Dilema Baluran

By , Selasa, 23 Desember 2014 | 13:07 WIB

“Kenapa tidak mencari kehidupan di luar Merak?” tanya saya.

“Sudah saya coba, ke Sulawesi, ke Kalimantan. Balik lagi ke Merak.”

“Bila pindah ke luar taman nasional?”

“Warga Merak inginnya hidup berdampingan terus. Apa mungkin pemerintah menyediakan tempat di luar seluas 300 hektare? Kalaupun mungkin, sebagian besar warga berpendidikan rendah, hidup di kampung lain pasti tidak dapat bekerja. Nggak ada penghasilan,” jawab Haris, menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal.

“Jumlah warga makin banyak, tempat terbatas. Kalau hanya orang tua yang tinggal di Merak, sementara anak-anak di luar?”

“Saya tidak bisa mengekang anak-anak. Dia mau tinggal di Merak, monggo; mau di luar juga silakan saja.”

“Warga menggembala di taman nasional. Itu gratis. Apa kontribusi warga untuk taman?”

“Kita ikut mengamankan taman nasional. Pas kebakaran, kita cepat-cepat ikut memadamkan api. Hubungan kita dengan petugas taman nasional baik. Ibaratnya kita ini kawin siri [dengan taman nasional]. Kalau rebutan harta gono-gini, nggak dapat kita...,” tutur Haris sembari tertawa lebar. Rumahnya kerap dijadikan tempat berkumpul sejumlah warga saat Merak dilanda isu pemindahan permukiman. “Banyak yang berkeluh kesah dan menangis, mau hidup di mana lagi.”

 !break!

Merak bagaikan kesempatan hidup kedua bagi sebagian warganya. Saya mendengar, tak sedikit orang yang pernah mengarungi dunia gelap, lalu tobat setelah bermukim di Merak. “Ini kampung hidup,” jelas Misrah. Lelaki empat anak dan bercucu tiga ini datang ke Merak pada 1980-an.

Sebelum masuk Merak, Misrah hidup di jalanan. Misrah menuturkan bahwa dia berutang dua nyawa. “Dulu-dulunya itu. Bejatnya saya.” Datanglah Misrah muda ke Merak, membuka lembaran baru. Dia mulai menjadi buruh tani. Untuk makan dia memulung sisa-sisa hasil panen. Pelan-pelan kehidupan Misrah membaik. Dia memiliki rumah, beternak sapi, dan menyekolahkan anak-anak. Tahun 2000, Misrah mulai membangun rumah permanen.

“Saat membangun, akan dibongkar oleh pihak taman nasional. Tapi saya pertahankan. Di sini memang tidak boleh membuat rumah. Kalau diizinkan, pasti rumah warga bagus-bagus,” tutur Misrah sambil mensyukuri hidupnya yang telah lurus. Di depan rumahnya, dia baru saja membangun musala sederhana. Saat magrib, Misrah bersama tetangganya bercengkerama di teras musala.