Hijaz masih menginspirasi kisah-kisah romansa di dunia non-Muslim berkat pencatat sejarah dari luar negeri.
Di antaranya, cendekiawan serba bisa Swiss abad ke-19 bernama Johann Ludwig Burckhardt, yang melakukan perjalanan ke pusat dunia Islam sebagai orang miskin—seorang “bangsawan Mesir yang jatuh miskin”—dan tidak pernah pulang ke kampung halamannya lagi. Selain itu, ada orang Inggris brilian dan sombong bernama Richard Francis Burton yang, jika kita bisa memercayainya, pernah menyentuh Ka’bah, bangunan paling suci—bangunan kubus besar terbuat dari batu vulkanik di Mekkah yang menjadi kiblat salat umat Muslim.
Orang-orang Eropa ini menyaksikan dunia yang tidak berubah selama sekian ratus tahun. Mereka menemukan kota-kota Laut Merah yang dibangun dari blok karang putih yang mengilap, pintu melengkung, dan kerai jendela dicat hijau laut serta biru nomad yang memesona. Mereka melewati kota di dalam benteng yang gerbang tingginya berderit saat ditutup pada sore hari. Mereka memacu untanya di antara oasis berbenteng bersama beberapa lelaki berambut acak-acakan, kaum Badui, yang menurut mereka kasar sekaligus memukau.
Gambaran Hijaz yang harfiah ini, seandainya benar-benar pernah ada, sudah lama menghilang ditelan daerah pinggiran kota dan deretan mal bergaya Amerika. Namun, di luar pelabuhan tua yang menjadi gerbang peziarah di Al Wajh, secara tidak sengaja kami menemukan kaitan langsung ke salah satu orientalis yang paling terkenal ini, Lawrence dari Arab.