Nestapa di Ancala

By , Jumat, 17 Oktober 2014 | 16:01 WIB

Bencana longsor salju yang mengubur 16 orang tidak ber­henti di Khumbu Icefall. Bencana itu masih bergulir—masuk ke desa-desa di bawah Everest dan di luarnya. Di Kathmandu, manajer kantor Himalayan Ascent menelepon Chhechi Sherpa, putri Ankaji Sherpa yang berusia 19 tahun, dan menyampaikan berita bahwa ayahnya tewas, tanpa menyebutkan bahwa helm pemandu veteran itu terbelah.

Ankaji pernah berjanji menjaga Pem Tenji Sherpa, pekerja pemula Everest berusia 20 tahun yang juga suami keponakannya; dia telah membantu Pem Tenji mendapat pekerjaan pada musim itu sebagai asisten dapur Camp II—pekerjaan yang dianggap termasuk paling aman karena hanya memerlukan satu perjalanan bolak-balik melewati Khumbu Icefall. Tetapi, Pem Tenji juga tewas, dan istrinya, Dali, bahkan tidak bisa meratapi jasadnya; suaminya masih terkubur di sana, entah di mana.

Pada pemakaman Kathmandu untuk enam korban longsor salju, tak ada lambang duka yang lebih memilukan daripada foto-foto yang tersiar ke seluruh dunia, yang menampilkan raut lara Chhechi dan ibu Ankaji yang berusia 76 tahun, Nimali, dengan wajah pedih seorang ibu yang ditinggal mati anaknya. Di Khumjung, janda Ngima Doma mendengar kabar dari televisi di kedai teh, dan kemudian mengetahui bahwa suaminya, Lhakpa Tenjing, termasuk korban jiwa ketika dia pulang dan mendapati keluarga suaminya menangis.

Nima Chhiring sendiri, lelaki yang telinganya menangis, enggan kembali ke Everest musim depan, tetapi merasa tidak punya pilihan. Dia tidak berpendidikan tinggi, padahal kini dia memiliki istri dan dua anak, tetapi tak punya rumah sendiri atau uang untuk me­nyekolahkan anak. Dia akan segera berangkat dari Khumjung untuk memelihara kelima ekor yak yang dibelinya pada 2009. Tetapi, dia bertanya-tanya apakah masa susah akan pernah berakhir. "Saya perlu bantuan," katanya. Dia bertanya apakah ada tunjangan bagi para Sherpa yang tidak mati dalam bencana longsor salju, dan ketika mendengar jawabannya negatif, sesaat dia seakan hampir menyesali nasib yang mengutuknya agar tetap hidup.

Di Thamo, putra Ang Tshiri, Pemba Tenjing, telah menelepon ibunya, menyampaikan kabar dari Everest. Gunung yang menewaskan ayahnya, sang koki ekspedisi veteran, ditampil­kan dengan bangga pada plang di luar restoran keluarga. Teman dan kerabat Ang Tshiri serta seorang rahib membawa pulang jenazahnya dari Namche. Serupa itu pula, Mingma Nuru dibawa pulang ke Phurte, tempat ibunya meratapi putra keduanya yang meninggal di Everest. Keluarga Pemba Tenjing-lah yang mengutus seorang bocah untuk melintasi lembah Bhote Kosi selama tiga jam ke Tarngga untuk memberi tahu Ang Nemi bahwa suaminya, Dorje—saudara tiri Ang Tshiri—tewas di Everest.

Dorje dan Ang Nemi sudah 14 tahun be­rumah tangga. Mereka punya dua putra dan dua putri, semua lahir di gubuk gembala yak. Mereka tinggal sepanjang tahun pada ketinggian 3.960 meter; sebagian besar dari belasan keluarga lain hanya datang ke sana pada musim panas untuk menggembalakan hewan. Mereka hampir tak punya apa-apa: ladang kentang, beberapa ekor yak yang mereka gunakan untuk mengangkut muatan ke Everest, dan rumah satu ruangan segelap gua yang dibangun ayah Dorje, rumah batu dengan atap batu yang dikelilingi tembok batu di negeri yang berbatu.

Anak-anak tidur di kasur yang digelar Ang Nemi pada bangku setiap malam, dan kadang mereka berlama-lama dalam perjalanan pulang panjang dari sekolah untuk bermain bekel dengan batu kecil. Selama lima tahun Dorje bekerja di Everest untuk Alpine Ascents International; dia menjadi koki di Camp IV di South Col. Dia dan Ang Nemi tadinya sedang menabung upah untuk membangun rumah yang lebih dekat ke Thame agar anak-anak lebih mudah bersekolah. Mereka sudah memilih tempat tinggal di bawah biara di Desa Hungmo.

Karena tidak tahu di mana jenazah Dorje berada setelah dia mendapat kabar pada 18 April, janda baru itu bergegas dua jam ke Thame untuk menggunakan telepon. AAI akan membawa jenazah Dorje ke Tarngga, dia diberi tahu, jadi dia berjalan pulang dan menunggu. Tetapi, jenazah itu tidak kunjung datang, dan esok paginya dia berjalan ke Thame lagi untuk mengetahui penyebab keterlambatan. Sekitar pukul 9.30 dia melihat helikopter terbang lewat.

Helikopter itu mendarat di ladang kentang di dekat rumah. Pemilik AAI, Todd Burleson, serta Lakpa Rita dan Pemba Tenjing menggotong Dorje masuk. Saat melihat ayah mereka dalam cahaya lampu redup, terbungkus terpal biru, masih berpakaian gunung dan sepatu bot, anak-anak mulai menangis.

Da Jangbu yang berusia enam tahun tidak memahami apa yang terjadi, tetapi kakaknya yang 12 tahun, Mingma Doma, sudah mengerti.

"Apa yang terjadi pada ayahku?" tanya gadis itu. Lakpa Rita belakangan mengaku, dia tidak tahu harus berkata apa.

"Saya turut berduka cita," kata Burleson. "Saya tidak tahu apa yang terjadi."

Keempat anak itu tersedu-sedu dan memeluk para pembawa jenazah; mereka juga menangis, tetapi masih ada keluarga berduka lainnya yang harus mereka hibur, dan tugas berat menanti mereka. Sekitar 15 menit kemudian helikopter membawa mereka pergi.

Anda akan mendengar bahwa ada pendar-pendar cahaya yang naik dari hari terkelam Everest. Sherpa Education Fund, yang dibentuk oleh Alpine Ascents pada 1999, mengatur agar anak-anak Dorje dan Ang Nemi dapat bersekolah di SD Himalaya Shree di Namche Bazar. Dana itu juga digunakan untuk mem­biayai kepindahan mereka ke Home Away From Home, hostel terang nan luas yang ramai dengan 57 anak lain seusia mereka dan berdekatan dengan sekolah.

Tiba-tiba, sebulan setelah longsor salju, mereka punya banyak teman baru, makanan beragam, jaket biru, seragam sekolah, sikat gigi, tempat tidur yang diawasi mata juling boneka Cookie Monster, dan berbagai kemungkinan yang tak pernah mereka bayangkan. Harga yang perlu mereka bayar hanyalah ayah mereka.

---

Chip Brown menulis tentang suku Kayapo Brasilia untuk edisi Januari. Aaron Huey meliput Reservat Pine Ridge untuk edisi Agustus 2012.