Nestapa di Ancala

By , Jumat, 17 Oktober 2014 | 16:01 WIB

Di Base Camp, di tengah badai laporan dan desas-desus, lalu lintas radio yang tegang, dan panggilan telepon panik, enam dokter dari berbagai ekspedisi berkumpul di tenda klinik Himalayan Rescue Association. Lima pendaki yang diberondong es mampu keluar dari Khumbu Icefall dan akhirnya dirawat di klinik untuk memar dan luka sayat. Tiga lainnya harus dievakuasi oleh helikopter setelah itu. Di tempat kejadian, Damian Benegas mulai menghitung korban, dan pada pukul 9.09 memberi tahu lewat radio bahwa setidaknya ada sepuluh korban jiwa.

Dua helikopter Simrik Air yang dipiloti Jason Laing berkebangsaan Selandia Baru dan Siddhartha Gurung berkebangsaan Nepal, tiba di Base Camp. Laing menjemput pendaki Amerika, Melissa Arnot, paramedis yang lima kali mencapai puncak Everest; perempuan itu mengantar perbekalan medis ke operasi penyelamatan pukul 10.05. Pukul 10.49, empat Sherpa sudah diangkut helikopter dari es terjun dengan retak kaki; cedera panggul, perut, dan kepala; serta perdarahan dalam.

Di antaranya Kaji Sherpa, yang diangkut ke rumah sakit Kathmandu dengan paru-paru tertusuk dan dua tulang iga patah. Tak lama setelah pukul sebelas, semua orang terluka telah dievakuasi ke Base Camp, dan tim penyelamat kembali mencari jenazah. Dua belas kali, dari pukul 11 hingga 14, Laing melayangkan Eurocopter AS350 B3e warna merah, hitam, dan perak itu di atas pemandangan mengerikan di gerbang es Everest, lalu beranjak membawa sosok lemas yang bergelantung pada ujung kabel 30 meter, masih mengenakan sepatu bot dan crampon. Korban jiwa diantar ke lapangan pendaratan terendah di Base Camp, lalu diberi nomor berselotip tebal, dibungkus terpal.

Identitas korban dipastikan oleh rekan satu tim atau kadang oleh anggota keluarga yang juga bekerja di gunung. Karena tidak mengetahui nasib Ang Tshiri, anaknya, Pemba Tenjing, berlari turun dari Camp I. Tetapi, kemudian hatinya hancur ketika melihat sepasang sepatu yang tidak asing lagi baginya.

Para pekerja penyelamat khawatir bahwa punggung barat Everest akan longsor lagi, jadi pekerjaan suram itu dihentikan pada pukul 14.10, ketika suhu sore menyebabkan keadaan di Khumbu Icefall semakin tidak stabil. Baru esoknya kru dapat membebaskan jasad Dorje Khatri, yang sebagian masih terbungkus dalam es dan tergantung terbalik di dalam celah di atas tiga-tangga. Tiga pendaki masih hilang dan diduga tewas. Keenam belas korban jiwa adalah Sherpa atau pekerja dari suku bangsa Nepal yang lain. Mereka wafat dengan tali pengaman tubuh, bekerja demi menyekolahkan anak, atau membangun rumah baru, atau membeli obat asma untuk orang tua yang sepuh. Dua puluh delapan anak menjadi yatim. Sebelas di antara korban itu tewas di satu tempat—sembir es miring, tempat mereka mengantre untuk memanjat tangga-turun yang kini hancur.

"Saya menduga mereka mencoba me­nyelamatkan diri, dan saat menyadari bahwa itu tak mungkin, mereka berkerumun," kata Lakpa Rita. Kengerian hari itu melampaui semua kecelakaan sebelumnya di Everest, termasuk bencana tahun 1922, 1970, dan 1974, ketika Sherpa juga tewas berkelompok. Namun, dampaknya baru mulai bergulir.

!break!

Perdebatan sengit

Hari-hari setelah longsor salju merupakan kesemrawutan upacara puja, pemakaman, rapat, per­tanyaan, kabar angin, tuntutan, provokasi, dan pen­cerahan. Apakah musim pendakian akan dilanjutkan? Apakah sebaiknya dilanjutkan? Berapa lama masa perkabungan yang pantas? Russell Brice dari Himalayan Experience dan Eric Simonson dari International Mountain Guides memberi tim Sherpa mereka yang besar, cuti empat hari untuk pulang. Tidak semuanya mau kembali bekerja.

Lakpa Rita langsung tahu bahwa musim pendakian sudah berakhir bagi AAI—dia tak sanggup meminta para Sherpa bawahannya untuk kembali bekerja, saat mereka baru ke­hilangan lima rekan tim dan masih ada jasad yang terkubur dalam es. Sherpa di tim lain menyatakan mau bekerja lagi, tetapi mulai me­rasakan tekanan dari para aktivis yang memandang tragedi itu sebagai peluang untuk mendesak dilakukannya perbaikan dalam kondisi kerja pemandu gunung. Banyak Sherpa geram ketika pemerintah Nepal menawari keluarga setiap korban kompensasi sekitar lima juta rupiah, uang yang jauh dari cukup untuk membiayai pemakaman.

Banyak orang memperhatikan sikap tegas baru di kalangan generasi muda pemandu dan pekerja Sherpa. Pada hari-hari setelah longsor salju, ketegangan buruh mengemuka dengan gamblang saat Sherpa yang marah dan berduka secara praktis mencabut kabel mesin uang Everest jutaan dolar pemerintah Nepal, yang tiap tahun mendatangkan lebih dari 35 miliar rupiah bagi pemerintah dalam bentuk bea izin dan manfaat ekonomi pendukung, yang diperkirakan oleh operator ekspedisi asing, sebesar lebih dari 180 miliar rupiah.

Pada hari Minggu tanggal 20 April, dua hari setelah longsor salju, para pemimpin ekspedisi, pekerja penyelamat, dan orang yang terkena dampak kecelakaan itu bertemu di tenda Sagarmatha Pollution Control Committee (SPCC), organisasi nirlaba yang dipimpin orang setempat, serta mengatur Dokter Icefall dan pengelolaan sampah di Everest. Di antara para Sherpa blak-blakan yang hadir adalah anggota dewan Nepal Mountaineering Association, Pasang Bhote, dan Pasang Tenzing, lelaki 29 tahun yang sudah sepuluh kali mencapai puncak Everest, dan merupakan asisten pemimpin ekspedisi untuk perusahaan Inggris, Jagged Globe.

Pertemuan ini menghasilkan daftar 13 tuntutan kepada pejabat pemerintah. Di antaranya, Sherpa meminta kenaikan per­tanggungan asuransi dan penambahan jatah bea izin Everest untuk mengisi dana yang menafkahi keluarga pekerja gunung yang tewas atau cedera di masa mendatang.