Nestapa di Ancala

By , Jumat, 17 Oktober 2014 | 16:01 WIB

Pada Senin, 21 April, foto-foto emosional yang meliput pemakaman Sherpa di Kathmandu disiarkan ke seluruh dunia, dan besoknya upacara puja raksasa yang dihadiri 22 lama—pemimpin spiritual—diselenggarakan di Base Camp. Setelahnya, daftar tuntutan dibacakan dalam bahasa Nepal dan Inggris. Ketegangan meningkat. Beberapa orang di antara hadirin berseru, mereka tidak ingin mendaki. "Bagi saya jelas, bahwa sebagian besar pekerja hanya ingin pulang untuk menghormati para almarhum dan demi keselamatan mereka sendiri," tulis Sumit Joshi, pendiri Himalayan Ascent, perusahaan yang dimiliki orang Nepal.

Para penulis blog ekspedisi Barat menggambarkan pertemuan itu "dibajak oleh kaum militan dan menjadi kampanye politik." Base Camp bergolak dengan pembicaraan tentang boikot dan ancaman oleh kaum "Maois" dan "militan" terhadap siapa pun yang tak sependapat. Sementara itu, Kementerian Budaya, Pariwisata, dan Penerbangan Sipil memperkirakan bahwa "semua kegiatan pendakian tentu akan dimulai satu-dua hari lagi."

Baru pada hari Kamis, 24 April, enam hari setelah longsor salju, pejabat Nepal akhirnya muncul di Base Camp. Delegasi 12 anggota yang dipimpin oleh Bhim Prasad Acharya, kepala kementerian pariwisata, datang naik helikopter pada pukul sembilan, berharap dapat membujuk para Sherpa untuk kembali bekerja. Dalam laporan, Brice, salah satu operator asing paling senior di Everest, menulis bahwa dia diberi tahu ada beberapa orang Sherpa yang melempar batu, dan berusaha mencegah delegasi pergi dengan helikopter ketika pertemuan itu berakhir.

Orang lain menduga bahwa orang-orang yang mengancam itu bukan dari komunitas pendaki. "Mereka semua masih muda dan tidak ramah," kata John All dari American Climber Science Program. "Jaket mereka lebih ringan dan bersih daripada peralatan Everest Base Camp pada umumnya, dan tidak ada yang ingat pernah melihat mereka di kemah sebelum longsor salju. Kami semua berpikir, siapa orang-orang ini?"

Ketika pejabat Nepal hendak pergi, gletser di punggung barat terlepas lagi, dan longsor kecil menggemuruh ke tempat itu, persis di tempat tewasnya keenam belas orang sebelumnya. Banyak yang menganggap itu pertanda terakhir dari dewa-dewa, bahwa masa pendakian musim semi 2014 di Everest sudah berakhir.

!break!

"Yang membedakan kami"

Sulit mengurai semua laporan, kabar burung, dan kesan yang ber­tentangan tentang apa yang terjadi di Base Camp setelah longsor es. Banyak Sherpa yang tidak ingin mendaki—karena duka dan kecemasan yang beralasan tentang kondisi Khumbu Icefall—mungkin merasa lebih mudah berhenti bekerja dengan berdalih bahwa mereka enggan mendaki akibat ancaman dari kaum "militan". Tanpa memaklumi kekerasan, orang tentu bertanya-tanya, Apa salahnya kalau pekerja gunung berusaha memberdayakan diri dan memanfaatkan posisi tawar yang diperoleh dengan susah payah itu untuk meningkatkan mutu hidup mereka?

Tidak banyak komentator Barat yang melihat mogok kerja Sherpa ini dalam konteks lebih besar di Nepal sendiri. Di tempat ini, mogok kerja—bandh—sudah menjadi makanan sehari-hari, dan menjadi salah satu dari sedikit sarana untuk menuntut perhatian birokrasi pemerintah.

"Dua puluh tahun lalu, tidak sampai 50 persen pekerja di Everest tamat SMA," Sumit Joshi memperkirakan, sebulan setelah longsor. "Sekarang 80 persen pekerja Everest tamat SMA. Mereka terpapar ke media Barat. Mereka memahami cara kerja dunia. Mereka lebih me­nyadari hak-haknya. Mereka tahu boleh menyuarakan pikiran. Mereka tahu tentang dunia luar dan banyaknya uang yang diperoleh pemerintah dari pemasukan bea izin, dan betapa sedikitnya yang mereka cicipi. Mereka jangan dicap sebagai militan atau Maois atau ras baru. Ini bukan ras baru; ini generasi muda."

Pergeseran generasi tidak hanya meng­hasilkan pendaki Sherpa yang lebih tahu tentang dunia luar, tetapi juga mengubah per­bandingan suku di gunung. Tenaga kerja yang dulu hampir seluruhnya dari suku Sherpa sekarang semakin banyak diisi staf dari suku seperti Rai dan Tamang, yang biasanya jauh lebih miskin dan sangat membutuhkan kerja. Di antara 17 "Sherpa" di ekspedisi John All, lima di antaranya dari suku Sherpa; 12 lagi suku Rai atau Tamang. "Sherpa tetap ujung tombak, menangani sebagian besar pekerjaan di atas 7.500 meter," kata All, "tetapi pekerja gunung Rai dan Tamang sekarang biasanya membawa muatan ke Camp III."

Ketika saya bertanya kepada ketua SPCC Ang Dorjee Sherpa mengenai kabar angin bahwa ada Sherpa yang mengancam Sherpa lainnya, dia segera berusaha mengecilkan signifikansi berita tersebut. Orang kadang menangkap kesan bahwa orang Sherpa sendiri, yang begitu lama dihormati lantaran sifatnya yang bak malaikat, merasa mereka tidak boleh menodai reputasi mereka di mata orang luar, yang mengidealkan mereka sebagai masyarakat damai dan tidak egois di negeri gunung yang permai, jauh dari gangguan modernisasi.

Masuk desa