Sumur kecil tanpa dasar di Hijaz: sebuah cangkir porselen putih.
Cangkir itu berisi kopi hitam pekat yang sangat nikmat, diletakkan di atas meja kayu mengilap di dalam rumah besar yang elegan di pelabuhan Jeddah. Tiga wanita Hijaz cerdas yang piawai berbicara mengisi cangkir tanpa henti. Mereka berbicara bergantian, berharap dapat memperbaiki kesalahan persepsi tentang Arab Saudi: bahwa kerajaan itu adalah masyarakat homogen, sebuah budaya yang dibentuk oleh Islam yang keras, bangsa yang dipandang membosankan oleh orang-orang kaya konsumtif yang berlimpah petrodolar.
Arab Saudi adalah mosaik beraneka ragam manusia. Negeri itu terdiri atas Syiah di timur, kaum Yaman di selatan, bangsa Levantin di utara, dan masyarakat Badui di tengah—kediaman kaum Najd yang puritan, rumah dinasti yang berkuasa, Dinasti Saud. Para wanita ini bersikeras bahwa tidak ada wilayah di Arab Saudi yang tetap lebih mandiri, lebih bangga, selain daerah yang menjaga kedua kota suci Mekkah dan Madinah sejak abad kesepuluh—kerajaan Hijaz yang telah lenyap. Sepenuhnya merdeka pada akhir Perang Dunia I, Hijaz baru dapat dikuasai oleh dinasti Al Saud pada 1925.
Kawasan itu tetap menjadi tempat penuh kontradiksi. Di satu sisi: lanskap suci, kedua kota sucinya sudah sejak lama terlarang bagi non-Muslim. Di sisi lain: sudut Arab Saudi yang paling kosmopolitan dan liberal, belanga budaya, sebuah gerbang masuk dan jaringan migrasi, dipengaruhi beragam budaya dari Asia, Afrika, Levant, dan seratusan tempat lainnya.
Laila Abduljawad, seorang pelestari budaya berkata: “Hijaz telah menarik peziarah dari seluruh penjuru dunia Islam. Bagaimana mungkin kebudayaan kami tidak terpengaruhi? Makanan pokok kami adalah beras Bukhari dari Asia Tengah! Bahan pakaian tradisional kami dari India! Aksen kami dari Mesir! Kami lebih terbuka pada dunia luar daripada orang-orang dari wilayah tengah.”
Salma Alireza, seorang penyulam tradisional berpendapat: “Pakaian tradisional kaum wanita di Hijaz bukanlah abaya”—gaun hitam berat yang dipaksakan oleh kaum Najdi yang berkuasa. “Kaum wanita di sini dahulu terbiasa memakai gaun berwarna merah dan biru terang di luar rumah. Itulah pakaian tradisional kami. Tetapi, hidup berubah pada 1960-an. Uang dari minyak mengalir deras. Kami mengalami modernisasi terlalu cepat. Kami kehilangan begitu banyak dalam 50 tahun terakhir!”
Rabya Alfadl, seorang konsultan pemasaran yang masih muda berkata: “Apakah Hijaz sudah berbeda? Cobalah lihat ke sekeliling Anda.”
Ia memang benar. Para wanita tanpa jilbab sekarang tampak di mana-mana. Mereka mengenakan blus dan celana panjang. (Pemandangan yang sulit ditemui di ibu kota Saudi, Riyadh; di kota ini pemisahan jenis kelamin dan budaya kesukuan masih diterapkan dengan ketat.) Rumah tempat kami mengobrol dirancang dengan indah, bergaya chic, minimalis, berdekorasi global. Di luar, kita dapat menemukan sanggar seni, kafe, promenade, museum—pusat budaya Arab Saudi.
“Rasa identitas budaya telah bertahan di Hijaz selama seribuan tahun. Identitas budaya ini mengembangkan musik, masakan, dan cerita rakyat sendiri,” ujar Laila. “Kami melakukan beberapa langkah kecil pertama untuk menyelamatkan sebagian kecil dari semua ini.”
Para wanita ini adalah para putri sebuah kota yang feminin. Menurut cerita rakyat Arab, Hawa dimakamkan di Jeddah yang sekarang telah menjadi pelabuhan industri yang luas dan modern. Makam Hawa dinaungi “kubah kuno yang megah,” sebagaimana yang dipaparkan pelancong bangsa Moor, Ibnu Jubair. Kubah itu kini sudah hilang. Para ulama Wahabi, yang membenci kuil sebagai tempat penyembahan berhala, kemungkinan telah menghancurkannya hampir satu abad yang lalu.
Lebih dari 500 kilometer di utara Jeddah, dekat sebuah sumur kering bernama Al Amarah, kami menghentikan perjalanan. Sebuah mobil mendekat. Mobil itu adalah sebuah Toyota Hilux, unta besi kaum Badui modern.
Melihat pelancong lain adalah hal yang baru. Menjelajahi bagian barat Arab Saudi dengan berjalan kaki pada zaman sekarang jauh lebih sepi dibandingkan dengan satu atau dua generasi lalu, ketika tenda-tenda hitam Badui masih menghiasi daerah gurun yang rapuh. Kaum pengembara terkenal dari Hijaz—suku Balawi, Harb, Juhayna—kini berdiam di kota, di pinggiran kota, perkantoran, barak tentara. Namun, yang keras kepala tetap bertahan.