Hijaz: Sumur Kenangan

By , Jumat, 27 Juni 2014 | 13:18 WIB

Ini adalah pendingin listrik luar-ruang. Pendingin itu mengeluarkan air begitu dingin, sehingga mulut yang meminumnya menjadi mati rasa. Kami menemukan ratusan mesin yang disebut asbila ini: air mancur umum yang dibuat oleh umat yang saleh untuk mendapatkan pahala dari Allah.

Pada suatu hari nanti, mesin yang menonjol dari bukit-bukit pasir yang terus bergeser ini akan membuat para arkeolog kebingungan. Bagaimana mungkin suatu masyarakat mampu mem­peroleh segelas air di tengah gurun yang begitu luas dan ter­pencil seperti Hijaz? Namun, asbila yang kini mengisi perbekalan air kami hadir berkat sumur-sumur lain, yang dibor di ladang minyak jauh di daerah timur Arab Saudi.

“Kami membarter masa lalu dengan ke­kaya­an,” keluh Ibrahim, seorang insinyur perairan di pelabuhan Al Wajh. “Rumah batu karang kakek saya yang berusia 200 tahun? Dibuldoser. Mercusuar kota dari batu yang dahulu terlihat hingga 20 kilometer dari tengah laut? Tinggal puing-puing. Tak ada yang peduli. Semuanya barang usang.

Beberapa warga Hijaz menyalahkan Kaum Wahabi karena lenyapnya sekian banyak masa lalu mereka. Sebagai contoh, dalam beberapa tahun terakhir, sejarawan perkotaan mengecam pembongkaran daerah tua di Mekkah dan Madinah, termasuk perataan bangunan kuno yang terkait dengan Nabi Muhammad SAW. Dalihnya, hal ini dilakukan untuk melayani dua juta lebih peziarah yang memenuhi kota saat musim haji. Namun, para pemuka agama sering menyetujui penghancuran situs budaya. Kaum Wahabi menyatakan bahwa semua masa lalu sebelum Islam adalah jahiliyah: masa kebodohan. Mereka juga takut pelestarian situs-situs Islam dapat menyebabkan pemujaan benda, mengalihkan penyembahan kepada Allah—sehingga mengakibatkan penyembahan berhala atau syirik.

Modernisasi. Peralihan dari adat istiadat kuno Hijaz ke budaya modern seperti Twitter dan gedung pencakar langit kaca terjadi dalam hampir tiga generasi saja. Sementara itu, di kota-kota nelayan di sepanjang pantai Hijaz, nelayan lokal yang masih bertahan berusaha keras melantunkan lagu lautan ke perekam digital saya. Lagu dari zaman dhow kayu. Lagu tentang angin Laut Merah yang hangat. Tentang wanita cantik yang menunggu di pelabuhan. Para nelayan Hijaz ini, yang sebagian besar me­nyewakan perahunya kepada kaum imigran Banglades, seolah-olah telah menjadi pakar antropologi yang mempertahankan budaya lama. “Sangatlah penting,” kata seorang peneliti dari University of Exeter di Inggris, “untuk menangkap sisa-sisa terakhir lagu-lagu lautan sejati itu, sebelum tinggal kenangan belaka.”!break!

Kami bergerak lambat ke utara menuju Yordania, menenggak empat liter air sehari. Kami mencari sumur kenangan.

Di Jeddah, seorang seniwati memasang lukis­an di tembok kota tua; lukisan kakeknya yang sedang duduk bersama kelompoknya yang sudah hilang, majelis tradisional yang dahulu umum terdapat di rumah bangsawan Hijaz. (Lukisan berjudul “Di mana Majlis saya?” ini hilang secara misterius seminggu kemudian).

Di Madinah, seorang direktur museum dengan cermat menghabiskan waktu tujuh tahun untuk membangun diorama seluas lima meter persegi yang menampilkan pusat kota suci itu, lengkap dengan lorong-lorongnya yang simpang-siur, dan kebun jeruk. Diorama abadi ini dihancurkan pada 1980-an, berganti jadi hotel bertingkat.

Masa lalu adalah ranah sarat emosi dan kon­tro­versi di setiap negara. Namun, di Arab Saudi, pandangan yang picik ini telah berubah.

Riyadh telah menghabiskan hampir sepuluh miliar rupiah untuk sebuah museum yang diper­sembahkan bagi Perkeretaapian Hijaz yang berakhir di Madinah. Daerah tua Jeddah juga kini siap ditinjau sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO. (Salah satu pusaka dunia seperti ini sudah ada di Hijaz: Madain Salih, pekuburan kolosal dari zaman kekaisaran Nabatea). Yang paling luar biasa dari semua itu, sebuah kota kafilah Hijaz yang meliputi sekitar 800 rumah, ditinggalkan dan runtuh selama 40 tahun, telah dibeli pemerintah untuk dipugar.

“Ini percobaan terbesar kami,” kata Mutlaq Suleiman Almutlaq, seorang arkeolog di Komisi Saudi untuk Pariwisata dan Purbakala, dan kurator kota kafilah kuno Al Ula. “Kami kini mulai menghargai masa lalu lagi. Bagus sekali.”

Penjelajah Muslim legendaris, Ibnu Battutah, yang melewati tempat ini pada abad ke-14, memuji kejujuran rakyat Al Ula: Para peziarah konon kerap menitipkan barangnya di sini dalam perjalanan ke Mekkah.!break!

Kita semua adalah peziarah di Hijaz. Pe­lancong yang menembus waktu. Kita berhenti di sumurnya, atau berjalan melewatinya. Digunakan atau tidak, sumur itu tetap ada.

Setelah berjalan kaki selama enam bulan, saya mengucapkan selamat tinggal kepada pemandu saya, Ali dan Awad. Saya menyeberangi per­batasan Haql dari Arab Saudi ke Yordania. Saya tidak membawa banyak barang. Sebuah tas bahu berisi beberapa buah notebook yang diikat dengan karet gelang. Tulisan sepanjang 1.000-an kilometer. Peta jalanan peziarah. Pencerahan dari dukun tradisional Badui.

Di resor wisata modern, kaum perempuan terlihat mengemudikan mobil. Saya mengamati sepasang muda-mudi berjalan di pantai, mengenakan sarung. Saya membeli sebotol air: sebuah sumur plastik kecil, artefak dari budaya global. Saya memandang ke arah Hijaz. Bibir sumur kunonya meninggalkan jejak yang  perlahan-lahan berubah menjadi debu.