Hijaz: Sumur Kenangan

By , Jumat, 27 Juni 2014 | 13:18 WIB

KITA BISA MENEMUKAN RIBUAN SUMUR DI HIJAZ LAMA. KAMI MENGUNJUNGI BEBERAPA DI ANTARANYA.

Kadang airnya manis. Tetapi, lebih sering terasa asin. Sumur-sumur ini, yang menandai bekas jalur kafilah yang sudah lama diabaikan di Arab, merupakan saksi kelangsungan hidup manusia. Setiap sumur membentuk nuansa bentang alam yang indah. Begitu pula orang-orang yang meminum airnya.

Di Hijaz—wilayah kerajaan suku Hashemit yang sudah hilang, yang dahulu pernah me­nguasai pantai Laut Merah di Arab Saudi—ter­dapat sejumlah sumur yang ramai dikunjungi orang, dan sumur yang sunyi. Terdapat sumur yang airnya melantunkan kesedihan, atau keceriaan. Kami menggunakan sumur-sumur ini untuk mendengarkan kisah mereka.

Wadi Wasit adalah sumur yang menyerap habis kenangan masa lalu.

Kami mencapai sumur itu pada bulan Agustus yang terik. Kami sudah melalui se­tengah perjalanan berjarak lebih dari 1.200 kilo­meter dengan berjalan kaki, dari Jeddah ke Yordania. Kami beristirahat di bawah bayang-bayang dua pohon berduri. Di sinilah, kami bertemu dengan sang pelari.

Penggembala unta Badui berkumis yang tembam ini adalah sosok yang ramah, penuh rasa ingin tahu, dan cerewet. Dia mengira kami adalah para pencari harta karun. Dia pun datang untuk menjual artefak.

“Lihat ini!” serunya. Dia mengacungkan cincin timah. Sarung pedang dari besi. Sekeping uang logam yang digosok hingga mengilap.

Seberapa tuakah barang-barang ini?

Sang pelari itu tidak tahu. “Kadim jidn,” katanya: Sangat tua.

Hijaz—persimpangan jalan tempat ber­temunya Arab, Afrika, dan Asia, dan sejak lama menjadi simpul jalur perdagangan ke Eropa—adalah salah satu sudut dunia kuno yang paling banyak kisahnya. Selama ribuan tahun, Hijaz menyaksikan pengembara lalu-lalang. Masyarakat Zaman Batu meninggalkan Afrika untuk berburu dan menangkap ikan dengan merambah ke utara, melintasi sabana yang kini sudah lenyap. Masyarakat beberapa peradaban manusia pertama—Asyur, Mesir, dan Mabataea—menjelajahi tempat ini, men­jual budak untuk mendapatkan dupa dan emas. Islam lahir di sini. Peziarah dari Maroko atau Konstantinopel mungkin minum air dari sumur di Wadi Wasit. Lawrence dari Arab pun mungkin pernah meneguk airnya. Tidak ada yang tahu. Wallahu a’lam. Kadim jidn.

“Ambillah!” kata pelari itu. “Ambillah, ini gratis!” Namun, kami menolak membeli barang-barang antiknya.

Setelah membereskan barang bawaan pada kedua unta kami untuk melanjutkan perjalanan, kami melihatnya sekali lagi. Dia sedang ber­lari—melesat mengelilingi sumur. Dia telah me­lepaskan jubah putihnya. Dan, dia berlari di padang pasir hanya dengan mengenakan pakaian dalamnya, mengelilingi sumur di bawah kejamnya sengatan matahari. Dia berlari tanpa kenal lelah. Sang pelari itu tidak gila, atau mabuk. Saya rasa, dia tersesat. Sebagaimana halnya kita semua tersesat ketika mengabaikan sejarah. Kita tidak tahu harus ke mana. Masa lalu sangat berlimpah di Hijaz. Namun, saya belum pernah mengunjungi tempat dengan kenangan yang lebih sedikit daripada tempat ini.

!break!