Nestapa di Ancala

By , Jumat, 17 Oktober 2014 | 16:01 WIB

"Saya berkata, 'Telinga saya menangis, dan kita akan mendengar kabar buruk. Saya mau turun; sebaiknya kalian juga,'" ia mengenang. Dia memperkirakan saat itu sekitar pukul 6.15.

Kabar tentang telinga menangis Nima Chhiring tersebar. Lima Sherpa di atas tiga-tangga meletakkan muatan dan mulai turun. Dua orang yang bekerja untuk perusahaan ekspedisi Kanada, Peak Freaks, sempat tertahan di bawah tiga-tangga dan kini mundur karena kaki mereka kedinginan. Orang lainnya merasa tidak bisa mengubah rencana perjalanan ber­dasarkan vonis telinga menangis atau kaki yang kedinginan. Di antara penumpukan dan Football Field, Nima Chhiring berpapasan dengan Sherpa yang tidak dikenal maupun yang dikenalnya.

Di antara kenalannya itu terdapat: Phurba Ongyal, 25, dari Pangboche, yang sempat berkata kepada saudarinya bahwa musim Everest kali ini adalah musim terakhirnya; Lhakpa Tenjing Sherpa, 24, yang memiliki istri dan putri usia dua bulan di Khumjung; dan Ang Tshiri, yang pada usia 56 adalah salah seorang Sherpa tertua di gunung, dan dia sedang menuju tempat itu, katanya untuk terakhir kalinya.

Setelah 13 tahun men­jadi koki di Camp II, dia berencana pensiun dan kembali ke restorannya di Thamo, yang juga bernama Camp II. Nima Chhiring juga melewati saudara tiri Ang Tshiri, Dorje Sherpa, 39, yang tinggal di gubuk melarat bersama keluarganya, jauh di lembah sungai Bhote Kosi di Tarngga, perjalanan kaki dua-tiga hari dari Everest."Nima Chhiring melarang saya naik," kata Mingma Gyaljen Sherpa, lelaki 33 tahun dari Namche Bazar yang dijuluki Babu, yang naik menuju Camp I membawa tabung oksigen dan peralatan lain. "Saya harus terus mendaki. Saya membawa peralatan klien. Saya tak mengalami kesulitan di tangga turun. Tangga itu belum rusak saat saya lewat pukul 6.34. Tetapi, ada beberapa Sherpa tak berpengalaman menunggu untuk turun dan mereka amat lambat."

Base Camp dan Khumbu Icefall masih berada di dalam bayang-bayang. Tetapi, jauh di atas, puncak tempat rumah dewa-dewa para Sherpa bermandi cahaya. Pagi hari itu, Everest sangat indah—hingga 11 menit ke depan.

!break!

"Saya tidak sempat berlari"

Begitu luasnya amfiteater gunung di sekeliling Everest Base Camp, sehingga biasanya longsor salju terlihat oleh para pendaki sebelum suaranya sampai. Suaranya menyusul seperti guntur setelah kilat, serupa desis lautan, sementara sejumlah besar salju, es, dan batu membanjir menuruni parit-parit terjal dan me­lewati bibir lembah-lembah menggantung. Namun, bunyi longsor salju 18 April sangat berbeda, terutama bagi para Sherpa yang men­dengarnya selagi berada di tempat itu sendiri. Gambaran dari hampir semua orang itu hampir serupa: suara tuuung yang berat, seperti dengkung palu pada genta yang teredam, atau petikan dawai dari bas raksasa.

Satu bagian es yang menyerupai gigi anjing raksasa, setinggi 34 meter dan seberat 7-14 juta kilogram, mendentum dari selimut es besar pada punggung barat Everest dan melesat turun, seraya pecah berkeping-keping dan menciptakan dinding angin di depannya. Sekitar 24 pendaki berada tepat di jalur longsor, dan banyak lainnya berada di tepi jalur, di atas dan di bawahnya.

Pada pukul 6.45, Kurt Hunter, manajer Madison Mountaineering di Everest Base Camp, sedang berkomunikasi melalui radio dengan Dorje Khatri, sirdar 46 tahun di perusahaan itu dan aktivis serikat buruh terkenal yang telah mengibarkan bendera serikat kerja yang berbeda-beda, pada sembilan kali dia mencapai puncak Everest. Khatri baru saja sampai di puncak tiga-tangga. Tiba-tiba lewat radio Hunter mendengar "jeritan dan teriakan" lalu "sunyi senyap." Ketika deru longsor sampai ke Base Camp, dia berlari keluar dari tenda komunikasi dan melihat bagian atas Khumbu Icefall diliputi awan yang bergolak.

Setelah bergegas turun selama sepuluh menit, Nima Chhiring sudah sampai di Football Field saat bunyi tuuung membenarkan hal yang paling ia cemaskan. Dalam beberapa detik, dia dilapisi salju dan es yang amat dingin. Salah seorang dari banyak orang yang selamat, bangkit dengan terhuyung-huyung, berselimut salju dan es serupa hantu. Pemba Sherpa, veteran Everest muda dari desa Phortse yang berangkat dari Base Camp pada pukul empat untuk pendakian aklimatisasi bersama seorang klien dari Alaska, baru saja sampai di Football Field. Ketika diterpa angin, dia menengadah dan melihat "balok es sebesar rumah" menggelinding menuruni punggung barat. Dia turun tunggang langgang bersama kliennya, menghempaskan diri di balik batuan es saat langit hilang dari pandangan.

Karna Tamang, pemandu 29 tahun yang lima kali mencapai puncak Everest, berangkat dari Base Camp pada pukul tiga. Dia berada tidak sampai lima menit di atas tangga rusak ketika mendengar tuuung.

"Saya tidak sempat berlari," dia mengenang. "Angin menghantam. Untuk melindungi diri, saya berlutut di sebelah balok es besar dan berusaha menyelamatkan muka. Saya diliputi oleh lima sentimeter salju."