Dilema Baluran

By , Selasa, 23 Desember 2014 | 13:07 WIB

Merak telah membalik takdir hidupnya. “Kalau dikeluarkan dari Merak, berarti pe­merintah mengumpulkan kembali para maling dan pencuri di luar. Itu tafsir saya,” katanya seraya menduga kira-kira 20 persen warga adalah mantan orang yang tidak benar.

Dilema memang begitu tebal mengendap di sekeping tanah taman nasional itu. Selama di kampung yang menatap Selat Madura itu, saya senantiasa bertanya kepada diri sendiri: “Mengapa semua orang yang sudah tahu bahwa ladang, kebun, dan rumahnya berdiri di tanah negara tetap bertahan? Tak adakah seorang pun yang mengerti arti penting Baluran? Adakah upaya pemerintah dalam membenahi per­soalan tanah dan kehidupan masyarakat? Sebagai salah satu taman nasional pertama di Indonesia, mengapa persoalan di Baluran belum juga rampung?”

!break!

“Aman, nyaman, dan ekonomi berjalan,” tutur Kepala Dusun Merak Suharto. Aman, karena tidak ada kasus kriminal. Nyaman, karena Merak tak terjangkau desas-desus nasional. “Ekonomi berjalan karena semua orang bisa bekerja, di kebun, di ladang, dan beternak sapi,” imbuhnya, “yang kelaparan berarti orangnya malas.”

Dia menilai, warga sebaiknya tidak beternak sapi berlebihan. “Penggembalaan sapi memang sudah mengepung taman nasional. Jadi, saya berharap ternak sapi tidak berlebihan. Itu sebenarnya yang dipersoalkan oleh taman nasional,” ujar Suharto yang duduk di kursi roda. Separuh tubuhnya lumpuh direnggut stroke. Dua istrinya menemani di rumahnya yang sederhana.

Taman nasional, bagi Suharto, untuk melestarikan hewan dan alam yang tidak bisa dihuni manusia. “Cuma, kita ini ‘kan warga negara Indonesia yang juga berhak hidup,” kilahnya. Dia termasuk salah satu generasi awal yang tahu bagaimana riwayat permukiman Merak berkembang.

Pada 1975, areal dari Merak hingga Masigit dikelola oleh PT Gunung Gumitir. Perusahaan ini mengajak beberapa petani buat menanam pohon turi yang disela cabai dan jagung. ”Ada bagi hasil untuk tanaman turi antara warga dengan perusahaan.” Kayu-kayu turi itu untuk memasok pabrik kertas di Jawa Timur. Tidak tahu kenapa, PT Gunung Gumitir meninggalkan lahan perkebunan. ”Masyarakat ditinggalkan dan dibiarkan, makanya berkembang sendiri.” Izin hak guna usaha perkebunan tersebut habis pada 2000 silam, dan masyarakat tetap berkembang hingga kini. ”Sudah terlanjur.”

Saya bertanya: ”Warga sudah tahu taman nasional tidak bisa didiami. Mengapa masih tetap bertahan?”

“Memang tidak bisa dihuni, cuma balik lagi. Ada ‘cuma’ wong namanya juga manusia, kami ingin tetap di Merak. Meskipun tanpa sertifikat tanah, dan hanya boleh membangun gubuk.”

Dulunya, Labuhan Merak dan Gunung Masigit merupakan hak guna usaha perkebunan tinggalan zaman kolonial. Pemerintah pada 1957 membatalkan hak atas kedua persil itu; lahan lalu dikuasai negara.

Pada 1962, menteri pertanian menjadikan bekas perkebunan itu sebagai kawasan lindung, digabung dengan Suaka Margasatwa Baluran yang sudah ditetapkan sejak 1937. Pada titik ini status kawasan jelas: untuk pelestarian. Datanglah PT Gunung Gumitir, Surabaya, yang mengajukan permohonan hak guna usaha (HGU), dengan sokongan izin sementara dari bupati Situbondo pada 1974. Setahun kemudian, izin HGU selama 25 tahun, antara 1975 sampai 2000, diberikan Menteri Dalam Negeri.

Menteri Pertanian—saat itu belum ada kementerian kehutanan—memprotes keluarnya izin tersebut: Suaka Margasatwa Baluran sedang mendapatkan perhatian internasional. Beban HGU hanya akan menimbulkan reaksi dunia.

!break!

Sejak itu, saling-silang pendapat dua ke­menterian itu—lalu kementerian kehutanan—terus berlangsung selama1975-1985. Keadaan kian runyam saat taman nasional mendata lahan perkebunan pada 1986. Dari tanah PT Gunung Gumitir yang seluas 363 hektare, yang dikelola hanya 279 hektare. Itu pun hanya 26 hektare yang dikelola perusahaan, sisanya disewakan kepada penggarap. Tindakan menyewakan lahan itu melecut arus pemukim mendiami Merak dan sekitarnya.