Nestapa di Ancala

By , Jumat, 17 Oktober 2014 | 16:01 WIB

Babu Sherpa berada sekitar satu menit di atas tangga rusak, berkelompok enam Sherpa. "Kami merapat berenam. Ketika salju reda, saya melihat ke bawah, dan tidak ada orang lain di bawah saya," katanya.

Lima belas menit sebelum longsor, Chhewang Sherpa, pemuda 19 tahun yang bekerja untuk Adventure Consultants dari Selandia Baru, baru saja berhasil menembus kemacetan di tempat tangga rusak itu. Ini merupakan ekspedisi Everest pertamanya dan dia mendaki bersama iparnya, Kaji Sherpa, lelaki 39 tahun dengan tiga anak. Kaji memanjat tebing es kecil, tali pengamannya menjepit tali tambat. Saat longsor melanda, Chhewang melepaskan jepitan dari tali tambat dan berlari, lalu berjongkok di bawah barang-barang bawaannya.

Seperti yang diceritakannya kemudian kepada pamannya Chhongba Sherpa, direktur Khumbu Climbing Center yang tinggal di Nepal, es memutus tali pengaman Kaji dan menyebabkan iparnya itu pingsan. Chhewang berhasil menangkapnya dan menyeretnya ke tempat yang lebih aman. Dia menuangkan minuman panas dari termos Kaji, berharap dapat menyadarkannya.

"Kaji siuman perlahan-lahan. Dia membawa radio, saya menekan tombol bicara karena kedua tangan Kaji tidak dapat digerakkan. Dia berkata, 'Selamatkan aku!' Andai saya tidak me­nangkapnya, tentu dia tak pernah terlihat lagi, karena rekahan itu sangat dalam."Pasang Dorje Sherpa, pemuda 20 tahun yang bekerja untuk Alpine Ascents International dari Seattle, sedang mendaki bersama dua Sherpa AAI lain, Ang Gyalzen dan Tenzing Chottar. Ini musim kedua Pasang di Everest. Dia membawa tiang tenda makan besar, termos, dan segulung tali tenda. Saat mendengar tuuung, dia dan Ang Gyalzen berada sekitar 45 detik di atas tangga rusak—Tenzing Chottar hanya beberapa langkah di belakang mereka. Tenzing, 29, juga pemula di Everest. Dia sudah lulus kursus pen­dakian dasar dan lanjutan di Khumbu Climbing Center dan senang mendapatkan pekerjaan ini; dia menafkahi orang tuanya yang sepuh dan punya putra usia tiga bulan. Sehari sebelumnya di Base Camp, dia sempat menelepon istrinya, Pasi Sherpa, di Kathmandu.

"Saya melihat es datang dan berpikir, Kami tamat, saya akan mati," Pasang Dorje mengenang. "Saya terdorong angin. Saya terjun ke balik tonjolan es besar. Andai tak terjepit tali tambat, tentu saya sudah terbawa longsor."

Es menghantamkan tiang tenda ke kepalanya. Menghancurkan termos dan memotong tali. Es terbang melubangi jaket bulu angsa Ang Gyalzen. Saat awan yang melahap itu sirna dua menit kemudian, kedua Sherpa itu berpelukan, lalu memandang sekeliling dengan ngeri. Jurang menganga yang tadinya harus diseberangi dengan tali dan tangga kini berisi balok es sebesar meja dan sofa. "Tenzing! Tenzing!" seru mereka, tetapi sia-sia.Diberi tahu oleh Michael Horst, pemandu di Base Camp yang melihat longsor itu, Lakpa Rita, sirdar untuk AAI, buru-buru mengenakan sepatu bot. Dia memasang antena panjang pada radionya dan berusaha menghubungi semua stafnya yang melewati tempat itu—33 Sherpa pendaki, satu koki, dan dua asisten dapur. Dia akhirnya berhasil menghubungi Pasang Dorje, yang memberitahunya bahwa sekitar lima atau enam Sherpa di belakangnya terkubur salju, dan mungkin sudah tewas.

"Saya sangat-sangat gugup," kata Pasang Dorje. "Saya melihat seorang Sherpa muntah darah dan seorang lelaki setengah terkubur yang matanya putih semua, meminta air. Kami menariknya keluar. Saya bahkan tidak tahu namanya. Hampir semua teman saya menangis."

!break!

"Saya berusaha menyembunyikan air mata"

Para sherpa dan pemandu dari barat yang sudah sampai di Camp I sebelumnya pun turun untuk membantu, tak lama setelah pukul tujuh pagi. Di Base Camp, Lakpa Rita berangkat dan mendaki selama dua jam ke area yang terkena dampak bersama saudaranya Kami Rita, demikian pula Horst, Ben Jones, Damian Benegas, dan pemandu lain. Di Base Camp, berbagai tim membawa kantong tidur, sekop, dan peralatan penyelamatan lain ke tengah ketiga lapangan helikopter di kemah itu. Joe Kluberton, manajer Base Camp AAI, bersama Caroline Blaikie dan Mike Roberts dari Adventure Consultants, mulai mengoordinasi lalu lintas radio. Gelombang udara penuh pem­bicaraan, sementara para Sherpa mengabarkan status masing-masing. Jumlah korban jiwa masih belum jelas.

"Kami mulai bertemu banyak Sherpa cedera yang sedang turun," Lakpa Rita mengenang. "Kepala mereka memar dan berdarah. Ada yang terpincang-pincang dari tempat mereka terhantam balok es. Saya tahu bahwa siapa pun yang terkubur tidak mungkin masih hidup—mereka hanya mungkin bertahan hidup maksimal 15 menit."

Lakpa Rita perlu waktu hampir sejam dari Football Field untuk mencapai zona yang terkena dampak. Tempatnya ditandai oleh darah di salju. Dia mendapati sekitar 50 Sherpa di tempat itu, ada yang menggali dengan sekop baja, ada yang memukuli reruntuhan dengan palu es, ada yang duduk nanar akibat kaget dan duka. Empat jasad telah diletakkan di bawah kain tenda abu-abu. Saat melihat sosok-sosok yang terbungkus itu, Lakpa Rita pun terduduk dan menangis.

"Saya berusaha menyembunyikan air mata dari tim Sherpa, tetapi tak kuasa," katanya.Setelah sanggup melihat ke bawah kain tenda, dia mendapati bahwa tak satu pun jasad itu mengenakan jaket yang diberikan AAI kepada stafnya, dan dia mulai membantu para penggali. Dua mayat lagi dibebaskan dari es, lalu satu lagi: Ang Tshiri, sang koki. "Ang Tshiri salah satu staf saya," katanya.