Dilema Baluran

By , Selasa, 23 Desember 2014 | 13:07 WIB

Di antara perbantahan pendapat itu, pada 6 Maret 1980 Suaka Margasatwa Baluran dideklarasikan sebagai taman nasional pertama di Indonesia bersama Gunung Leuser, Sumatra Utara; Ujung Kulon, Banten; Komodo, Nusa Tenggara Timur; dan Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat. Dua tahun kemudian, kala World National Park Congress III pada 1982 di Bali, Indonesia kembali mendeklarasikan 11 kawasan suaka alam sebagai calon taman nasional baru, menyusul lima taman nasional pertama tersebut. “Indonesia adalah negara berkembang pertama yang menjadi tuan rumah Kongres Taman Nasional,” kenang Effendy A. Sumardja.

Sejak 1977, Effendy berkiprah di Inter­national Union for Conservation of Nature (IUCN), serikat internasional bagi konservasi alam. Pada dekade 1970, taman nasional tengah menjadi tren global, terutama di negara-negara Dunia Ketiga. Arah global ini se­iring dengan niat Indonesia melakukan pembangunan berkelanjutan. Pun, Kongres Bali meng­angkat tema peran kawasan lindung dalam pembangunan berkelanjutan. Pada saat yang sama, Effendy duduk sebagai wakil manajer National Park Development Project dari FAO-UNDP. Proyek inilah yang mengkaji kawasan lindung yang akan dijadikan taman nasional.

“Seluruh negara yang memiliki taman nasional mengikuti kriteria IUCN,” jelas Effendy, kini Presiden Direktur PT Restorasi Ekosistem Indonesia, “meski setiap negara punya konsep yang berbeda-beda; kalau dihitung-hitung, konsepnya bisa seratus lebih.” Effendy menyadari bahwa Indonesia memiliki tantangan yang berbeda dalam pengelolaan taman nasional. “Kita berbeda dengan negara-negara maju. Ada aspek sosial dan manusia di taman nasional,” jelasnya kepada saya.

Kongres Bali memberi kesempatan bagi Indonesia menyumbangkan gagasan ihwal pentingnya aspek sosial. Melalui debat ber­jam-jam, Effendy menuturkan, IUCN akhir­nya menerima aspek sosial. “Kita tidak bisa mengikuti negara-negara maju, taman nasional kosong tanpa manusia. Mereka tidak meng­hadapi tantangan seperti Indonesia atau negara berkembang lainnya. Kita tidak bisa meletakkan taman nasional seperti dalam kaca toples.”

!break!

Perbedaan itu tecermin dalam pembagian zona-zona taman nasional. Ada zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan, dan zona rehabilitasi. “Untuk memenuhi aspek sosial, ada zona pemanfaatan tradisional,” lanjut pria berambut putih ini. Di zona itu masyarakat sekitar taman bisa memungut hasil hutan bukan kayu.

Baluran diteguhkan menjadi taman nasional karena alamnya. “Dari menara pengamatan Bekol, padang rumput terlihat luas, dengan kumpulan banteng 30 sampai 50 ekor. Cocok bagi Indonesia untuk ditawarkan ke dunia internasional: padang rumput di kawasan hutan tropis,” tutur Effendy mengenang kunjungannya ke Baluran.

Effendy tak mengelak bahwa Baluran lekat dengan tantangan sosial masyarakat. “Itu sudah lama dan turun-temurun. Sebenarnya, kalau memakai konsep internasional, tidak boleh ada permukiman. Tetapi saya melihat dari sisi yang lain. Taman nasional ada untuk kepentingan masyarakat, agar pembangunan menyentuh daerah-daerah terpencil,” Effendy memaparkan.

Syaratnya, di sisi lain, taman nasional harus melakukan penyuluhan kepada masyarakat. Persoalannya, kini permukiman di Merak dan sekitarnya berkembang di tanah negara. “Kalau memang akan bedol desa atau apa pun, kenapa tidak dari dulu-dulu?” sergah Effendy.

Dia menegaskan, Baluran menghadapi tantangan berat dan tidak mudah. “Kita harus berani melakukan sesuatu, membatasi permukiman sesuai luas lahan semula. Itu harus berani. Dari dulu pihak kehutanan sudah protes, tetapi tidak ada reaksi apa pun. Sementara generasi pertama sudah tidak ada, sudah ganti orang-orang baru, berkembang, jumlahnya makin banyak.”

Keberanian itu diperlukan untuk segera me­nuntaskan persoalan permukiman. “Biar bisa menyelesaikan Acacia nilotica yang merambah padang rumput dan populasi banteng. Tantangan Baluran sangat berat. Tetapi saya optimistis Baluran tetap bertahan,” kata Effendy penuh harapan.

 !break!

Balai Taman Nasional Baluran telah merevisi zonasi kawasannya dengan menetapkan lahan bekas PT Gunung Gumitir sebagai zona khusus—sekitar 280 hektare. Kawasan ini untuk pemanfaatan dengan pengaturan khusus, lantaran ada masyarakat dan fasilitas publik.