Sekitar enam dasawarsa sebelum benteng itu dibangun, VOC telah mengerahkan berbagai kelompok suku untuk menghuni Kota Batavia dan kawasan sekitarnya. Mereka ditempatkan di pinggiran untuk menggarap tanah milik kongsi dagang itu, dan alasan menjaga keamanan di perbatasan. Sejarah mencatat, orang-orang Cina turut menjadi bagian utamanya. Kala industri gula menuai manisnya tebu pada akhir abad ke-17 hingga awal abad ke-18, diduga terjadi migrasi akbar orang-orang Cina ke Tangerang.
Penjualan tanah partikelir yang turut membuka pedalaman sisi barat Batavia rupanya justru berpangkal pada masa Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels pada 1809 sampai 1811. Demikian pemerian Mona Lohanda dalam tesisnya seputar sejarah keberadaan orang-orang Cina dalam masyarakat kolonial. Mona merupakan ahli arsip di Arsip Nasional Republik Indonesia, seorang prominen berdarah Cina Benteng asal Benteng Makasar.
"Intensitas penjualan tanah-tanah itu memang terjadi di masa Daendels, karena butuh dana," ungkap Mona kepada saya. Daendels menghadapi kas yang kocar-kacir lantaran Negeri Belanda tengah menghadapi Perang Napoleon. Dialah yang merencanakan penjualan tanah-tanah sekitar Batavia kepada publik demi mendapatkan likuiditas bagi program pertahanan Hindia Belanda. Dalam kesempatan penjualan itu, menurut Mona, segelintir orang Cina turut membeli tanah di sekitar Tangerang. Dan, sejak saat itu berangsur-angsur banyak pemukim Cina merambahi kawasan tersebut.
Liuk lampai Sungai Cisadane membelah hamparan tanah subur yang pernah dimiliki oleh sebagian besar opsir Cina pada abad ke-19. Bertumpu pada catatan Mona, kawasan Tanjungburung, Rawakidang, Kramat, dan Kapuk dimiliki Mayor Tan Eng Goan yang kemudian—karena bangkrut—berpindah ke penerusnya, Mayor Tan Tjoen Tiat. Daerah Sepatan, Karang Serang Laut, Karang Serang Dalam, dan Rajeg dikuasai oleh Kapiten Lie Tjoe Tjiang. Dan, masih ada sederet nama opsir Cina lainnya hingga awal abad ke-20. Tampaknya sejarah itu menjadi salah satu alasan, menurut Mona, sampai pada akhir abad ke-19 Tangerang merupakan kawasan dengan populasi warga Cina terbanyak seantero Batavia dan sekitarnya.
Para tuan tanah Tangerang itu tidak bekerja untuk menumpuk harta belaka. Saya menemukan sebuah tumpukan koran Bintang Timoer terbitan 29 Mei 1875 yang berdebu dan merepih di Perpustakaan Nasional. Koran itu menyebutkan Souw Siauw Tjong, seorang filantropi dan letnan tituler, mendirikan sebuah sekolah anak-anak di Mauk. Setahun sebelumnya, koran itu mengabarkan tentang Tan Tjeng Po, asisten residen dan tuan tanah, yang mendirikan sekolah untuk anak-anak di tanah miliknya di Batu Ceper.
Hasil pertanian utama tanah partikelir milik para opsir Cina di Tangerang adalah beras, yang mencukupi kebutuhan Batavia. Tebu dan indigo juga merupakan tanaman perkebunan primadona sampai awal abad ke-20.
Namun, perluasan permukiman dan pabrik ke arah barat Jakarta dalam tiga dekade ini telah menghilangkan perkebunan dan sebagian persawahan di Tangerang. Pusat pertumbuhan ekonomi baru itu telah menggeser struktur ekonomi warga. Juga, melunturkan ingatan mereka tentang sejarah kota sendiri.
Di Karawaci, bantaran barat Sungai Cisadane, sekitar lima tahun silam saya mengunjungi keelokan dua rumah perkebunan yang diduga dibangun pada awal abad ke-19, atau akhir abad sebelumnya. Satu rumah bergaya indis yang berhias belasan pilar dan lantai dekoratif. Sedangkan rumah lainnya bergaya bangunan Cina dengan paseban—pengaruh budaya lokal—yang menghadap pemandangan sungai itu. Akan tetapi, ketika saya datang, paseban dan dua patung kilin telah amblas. Kedua rumah tadi saling berpunggungan, tinggalan keluarga Kapitan Oey Djie San, tuan tanah perkebunan Karawaci-Cilongok awal abad ke-20.
Beberapa bulan kemudian, rumah yang menjadi bagian penanda sejarah pembukaan tanah-tanah partikelir di Tangerang itu pun dibongkar. Lalu, berganti jadi restoran siap saji dan kompleks perkantoran bergaya minimalis. Saya pun teringat pemeo lama: Kota tanpa bangunan tua ibarat orang yang hilang ingatan.
seruas gang di pecinan Pasar Lama Tangerang mendedahkan gebyarnya sebagai pasar becek pagi itu. Di tepian timur Sungai Cisadane inilah warga Cina Benteng dari ilir hingga udik melebur sejak zaman VOC. Dahulu kala, pemukim pedalaman mengangkut hasil kebun dengan rakit bambu lonjoran lewat sungai itu. Di Tangerang, mereka menjual semuanya, lalu kembali ke hulu dengan jalan kaki.
Pada awal sejarahnya, mayoritas warga Cina Benteng mempunyai penghidupan agraris, bukan berdagang. Mereka berbaur dengan warga setempat sehingga selayang tak dapat dikenali lagi perbedaan ragawinya. Beberapa dekade terakhir ini, mereka beralih menjadi pengusaha, pedagang, pemilik pabrik, buruh angkut, tukang becak—hingga pengemis.
Saya terimpit aroma sayuran basah yang berbaur dengan amisnya ikan laut segar, asap babi panggang yang menguar, dan semerbak parfum oplosan yang terpapar. Dalam silang selimpat itu, tampak sederet rumah berlantai dua yang berlanggam Cina, diduga tinggalan sebuah perkumpulan cendekiawan sekitar abad ke-18. Seorang warga setempat membeli sebagian dan melestarikannya. Sejak dua tahun silam, rumah itu diresmikan menjadi museum. Museum Benteng Heritage, yang buka seusai jam berjualan pasar, mengabadikan kelindan budaya Indonesia-Cina.