Dilema Baluran

By , Selasa, 23 Desember 2014 | 13:07 WIB

Saya terjebak. Ribuan kaki sapi pagi itu mengaduk pasir pantai. Tanpa sadar, saya telah terkepung. Aroma lembu bersama debu menyusup ke hidung. Debu selembut bedak menempel di wajah, rambut, dan tubuh. Dari arah timur Merak, sapi-sapi berarak menuju padang rumput Taman Nasional Baluran.

“Berangkat pukul delapan, pulang sore,” tutur Muhammad Ibnu Azwan, salah seorang penggembala. Wawan, begitu panggilan remaja 15 tahun ini, menggiring kawanan sapi dari belakang. Lima kawannya yang lain memandu di depan dan dari samping barisan sapi. Ini penggembalaan tiada tara. Sekitar 1.300 sapi beranjak ke luar kandang, menyerbu padang rumput. Burung-burung merak hijau (Pavo muticus) menyingkir; rusa-rusa (Cervus timorensis) berkelebat menjauh.

Kemarau menguasai alam Baluran pada September itu. Rumput menguning, pohon-pohon meranggas. Jejak api yang baru saja melalap sebagian padang tertinggal di tanah dan batu yang gosong. Kehidupan sedang di titik nadir di wilayah sisi utara taman nasional yang berbatasan dengan Selat Madura itu. Sapi-sapi kurus.

Musim kemarau juga berarti Wawan makin jauh menggembala, menusuk masuk kawasan taman. Penggembala akan menggiring sapi ke padang yang masih berumput. Namun, rerumputan sedang merana dengan batang yang keras dan patah. “Sapi juga tidak mau memakannya,” ungkap remaja lulusan sekolah dasar itu. Sapi-sapi terpaksa menjilati remah rumput di atas tanah. “Itu yang dimakan sapi karena telah lunak.”

Arak-arakan sapi berhenti di padang Bilik. Hewan pemamah biak itu menyebar ke segala arah, melahap tumbuhan apa saja yang bisa dimakan. Penggembalaan hari itu menempuh jarak sekitar tiga kilometer. Wawan, bersama Hendriyanto, berteduh di bawah pohon pilang (Acacia leucophloea), duduk di tanah hitam.

!break!

Peternakan sapi di Merak membentuk penggembalaan yang khas. Setiap hari, sapi digembala oleh enam orang secara bergiliran. Wawan mendapatkan jatah angon sekali sepekan. Sementara Hendri, yang tak lulus sekolah dasar, mendapat jatah dua kali. Sebenarnya dia hanya angon sekali, tutur Hendri, “Yang satu menggantikan orang lain. Saya dibayar Rp30.000.”

Saat tidak mengangon, Hendri mencari kemiri di pedalaman taman nasional. “Di sana, di Gunung Kembar,” kisah Hendri, mengangkat dagunya menunjuk ke Gunung Baluran. Itu zona inti taman nasional yang semestinya tidak bisa dimasuki manusia—kecuali peneliti dan petugas taman. “Kalau saya cuma santai-santai, mendengarkan musik,” papar Wawan.

Saya trenyuh mendengar kisahnya. Pada padang taman nasional, dua remaja ini meng­gantungkan hidup. Perikehidupan di Merak sebenarnya berada di batas dua sisi yang saling berbenturan. Di satu sisi, taman nasional melestarikan padang rumput seisinya yang mem­bentang di Jawa bagian timur; di sisi lain, ada masyarakat yang juga butuh hidup. Alam pikiran Wawan dan Hendri terlalu muda buat menjangkau dilema itu. “Orang-orang tua yang lebih tahu,” kata Hendri sambil meminum air tawar dari botol bekas yang kusam.

Hari mulai senja. Denting lonceng terdengar dari pantai, pertanda kawan­an sapi telah pulang. Penggembala cukup menggiring saja. Asal pintu kandang terbuka, sapi akan masuk sendiri. Kandang-kandang berderet di sepanjang tepi pantai, di depan rumah sang pemilik. Kampung ini terdiri atas beberapa blok permukiman: Merak, Widuri, Air Karang, Lempuyang, Sirondo, Simacan, Masigit, dan Balanan. Permukiman berjajar dari barat ke timur, mengikuti garis pantai utara yang menyerong—dekat mulut utara Selat Bali.

!break!

Tidak mudah mencapai perkampungan yang secara administratif masuk Desa Sumberwaru, Banyuputih, Situbondo, itu. Saat musim kering, dengan sepeda motor, warga Merak keluar-masuk melewati jalan setapak yang membelah wilayah taman. Kala hujan, transportasi hanya bisa melalui laut.

Namun, dari tempat antah-berantah ini, peternakan mengibarkan Merak menjadi sentra sapi lokal Situbondo. Tak heran, para pembeli rela datang ke wilayah ini. “Itulah saya bilang, agar sapi lokal tidak punah,” tutur Imam Haris, tokoh setempat. Tetapi, dia mengerti bahwa taman nasional melestarikan banteng jawa (Bos javanicus) yang juga memamah rumput yang sama dengan sapi. Dia juga paham, tempat tinggalnya berdiri di atas tanah negara yang dikelola taman nasional.

Haris, istri, dan empat anaknya berdiam di rumah sederhana semipermanen. “Saya tidak bisa membangun rumah permanen. Aturan dari taman nasional begitu. Bahkan, untuk memperbaiki rumah, saya juga memberitahu petugas taman nasional.”

Dia menuturkan, Merak merupakan daerah minus, tanpa fasilitas umum: pendidikan—meski kini ada sekolah dasar, dan kesehatan—kini ada puskesmas pembantu. Anak pertama­nya, yang bernama Rifki, tak sempat mengenyam pendidikan yang layak. “Salah satu korbannya adalah anak saya yang nomor satu,” katanya dengan tatapan menerawang.