Di desanya, upacara ini nyaris punah karena sulitnya mendapatkan juru rias yang memahami urutan sakralnya. Selain masyarakat Cina Benteng di Tangerang dan pinggiran Bogor, upacara ini diperkirakan masih bertahan juga di Tambun, Karawang, hingga Cikampek. Pun, kecenderungannya kian langka. Di kota-kota lain, tradisi ini nyaris tak lagi dijumpai.
Inilah warisan tradisi agraris orang-orang Hokkian dari Cina Selatan, yang di negeri asalnya sudah punah. Pesta pernikahan digelar usai panen—waktu bersantai dan bersuka cita. Pada abad ke-15, hunian mereka telah menyebar di kota-kota sepanjang pantai utara Jawa.
Saya menghadiri upacara pernikahan ini atas undangan Oey Tjin Eng, seorang berdarah Cina Benteng yang meneladani kearifan ajaran Konfusius. Usianya 70 tahun, rambutnya beruban, dan berkulit sawo matang. Sehari-hari, dia mengabdi sebagai pengurus Boen Tek Bio, dan turut berupaya melestarikan kebudayaan ini. Bagi Cumei, Tjin Eng ibarat engkongnya sendiri, seorang sesepuh yang turut membimbing pribadinya sejak remaja.
Tjin Eng bercerita, ketika dia dan istrinya menikah sekitar empat dekade silam, tradisi ini urutannya lebih lengkap dan waktunya lebih panjang. Saat itu, orang masih menganggap "pernikahan agama" lebih penting ketimbang "pernikahan negara". Kini, tradisi ini jauh lebih ringkas demi mengikuti masyarakat yang kian bergaya praktis. Setelah ciotau yang hanya memakan waktu dua jam, kedua mempelai pun buru-buru bersalin dengan busana pengantin Barat, lalu siap menerima tetamu.
Namun, Tjin Eng berusaha supaya sisi filosofinya tidak lenyap. "Tidak semua sesuai asalnya, namun disesuaikan dengan masyarakat sekarang," ujarnya. "Agama yang berkembang dan bisa mengikuti perkembangan zaman, bakal tidak punah."
Sejatinya siapa pun dapat menggunakan adat ini tanpa harus bersembahyang ala Konghucu, demikian hematnya, demi melestarikan budaya. Ibarat tahun baru Imlek, kini semua keturunan Cina merayakannya, tanpa memandang agama.
Tjin Eng mengajak saya ke sudut dapur rumah Cumei. Dia menunjukkan salah satu budaya Cina Benteng dalam hal sesajen. Pendaringan, kopi pahit, kopi manis, susu, air putih, teh pahit, teh manis, rujak buah tujuh rupa, kue, telor ayam, cabe, garam, bawang, ayam bekakak, pisang, dan pelita yang tidak boleh mati. Juga, anglo kecil untuk membakar kemenyan. "Ini akulturasi budaya," ujarnya sembari terkekeh, "tidak ada di Cina."
Kemudian, di depan rumah Cumei, kami mengamati ancak yang berisi sesajian aneka kue, nasi tumpeng plus lauk, rokok, dan duit receh. "Sesajen ini ditempatkan di empat penjuru rumah supaya pernikahan ini lancar," ujar Tjin Eng. "Orang Tionghoa saat datang ke Indonesia tidak bawa istri," ujarnya. "Mereka kawin dengan penduduk lokal. Akulturasi budaya pun terjadi."
Tibalah puncak ritual, Cumei dan Candra bersanding dengan busana bak kaisar dan permaisuri Dinasti Qing, sebuah wangsa yang berkuasa pada 1644–1911 di Cina. Cumei berbusana kain panjang warna merah, bermahkota, dengan wajah tersamar tirai manik-manik. Sedangkan Candra berbusana berjubah hitam, bermahkota caping merah.
Usai santap sajian 12 mangkuk dan aneka ritual nan rumit, juru rias yang merangkap sebagai saman menebarkan sepiring rajangan bunga, uang logam, serta beras kuning kepada dua mempelai. Semua yang ditunjukkan Tjin Eng kepada saya tadi merupakan bagian tradisi Cina Benteng, budaya Cina rasa Tangerang. Semua tradisi itu telah berkembang dan dipelihara oleh klenteng. "Benteng budaya orang Tionghoa itu ada di klenteng," ungkapnya.!break!
Sebuah benteng VOC di tepian timur Cisadane telah mengukuhkan sebuah identitas pecinan di sisi selatannya, dengan julukan Cina Benteng. Sebutan itu meluas ke pedalaman, seiring meluasnya permukiman Tangerang.
Garda pertahanan terdepan di barat Batavia itu dibangun sekitar 1683-1685 tatkala menegangnya hubungan antara VOC dan Banten. Kemudian diperbesar dan diperkuat sekitar 1730-an. Sayangnya, penanda peradaban kota itu telah lenyap. Beberapa ruas jalan yang membelah permukiman di sekitar bekas lokasi benteng itu bertoponimi "Benteng Makasar"—nama kubu pertahanan VOC itu.