangerang adalah beras, yang mencukupi kebutuhan Batavia. Tebu dan indigo juga merupakan tanaman perkebunan primadona sampai awal abad ke-20.
Namun, perluasan permukiman dan pabrik ke arah barat Jakarta dalam tiga dekade ini telah menghilangkan perkebunan dan sebagian persawahan di Tangerang. Pusat pertumbuhan ekonomi baru itu telah menggeser struktur ekonomi warga. Juga, melunturkan ingatan mereka tentang sejarah kota sendiri.
Di Karawaci, bantaran barat Sungai Cisadane, sekitar lima tahun silam saya mengunjungi keelokan dua rumah perkebunan yang diduga dibangun pada awal abad ke-19, atau akhir abad sebelumnya. Satu rumah bergaya indis yang berhias belasan pilar dan lantai dekoratif. Sedangkan rumah lainnya bergaya bangunan Cina dengan paseban—pengaruh budaya lokal—yang menghadap pemandangan sungai itu. Akan tetapi, ketika saya datang, paseban dan dua patung kilin telah amblas. Kedua rumah tadi saling berpunggungan, tinggalan keluarga Kapitan Oey Djie San, tuan tanah perkebunan Karawaci-Cilongok awal abad ke-20.
Beberapa bulan kemudian, rumah yang menjadi bagian penanda sejarah pembukaan tanah-tanah partikelir di Tangerang itu pun dibongkar. Lalu, berganti jadi restoran siap saji dan kompleks perkantoran bergaya minimalis. Saya pun teringat pemeo lama: Kota tanpa bangunan tua ibarat orang yang hilang ingatan.
seruas gang di pecinan Pasar Lama Tangerang mendedahkan gebyarnya sebagai pasar becek pagi itu. Di tepian timur Sungai Cisadane inilah warga Cina Benteng dari ilir hingga udik melebur sejak zaman VOC. Dahulu kala, pemukim pedalaman mengangkut hasil kebun dengan rakit bambu lonjoran lewat sungai itu. Di Tangerang, mereka menjual semuanya, lalu kembali ke hulu dengan jalan kaki.
Pada awal sejarahnya, mayoritas warga Cina Benteng mempunyai penghidupan agraris, bukan berdagang. Mereka berbaur dengan warga setempat sehingga selayang tak dapat dikenali lagi perbedaan ragawinya. Beberapa dekade terakhir ini, mereka beralih menjadi pengusaha, pedagang, pemilik pabrik, buruh angkut, tukang becak—hingga pengemis.
Saya terimpit aroma sayuran basah yang berbaur dengan amisnya ikan laut segar, asap babi panggang yang menguar, dan semerbak parfum oplosan yang terpapar. Dalam silang selimpat itu, tampak sederet rumah berlantai dua yang berlanggam Cina, diduga tinggalan sebuah perkumpulan cendekiawan sekitar abad ke-18. Seorang warga setempat membeli sebagian dan melestarikannya. Sejak dua tahun silam, rumah itu diresmikan menjadi museum. Museum Benteng Heritage, yang buka seusai jam berjualan pasar, mengabadikan kelindan budaya Indonesia-Cina.
Di ujung pasar itu, saya memasuki gerbang halaman Boen Tek Bio untuk menemui Tjin Eng kembali. Dia dilahirkan di pecinan ini, namun dia mengakui baru sekitar 35 tahun mengenal kehidupan beragama. Sebelumnya, sikapnya apatis terhadap agama. "Orang Tionghoa bukan disatukan oleh agama, namun oleh budaya," demikian ungkapnya. "Kamu beragama apa pun silakan. Namun, sebagai orang Tionghoa kamu harus pertahankan budaya itu."!break!
Ketika saya bertanya soal penggunaan sebutan Cina dan Tionghoa, dia menjawab dengan tegas, "Saya lebih menyukai sebutan Tionghoa." Meskipun demikian, dia tidak menolak sebutan Cina dalam konteks tertentu.
Penggunaan kata Tionghoa untuk orang-orang Cina di Hindia Belanda diperkenalkan pertama kali oleh perkumpulan Tiong Hoa Hwe Koan (THHK) yang didirikan di Batavia pada 1900. Kata"Tionghoa" sejatinya berasal dari dialek Hokkian untuk kata "Chung Hwa" yang mengacu ke bangsa Tiongkok. Kini, menjadi alternatif sebutan untuk warga Cina di Indonesia. Perkumpulan THHK bertujuan mengembangkan ajaran Konghucu dan ilmu pengetahuan. Inilah dasar semangat Tjin Eng dalam melestarikan tradisi Cina Benteng.
"Secara historis, pada zaman dahulu penggunaan istilah Cina itu tidak ada masalah," kata Tjin Eng. "Di zaman Soeharto konotasinya merendahkan." Saat itu, menurutnya, terjadi pengekangan ekspresi budaya Cina, dan sederet perlakuan diskriminatif lainnya. Lalu dia memberikan ungkapan yang kerap meluncur setiap kali mengenang kekelaman Orde Baru. "Pada zaman Soeharto, orang Tionghoa hanya punya tiga shio: Sapi, Kambing, Kelinci," ungkapnya. Dia melanjutkan, "Sapi perahan, kambing hitam, dan kelinci percobaan!"
Namun, sejak Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur (1999-2001), warga Cina boleh mengekspresikan kesenian, budaya, dan agama mereka. Tiba-tiba Tjin Eng mengeluarkan dompet dari saku belakang celananya. Dengan bangga dia memamerkan kepada saya sebuah Kartu Tanda Penduduk yang menunjuk identitas agamanya: Konghucu. "Dulu agama di KTP saya hanya simbol 'kurung-strip-kurung.''' Sambil terkekeh dia berujar, "Sekarang, siapa takut?"
Menurutnya, orang cenderung berhubungan dengan sesama suku. "Itu tidak akan hilang sama sekali, namun pendidikan akan mengurangi sifat primordialisme tadi," ujarnya. Lalu, Tjin Eng mengutip pepatah konfusius yang dirindukan negeri ini, "Ada pendidikan tiada perbedaan."
Pecinan itu memberi teladan dalam memandang perbedaan. Klenteng Boen Tek Bio telah bersanding bersama Masjid Jami Kalipasir, menurut tradisi lisan sejak awal abad ke-18. Seorang warga muslim yang tinggal di pecinan itu berkisah kepada saya, klenteng selalu menyumbang beberapa karung beras ke masjid jelang Idul Fitri. Sementara, pemuda masjid dengan sukarela membantu keamanan dalam kemeriahan Cap Go Meh.
Pertengahan tahun lalu, Agni Malagina, ahli sinologi dari Universitas Indonesia, dan para mahasiswanya menyelisik denyut pecinan Tangerang. Pendiri pecinan itu, menurutnya, telah memperhitungkan secara saksama lokasi yang kelak menjadi permukiman lestari bagi kehidupan mereka dan penerusnya .
"Sungai itu ibarat urat naga," ungkap Agni, "Semakin banyak urat naga, semakin baik untuk permukiman." Naga, dalam mitologi Cina, memang kerap dihubungkan dengan simbol kemakmuran atau kejayaan. Soal simbol naga yang dikaitkan dengan arti pentingnya sungai, Agni mengatakan, "Wilayah sungai itu subur dan akses untuk perdagangan mudah."
Terdapat tiga klenteng di sepanjang aliran Cisadane, yang menurut tradisi telah ada sejak akhir abad ke-17. Selain karena meningkatnya pemukim, apakah ada alasan lain di balik pembangunan dua klenteng tambahan itu?
Beberapa aspek yang kerap menjadi perhatian dalam fengsui adalah gunung dan laut. "Gunung adalah sumber air yang mengalirkan sungai-sungai," kata Agni. "Laut adalah berkah karena kumpulan urat-urat naga." Lantaran Pasar Lama jauh dari sosok gunung dan laut, dibuatlah sosok imaji gunung dan sosok imaji laut. "Boen San Bio melambangkan gunung, Boen Hay Bio melambangkan laut," ujarnya. "Nah, [di tengah-tengah] Boen Tek Bio adalah naganya."
"Kalau daerah itu ideal dan sesuai dengan kaidah fengsui, berarti aman untuk ditinggali." Para pendiri sangat sadar, klenteng harus berada di tempat ideal. "Klenteng menyatukan banyak komunitas," kata Agni. "Dan, stabilitas daerah itu ada di klenteng."
Saya menyaksikan repihan berbagai hunian awal berdirinya masyarakat pinggiran Sungai Cisadane itu telah dijangkiti rumah modern, sarang walet, dan perniagaan berdinding beton.
jalanan beton mulus memaruh permukiman padat dan pergudangan rapat di Dadap, pesisir Tangerang. Salah satu tuan tanah terakhir di Dadap adalah Khouw Oen Giok, wafat pada awal abad ke-20. Mausoleum mewahnya ada di permakaman Jatipetamburan, Jakarta Pusat.
Sekitar setengah abad yang lalu, seorang sosiolog muda yang bernama Go Gien Tjwan berjejak di daerah ini. Saat itu, jalanan beton yang kami lewati masih berupa jalan tanah yang memaruh persawahan. "Pada musim hujan," demikian tulisnya, "jalanan desa ini berubah menjadi genangan lumpur, yang hanya dapat dilalui mobil jip [...] atau dokar yang selalu berisiko patah salah satu porosnya."
Saat Gien Tjwan menyelisik Dadap, penghidupan utama masyarakatnya adalah bertanam padi dan menangkap ikan laut atau budi daya empang. Kala itu sawah mereka sekitar 250 hektare lebih. Sementara hari ini kami kesulitan untuk menemukan sepetak empang atau sawah di desa itu.!break!
Di Dadap, siapa yang tak kenal dengan Lie Djie Tong: Jagoan silat. Dia anak dari Lie Tong San dan cucu dari Lie Tjeng Hok. Mereka bertiga legenda běkshi, seni bela diri Tangerang, yang sohor lantaran pernah punya perguruan silat di Dadap yang beken hingga Tangerang udik. Singkat kata, Djie Tong adalah fenomena.
Djie Tong, kini berusia 92 tahun, tetap tegap dan gagah. Dia melakukan ciotau bersama istri pertama pada 1945, lalu menikah lagi dengan perempuan Muslim pada 1965. Kini, cucunya ada 50 lebih, cicitnya ada belasan—dia sendiri lupa angka pastinya. Bahkan, beberapa anak mereka telah berhaji.
Sore itu, ketika saya menjumpainya, Djie Tong baru saja menghabiskan butir salak terakhir di teras rumah gedongannya. Percakapan yang awalnya mencekam itu akhirnya melumer dengan ledakan tawa. Djie Tong ternyata seorang jenaka dengan tutur melayu pasar yang lantang. "Sedikit-sedikit punya juga. Mau jajal?" ujarnya sambil pasang kuda-kuda menonjolkan cincin batu akik di kedua jari manisnya. "Kalau mau jajal ayo jalanin gitu, nanti saya timpa."
"Tidak ada perguruan lagi di sini," ujarnya gamblang. "Banyak yang masih minta dilatih. Gua ngga mau, gua udah tua, gua ogah." Sejak Lie Tjeng Hok wafat pada 1951 dalam usia 97 tahun dan dimakamkan di Kebon Besar, perguruan silatnya pun meredup. Namun, semangat dan ilmu sang guru itu telah menyebar dan berkembang ke pelosok Tangerang.
Sampai hari ini, para pesilat penerus ilmu engkongnya sangat menghormati Djie Tong. Setiap tahun baru Imlek rumahnya selalu kebanjiran tetamu dari pelosok Tangerang. "Orang Slam [Islam] tahun baru kemari. Mereka masih tahun baruan sama empek."
Semasa muda, seperti yang dituturkan Djie Tong, setiap tahun dia menumbangkan setidaknya empat guru silat. Dia bukan mencari ketenaran, namun ada saja orang yang mengajaknya untuk adu pukul. "Saya mau kata ogah, saya malu. Saya kata iya, lha elo sama gua emang kagak ada apa-apanya," kenangnya. "Kan, běkshi di Dadap yang megang bapak gua."
Entah berkah atau musibah bagi lelaki sepuh itu, namun kini nama "Djie Tong" yang melegenda itu telah menjadi kata kunci bagi siapa saja yang merindukan keselamatan. Dia berkisah kepada kami, banyak pengendara sepeda motor di jalanan Dadap yang dikeroyok massa karena mengakibatkan orang lain—dan ternak—celaka. Namun, banyak pula pengendara yang diampuni massa lantaran mereka mengaku sebagai cucunya. Sambil menyeringai, dia berkata dengan ekspresi antara bangga dan getir, "Sekarang kalau kenal Empek Djie Tong ngga jadi dipukul."
Tradisi keguyuban beragama boleh dibilang sudah menjadi karakter masyarakat Cina Benteng, demikian juga dengan keluarganya. Meskipun seorang Cina dan Konghucu, dia mengakui ada darah pribumi Muslim mengalir di dalam tubuhnya. Ketika Djie Tong mendapat dana ganti rugi atas penggusuran makam mertuanya, dia justru menyumbangkan dana itu kepada sebuah masjid. "Lie Tjeng Hok itu bininya orang udik, orang Slam," ungkapnya tentang sang engkong. "Makanya yang ngelahirin bapak saya itu orang Slam."
Zaman juga telah mengubah segalanya. Dia pun teringat ujaran-ujarannya kala muda—yang membuat orang lain mengira dirinya setengah sinting. "Nanti tanah hitam dan tanah merah pada kawin; orang mati pada bangun dan pindah; Indonesia jadi tapak jalak." Kini, dia pun takjub dengan ujarannya sendiri. Semuanya sahih: hamparan sawah di desanya diuruk dengan tanah daerah lain untuk pembangunan perumahan, penggusuran makam untuk jalan, dan jalan tol yang malang-melintang di Jakarta—bahkan melintasi Tangerang.
Biar kata rupa bumi Dadap sudah berubah, ada satu tradisi yang tetap dipegang teguh dan telah turun-temurun diwariskan oleh sang engkong. "Turunan saya tidak ada yang diizinin jadi pegawai kepolisian yang nangkepin orang. Nggak ada!" ujarnya dengan lantang. "Gua jagoan. Suruh nangkep temen. Kagak mau!"
"Biar pinter sekolah jangan jadi orang yang nangkep-nangkep temen," demikian wasiat Djie Tong kepada anak-anaknya. Dia juga beramanat untuk selalu mengenal preman di sekitar tempat kerja mereka. "Lu cari macannya. Kalau ngga ada, lu cari tikusnya. Kudu ada!" serunya. "Itu teori juara."
Jika di Dadap perguruan silat telah lama sirna dan sang legenda tengah menikmati rihat, di Sewan sekawanan remaja bersemangat berlatih kungfu dalam naungan malam nan pekat.
Kala rembulan dan gemintang berselubung awan, saya menyaksikan mereka berlatih kungfu di Klenteng Tjo Su Bio, Sewan. Busana mereka tidak dibedakan: setelan kaos putih, celana panjang hitam, dan ikat pinggang merah. Tidak ada guru-murid, yang ada kakak-adik. Para senior pun melatih tanpa dibayar.
Seni Olah Raga Tju Su Bio, demikian nama perguruan kungfu tersebut, telah menjadi bagian klenteng itu sejak lima tahun silam. Kini, perguruan itu merupakan satu-satunya seni bela diri yang berada dalam naungan klenteng di Tangerang. Bagi mereka, berlatih kungfu tidak sekadar olah raga, tetapi juga suatu upaya melestarikan budaya barongsai dan liong.
Sepanjang yang saya tahu, biasanya perguruan kungfu menggunakan nama Cina. Saya pun menanyakannya kepada Charles, orang paling senior dan dihormati di perguruan itu. Saya mendengar jawabannya yang meluapkan ekspresi tentang jati diri budaya Tangerang. "Kalau mau ngomong jujur, memang betul kita masih ada darah Cinanya, tetapi kita tidak bisa ngomong Mandarin," ujar Charles sambil tersenyum. Lalu dia berujar dengan bangga, "Inilah orang Tangerang, Cina Benteng!"!break!
Hampir setiap lima menit sekali terdengar gemuruh pesawat lepas landas yang melintasi angkasa Kedaung Wetan. Seserius apa pun pembicaraan saya dengan warga, jarang sekali mereka menghentikan percakapan meski mesin jet menggelegar di atas kepala—barangkali sudah adatnya. Ujungnya, saya kerap mengalami 'gagal paham'.
Pada paruh kedua abad ke-19, Kedaung Wetan merupakan salah satu tanah milik Letnan tituler Souw Siauw Tjong. Sang Letnan merupakan seorang tuan tanah terkaya di Batavia pada masanya, menaruh perhatian soal pendidikan anak-anak di tanah miliknya, seorang rendah hati yang menyokong pemugaran Boen Tek Bio. Rumah tinggalannya yang berlanggam Cina masih lestari di kawasan pecinan Glodok, Jakarta Kota.
Siang itu, saya terkesima menyaksikan rumah pasangan Jo Oen San dan Tjia Wi Lie yang berjarak sekitar satu kilometer dari pagar bandara: Hunian dari bilah-bilah kayu nangka dan beratap genting itu masih tampak asri. Luas pekarangannya sekitar delapan kali lapangan bola basket NBA.
Di beranda rumah yang dinaungi jalinan daun nipah, tampak penolak bala berupa bakcang dan rajah beraksara Cina menjuntai pintu depan. Saya menjumpai Oen San duduk di bangku teras seraya bercengkerama bersama empat cucunya dan Si Beki, anjing berbulu putih kucel kesayangannya.
"Rumah kebaya" demikian sejak dahulu Oen San dan warga setempat menyebut rumah tradisi Cina Benteng yang bisa dibongkar pasang itu. Namun, beberapa anak muda yang saya tanya soal sebutan untuk hunian itu, ternyata mereka lebih mengenal dengan julukan "rumah kayu".
"Kakek saya dan orang tua saya meninggal di rumah ini," ungkap Oen San. Rupanya, hunian berdinding kayu yang ditautkan tanpa paku itu juga menautkan dia dan sebundel kenangan tentang leluhurnya. Sembari mengusap-usap dinding kayu beranda rumahnya, dia berkata, "Makanya saya berasa sayang."
Rumah kayu itu dibuat oleh engkongnya jelang pernikahan papa dan mamanya. Arsitektunya merupakan perpaduan budaya lokal dan budaya Cina pedesaan. Sebuah goresan cat hitam pada kuda-kuda menyingkap tahun pendiriannya. Hunian ini dibangun pada 1927, sepuluh tahun sebelum Oen San lahir. Di rumah ini pula dia dilahirkan, dibesarkan, dan kini bersuka cita di hari tuanya."Apa kata dunia kalau sampai ditelantarin?" katanya.
Sejatinya, rumah itu baru mendiami Kedaung Wetan sekitar 40 tahun silam. Sebelumnya, keluarga Oen San menghuni Rawagelagah, sebuah dusun di Desa Pajang. Toponimi itu telah lenyap pada peta masa sekarang. Pada kurun 1974 hingga 1980, pembangunan bandar udara merambah beberapa desa di pesisir Tangerang—termasuk desanya. Bekas Desa Pajang itu kini berada di sekitar kawasan terminal bandara dan parkir pesawat. "Kalau seperti gelas yang pecah, Pajang ada di tengah-tengah. Sekitar tower itu sawah saya," kenangnya merujuk menara pemandu lalu lintas bandara. "Dari tower kira-kira sekilo [ke timur] baru pekarangan rumah."
Mereka menyebar ke berbagai kawasan sekitar luar bandara yang saat itu masih terkucil dan berupa kebun. Rumah-rumah leluhur pun berdiri kembali di tempat yang baru."Pindah dari sono, layu duluan kalau ibarat pohon," ujarnya getir. "Apa boleh buat. Ceritanya Tuhan punya gerakan, pemerintah punya mau."!break!
Apakah keberadaan masyarakat Cina Benteng telah terdesak? Sampai batas tertentu barangkali jawabannya adalah tidak. Ibarat rumah leluhur Oen San yang sebagian pekarangannya terpangkas pelebaran jalan. Beberapa jengkal tanahnya lenyap, namun rumah dan meja abu leluhurnya tetap lestari. Baginya, keduanya merupakan simbol asal-usul keluarga dan denyut budaya yang mengayomi penghuninya.
Dari catatan lusuh yang terselip di papan meja abu, dia bercerita bahwa dirinya merupakan generasi ketujuh dari Jo Hoei Tjin, lelaki asal Negeri Cina yang datang dan menikahi perempuan Tangerang. Sebab itulah, Oen San kadang bingung apabila seseorang menanyakan apakah dia pribumi atau nonpribumi. "Kagak tahu deh," ujarnya."Saya tahunya kecrutnya di sini dah, boro-boro ke sono [Cina]."
Satu malam sebelum perayaan Tang Cie, sambil menyantap onde bersama, dia bercerita kepada saya tentang tinggalan engkongnya yang masih dia rawat: beberapa bilah golok dan senjata lainnya. "Setiap Bulan Maulud manggil penghulu masjid buat doain dan potong ayam dua," ujar Oen San menjelaskan cara merawat barang pusaka tersebut.
"Seperti orang pribumi kalau punya pusaka dirawat betul-betul. Saya ngga berani kasih ke orang karena itu isinya adalah 'penunggu' rumah ini."
awal tahun ini, saya berkunjung ke rumah Cumei, menjumpai perempuan itu tersenyum semringah. Dia bersyukur bisa menikah dengan tradisi Cina Benteng. "Kata orang dulu, kalau belum ciotau belum married," ujarnya. "Siapa sih yang ngga mau ngerasain sekali seumur hidup?"
Benteng budaya warga Cina Benteng adalah klenteng, barangkali ungkapan itu benar adanya. Sejak awal remaja, dia kerap mengikuti kebaktian Buddha di Boen Tek Bio Tangerang yang berada sekitar 27 kilometer ke arah utara rumahnya. Klenteng di desanya pun lebih erat hubungan persaudaraannya dengan sebuah klenteng paling selatan dari tiga klenteng tadi.
Dia memang pernah mendengar kisah tautan tiga klenteng tertua di Tangerang. Dia meyakini, karisma tiga klenteng itulah yang membawa dia dan warga di desanya cenderung berkelindan dengan budaya Cina Benteng.
Cumei masih ingat betapa dia harus melewati jalanan yang mengupas perkebunan karet nan senyap sepanjang tepi timur Cisadane untuk menuju klenteng tertua itu. Kini, hamparan kebun karet itu telah menjadi bagian perumahan modern seluas 6.000 hektare di Serpong. Kawasan yang dahulu dikenal sebagai Tangerang udik itu menjelma sebagai kota mandiri, hanya dalam tempo sekitar dua dekade. Bulevar meranggitkan berbagai klaster perumahan dengan pusat perbelanjaan, hiburan, olah raga, rumah sakit internasional, hingga perkantoran.
Sebelum Cumei menikah, dia bekerja sebagai akuntan sebuah supermarket bangunan di perumahan itu. "Dulu di Gunungsindur hawanya dingin, masih berbau Bogor. Tetapi, setelah pembangunan perumahan itu sekarang tidak lagi," ujarnya. "Positifnya," sambung Cumei,"menambah lapangan kerja. Mau ke mana-mana jadi gampang."
Sebagai seorang ibu, Cumei punya keinginan untuk selalu memberikan teladan pada setiap perayaan tradisi leluhur kepada anaknya kelak. Selama masih ada meja abu di rumahnya, demikian menurut Cumei, masih ada harapan untuk mengikat tradisi keluarga. "Buddha Mahayana masih pakai meja abu," katanya. "Di situlah aku bisa mengajarkan tradisi, kepercayaan, dan menghormati leluhur."
Ketika hendak berpamitan untuk pulang, saya bertanya kepadanya tentang makna rajah di pergelangan tangan kirinya. "Ini Om Ah Hum," ujar Cumei sembari menjelaskan bahwa mantra ini kerap diucapkan para pendeta Buddha di Tibet. "Apa yang baik semoga tercapai!"
—Mahandis Y. Thamrin, editor teks, dan Yunaidi, fotografer National Geographic Indonesia. Karya mereka soal kisah bencana luap laut di Jakarta terbit pada edisi September 2013.