Nestapa di Ancala

By , Jumat, 17 Oktober 2014 | 16:01 WIB

Pada hari yang akan menjadi hari terkelam dalam sejarah gunung tertinggi di dunia, Nima Chhiring, Sherpa berusia 29 tahun dari Desa Khumjung berangkat kerja pukul 3 pagi. Dia menggendong tabung gas masak 29 kilogram. Di belakangnya terdapat Everest Base Camp, tempat anggota sekitar 40 ekspedisi internasional tidur di tenda atau berbaring gelisah dalam udara tipis pada ketinggian 5.270 meter.

Di atas Nima Chhiring tampak untaian lampu kepala berkelap-kelip di kegelapan, tatkala lebih dari 200 Sherpa dan pekerja berkebangsaan Nepal lain beriringan melintasi Khumbu Icefall. Dipandang sebagai salah satu bagian paling berbahaya dari semua gunung di mana pun yang sering didaki, ini adalah la­birin curam yang senantiasa berubah-ubah, ter­diri atas serac—tonjolan es—yang goyah, re­kah­an es, dan es berbentuk aneh.

Seluruhnya me­­rentang 610 meter menuruni ngarai di antara pung­gung barat Gunung Everest dan Nuptse, pun­cak 7.849 meter yang menjulang di atas Base Camp.

Peta Himalaya (NG Maps)

Banyak Sherpa teman kerja Nima Chhiring yang sudah berjalan susah payah ke Khumbu Icefall lebih awal lagi pada pagi 18 April itu. Mereka sudah sarapan, seperti biasa, berupa teh dan bubur tepung jelai yang disebut tsamba, dan memanggul muatan yang dikemas malam sebelumnya. Ada yang mengangkut tali, sekop salju, jangkar es, dan peralatan lain yang akan digunakan untuk memasang susuran tali tambat—tali pengaman di jalur tertentu, sampai ke puncak Everest pada 8.850 meter.

Para Sherpa dipercaya bermigrasi dari Tibet ke lembah-lembah dekat Gunung Everest sekitar 500 tahun silam. (NG Maps)

Ada yang mengangkut perlengkapan untuk mendirikan empat perkemahan perantara di tempat yang lebih tinggi di gunung—kantong tidur, tenda makan, meja, kursi, panci, dan bahkan pemanas, karpet, dan bunga plastik untuk mempercantik waktu makan bagi klien mereka.

Pada beberapa Sherpa terdapat sisa tepung jelai panggang yang saling mereka usapkan pada wajah temannya dalam upacara puja hari sebelumnya, saat mereka berdoa kepada Jomo Miyo Lang Sangma, dewi yang bersemayam di Everest, memohon keselamatan di perjalanan dan "umur panjang". Sejumlah pendaki sudah bolak-balik beberapa kali sejak jalur ini dibuka pada awal April oleh para spesialis Sherpa yang dijuluki Dokter Icefall. Jalur tali yang di­tambatkan dan tangga aluminium yang me­nyeberangi tebing dan celah es, tidak jauh berbeda dengan jalur pada musim-musim pen­dakian sebelumnya, meski lebih dekat dengan sisi yang sering longsor di punggung barat, 300 meter di bawah gletser menggantung.

Dengan muatan hingga 45 kilogram pun, sebagian besar Sherpa cukup kuat untuk me­lakukan pendakian sejauh 3,3 kilometer ke Camp I dalam waktu tiga setengah jam atau kurang. Sejam di atas Base Camp, Nima Chhiring, yang bekerja untuk sebuah ekspedisi Tiongkok, sampai ke area yang disebut Popcorn, tempat jalur itu semakin terjal melewati bongkah-bongkah es, dengan tangga terpasang di mana-mana. Setelah itu, di area datar yang dijuluki Football Field, banyak pendaki berhenti sejenak untuk beristirahat, dan erangan es lazim terdengar mengiringi Gletser Khumbu yang bergetar maju sekitar satu meter sehari. Di atas Football Field ada zona lain yang sangat berbahaya, yaitu balok-balok es sebesar rumah dan menara-menara yang genting. Kemudian setelahnya, perjalanan Nima Chhiring akan semakin mudah saat Gletser Khumbu melandai di dataran putih luas bernama Western Cwm.

Pada pukul 6 pagi, di atas Football Field, Nima Chhiring sampai ke kaki sebuah tebing es setinggi 12 meter. Di sana, dia mulai melakukan tugas aneh, memanjat tiga tangga aluminium yang diikat bersamaan, sambil menyandang ransel berat, menapakkan crampon logam di sepatu bot, dan membawa ascender yang harus dijepitkan dan dilepaskan seraya menyusuri jangkar-jangkar di sepanjang tali tambat. Se­sampainya di puncak, dia khawatir melihat puluhan pekerja gunung menumpuk di sembir es landai, sebesar ruang makan yang cukup luas.

Ada yang mengantre dan menunggu untuk menuruni parit dengan dua tangga yang diikat menjadi satu. Pagi itu, pergeseran es sekurangnya sudah satu kali menyebabkan jangkar pada pangkal tangga-turun itu longgar, dan memacetkan jalur itu. Orang-orang yang sampai di bagian ini pada pukul lima harus mengantre lama, meski tangganya sudah dijangkarkan kembali. Saat Nima Chhiring sampai di sana sejam kemudian, dia mendapati bahwa jangkarnya sudah longgar lagi.

"Mungkin ada seratus orang lebih yang ber­henti di sana; banyak di antaranya sedang turun sambil memegang tali. Untuk melewati penumpukan itu perlu setengah jam. Saat itu saya mulai merasa sangat takut," katanya.

!break!

"Telinga saya menangis"

Di Nepal, firasat bahaya kadang dirasakan sebagai bunyi dengung bernada tinggi, fenomena yang disebut kan runu, atau 'telinga menangis'. Nima Chhiring, yang sudah tiga kali mencapai puncak Everest, pernah men­dengar telinganya menangis dan tahu bahwa itu tidak boleh diabaikan. Dia bimbang: Terus menunaikan tugas mengantar muatan ke Camp I, atau meletakkan tabung gas itu sejauh yang sudah dibawanya dan segera turun?

Dia mencoba menghubungi sirdar—orang yang mengatur para porter di Base Camp, lewat radio. Tetapi, atasannya itu sedang pergi ke Namche Bazar untuk mengambil perbekalan, dan Nima Chhiring hanya dapat menghubungi koki kemah. Nima Chhiring memberi tahu koki itu bahwa telinganya menangis dan dia akan menjepitkan bawaannya pada tali tambat, lalu turun meninggalkannya. Para Sherpa lain menanyakan mengapa dia berbuat begitu.