Zaman juga telah mengubah segalanya. Dia pun teringat ujaran-ujarannya kala muda—yang membuat orang lain mengira dirinya setengah sinting. "Nanti tanah hitam dan tanah merah pada kawin; orang mati pada bangun dan pindah; Indonesia jadi tapak jalak." Kini, dia pun takjub dengan ujarannya sendiri. Semuanya sahih: hamparan sawah di desanya diuruk dengan tanah daerah lain untuk pembangunan perumahan, penggusuran makam untuk jalan, dan jalan tol yang malang-melintang di Jakarta—bahkan melintasi Tangerang.
Biar kata rupa bumi Dadap sudah berubah, ada satu tradisi yang tetap dipegang teguh dan telah turun-temurun diwariskan oleh sang engkong. "Turunan saya tidak ada yang diizinin jadi pegawai kepolisian yang nangkepin orang. Nggak ada!" ujarnya dengan lantang. "Gua jagoan. Suruh nangkep temen. Kagak mau!"
"Biar pinter sekolah jangan jadi orang yang nangkep-nangkep temen," demikian wasiat Djie Tong kepada anak-anaknya. Dia juga beramanat untuk selalu mengenal preman di sekitar tempat kerja mereka. "Lu cari macannya. Kalau ngga ada, lu cari tikusnya. Kudu ada!" serunya. "Itu teori juara."
Jika di Dadap perguruan silat telah lama sirna dan sang legenda tengah menikmati rihat, di Sewan sekawanan remaja bersemangat berlatih kungfu dalam naungan malam nan pekat.
Kala rembulan dan gemintang berselubung awan, saya menyaksikan mereka berlatih kungfu di Klenteng Tjo Su Bio, Sewan. Busana mereka tidak dibedakan: setelan kaos putih, celana panjang hitam, dan ikat pinggang merah. Tidak ada guru-murid, yang ada kakak-adik. Para senior pun melatih tanpa dibayar.
Seni Olah Raga Tju Su Bio, demikian nama perguruan kungfu tersebut, telah menjadi bagian klenteng itu sejak lima tahun silam. Kini, perguruan itu merupakan satu-satunya seni bela diri yang berada dalam naungan klenteng di Tangerang. Bagi mereka, berlatih kungfu tidak sekadar olah raga, tetapi juga suatu upaya melestarikan budaya barongsai dan liong.
Sepanjang yang saya tahu, biasanya perguruan kungfu menggunakan nama Cina. Saya pun menanyakannya kepada Charles, orang paling senior dan dihormati di perguruan itu. Saya mendengar jawabannya yang meluapkan ekspresi tentang jati diri budaya Tangerang. "Kalau mau ngomong jujur, memang betul kita masih ada darah Cinanya, tetapi kita tidak bisa ngomong Mandarin," ujar Charles sambil tersenyum. Lalu dia berujar dengan bangga, "Inilah orang Tangerang, Cina Benteng!"!break!
Hampir setiap lima menit sekali terdengar gemuruh pesawat lepas landas yang melintasi angkasa Kedaung Wetan. Seserius apa pun pembicaraan saya dengan warga, jarang sekali mereka menghentikan percakapan meski mesin jet menggelegar di atas kepala—barangkali sudah adatnya. Ujungnya, saya kerap mengalami 'gagal paham'.
Pada paruh kedua abad ke-19, Kedaung Wetan merupakan salah satu tanah milik Letnan tituler Souw Siauw Tjong. Sang Letnan merupakan seorang tuan tanah terkaya di Batavia pada masanya, menaruh perhatian soal pendidikan anak-anak di tanah miliknya, seorang rendah hati yang menyokong pemugaran Boen Tek Bio. Rumah tinggalannya yang berlanggam Cina masih lestari di kawasan pecinan Glodok, Jakarta Kota.
Siang itu, saya terkesima menyaksikan rumah pasangan Jo Oen San dan Tjia Wi Lie yang berjarak sekitar satu kilometer dari pagar bandara: Hunian dari bilah-bilah kayu nangka dan beratap genting itu masih tampak asri. Luas pekarangannya sekitar delapan kali lapangan bola basket NBA.
Di beranda rumah yang dinaungi jalinan daun nipah, tampak penolak bala berupa bakcang dan rajah beraksara Cina menjuntai pintu depan. Saya menjumpai Oen San duduk di bangku teras seraya bercengkerama bersama empat cucunya dan Si Beki, anjing berbulu putih kucel kesayangannya.
"Rumah kebaya" demikian sejak dahulu Oen San dan warga setempat menyebut rumah tradisi Cina Benteng yang bisa dibongkar pasang itu. Namun, beberapa anak muda yang saya tanya soal sebutan untuk hunian itu, ternyata mereka lebih mengenal dengan julukan "rumah kayu".
"Kakek saya dan orang tua saya meninggal di rumah ini," ungkap Oen San. Rupanya, hunian berdinding kayu yang ditautkan tanpa paku itu juga menautkan dia dan sebundel kenangan tentang leluhurnya. Sembari mengusap-usap dinding kayu beranda rumahnya, dia berkata, "Makanya saya berasa sayang."
Rumah kayu itu dibuat oleh engkongnya jelang pernikahan papa dan mamanya. Arsitektunya merupakan perpaduan budaya lokal dan budaya Cina pedesaan. Sebuah goresan cat hitam pada kuda-kuda menyingkap tahun pendiriannya. Hunian ini dibangun pada 1927, sepuluh tahun sebelum Oen San lahir. Di rumah ini pula dia dilahirkan, dibesarkan, dan kini bersuka cita di hari tuanya."Apa kata dunia kalau sampai ditelantarin?" katanya.
Sejatinya, rumah itu baru mendiami Kedaung Wetan sekitar 40 tahun silam. Sebelumnya, keluarga Oen San menghuni Rawagelagah, sebuah dusun di Desa Pajang. Toponimi itu telah lenyap pada peta masa sekarang. Pada kurun 1974 hingga 1980, pembangunan bandar udara merambah beberapa desa di pesisir Tangerang—termasuk desanya. Bekas Desa Pajang itu kini berada di sekitar kawasan terminal bandara dan parkir pesawat. "Kalau seperti gelas yang pecah, Pajang ada di tengah-tengah. Sekitar tower itu sawah saya," kenangnya merujuk menara pemandu lalu lintas bandara. "Dari tower kira-kira sekilo [ke timur] baru pekarangan rumah."
Mereka menyebar ke berbagai kawasan sekitar luar bandara yang saat itu masih terkucil dan berupa kebun. Rumah-rumah leluhur pun berdiri kembali di tempat yang baru."Pindah dari sono, layu duluan kalau ibarat pohon," ujarnya getir. "Apa boleh buat. Ceritanya Tuhan punya gerakan, pemerintah punya mau."!break!
Apakah keberadaan masyarakat Cina Benteng telah terdesak? Sampai batas tertentu barangkali jawabannya adalah tidak. Ibarat rumah leluhur Oen San yang sebagian pekarangannya terpangkas pelebaran jalan. Beberapa jengkal tanahnya lenyap, namun rumah dan meja abu leluhurnya tetap lestari. Baginya, keduanya merupakan simbol asal-usul keluarga dan denyut budaya yang mengayomi penghuninya.
Dari catatan lusuh yang terselip di papan meja abu, dia bercerita bahwa dirinya merupakan generasi ketujuh dari Jo Hoei Tjin, lelaki asal Negeri Cina yang datang dan menikahi perempuan Tangerang. Sebab itulah, Oen San kadang bingung apabila seseorang menanyakan apakah dia pribumi atau nonpribumi. "Kagak tahu deh," ujarnya."Saya tahunya kecrutnya di sini dah, boro-boro ke sono [Cina]."
Satu malam sebelum perayaan Tang Cie, sambil menyantap onde bersama, dia bercerita kepada saya tentang tinggalan engkongnya yang masih dia rawat: beberapa bilah golok dan senjata lainnya. "Setiap Bulan Maulud manggil penghulu masjid buat doain dan potong ayam dua," ujar Oen San menjelaskan cara merawat barang pusaka tersebut.
"Seperti orang pribumi kalau punya pusaka dirawat betul-betul. Saya ngga berani kasih ke orang karena itu isinya adalah 'penunggu' rumah ini."
awal tahun ini, saya berkunjung ke rumah Cumei, menjumpai perempuan itu tersenyum semringah. Dia bersyukur bisa menikah dengan tradisi Cina Benteng. "Kata orang dulu, kalau belum ciotau belum married," ujarnya. "Siapa sih yang ngga mau ngerasain sekali seumur hidup?"
Benteng budaya warga Cina Benteng adalah klenteng, barangkali ungkapan itu benar adanya. Sejak awal remaja, dia kerap mengikuti kebaktian Buddha di Boen Tek Bio Tangerang yang berada sekitar 27 kilometer ke arah utara rumahnya. Klenteng di desanya pun lebih erat hubungan persaudaraannya dengan sebuah klenteng paling selatan dari tiga klenteng tadi.
Dia memang pernah mendengar kisah tautan tiga klenteng tertua di Tangerang. Dia meyakini, karisma tiga klenteng itulah yang membawa dia dan warga di desanya cenderung berkelindan dengan budaya Cina Benteng.
Cumei masih ingat betapa dia harus melewati jalanan yang mengupas perkebunan karet nan senyap sepanjang tepi timur Cisadane untuk menuju klenteng tertua itu. Kini, hamparan kebun karet itu telah menjadi bagian perumahan modern seluas 6.000 hektare di Serpong. Kawasan yang dahulu dikenal sebagai Tangerang udik itu menjelma sebagai kota mandiri, hanya dalam tempo sekitar dua dekade. Bulevar meranggitkan berbagai klaster perumahan dengan pusat perbelanjaan, hiburan, olah raga, rumah sakit internasional, hingga perkantoran.
Sebelum Cumei menikah, dia bekerja sebagai akuntan sebuah supermarket bangunan di perumahan itu. "Dulu di Gunungsindur hawanya dingin, masih berbau Bogor. Tetapi, setelah pembangunan perumahan itu sekarang tidak lagi," ujarnya. "Positifnya," sambung Cumei,"menambah lapangan kerja. Mau ke mana-mana jadi gampang."
Sebagai seorang ibu, Cumei punya keinginan untuk selalu memberikan teladan pada setiap perayaan tradisi leluhur kepada anaknya kelak. Selama masih ada meja abu di rumahnya, demikian menurut Cumei, masih ada harapan untuk mengikat tradisi keluarga. "Buddha Mahayana masih pakai meja abu," katanya. "Di situlah aku bisa mengajarkan tradisi, kepercayaan, dan menghormati leluhur."
Ketika hendak berpamitan untuk pulang, saya bertanya kepadanya tentang makna rajah di pergelangan tangan kirinya. "Ini Om Ah Hum," ujar Cumei sembari menjelaskan bahwa mantra ini kerap diucapkan para pendeta Buddha di Tibet. "Apa yang baik semoga tercapai!"
—Mahandis Y. Thamrin, editor teks, dan Yunaidi, fotografer National Geographic Indonesia. Karya mereka soal kisah bencana luap laut di Jakarta terbit pada edisi September 2013.