Dilema Baluran

By , Selasa, 23 Desember 2014 | 13:07 WIB

“Saya berharap zona khusus tidak selamanya. Suatu saat nanti, Merak dan sekitarnya harus kembali menjadi zona rimba. Masyarakat sudah diberitahu, untuk sementara ini bisa bekerja di Merak. Setelah ada keputusan dari bupati Situbondo, dan gubernur Jawa Timur, masyarakat akan keluar,” jelas Kepala Balai Taman Nasional Baluran Emy Endah Suwarni.

Balai telah berupaya menyelesaikan per­mukiman dengan berbagai cara: penyuluhan, pem­berdayaan, dan pengukuran batas par­tisipatif agar sepaham. Balai juga membatasi jumlah kandang dan sapi; lahan tidak bisa diwaris­kan, dijual atau dihibahkan; tak ada bangunan baru, dan bangunan lama mesti bersifat nonpermanen.

Tim terpadu rupanya memilih pilihan warga Merak dan sekitarnya tetap bermukim di areal taman nasional. “Perkembangan terakhir, opsinya hanya satu, warga tetap di sana. Berarti itu ‘kan bukan opsi, wong hanya satu,” papar Ruswanto, Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah II, yang membawahi wilayah Merak. Banyak hal dilakukan Ruswanto untuk mengelola dampak permukiman dan penggembalaan sapi. “Kami telah melarang gurandong—kendaraan ubahan lokal—masuk ke Merak. Itu juga ada yang pro dan kontra. Kami masih memberi toleransi sepeda motor melintas,” paparnya.

Penyelesaian permukiman di lahan bekas HGU itu nampaknya masih bakal menempuh jalan panjang. Bila pilihannya tetap di Merak, Ruswanto menuturkan, gubernur mesti mengajukan perubahan kawasan hutan konservasi kepada menteri kehutanan. Peng­ajuan itu diikuti revisi rencana tata ruang provinsi, dan berkonsultasi dengan kementerian. Lalu, menteri mengajukan perubahan itu untuk mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. “Jadi, bakal panjang. Keputusannya tergantung kepada DPR.”

 !break!

Seekor rusa jantan bersembunyi di semak kering yang jarang-jarang. Merasa tak aman, ia melesat masuk ke taman nasional. Siang itu, sang rusa masuk ke kawasan bekas hak guna usaha PT Baluran Kapuk Indah, di Wonorejo, Banyuputih. Di tanah ini bakal dibangun pabrik pengolahan nikel dengan pemodal dari Tiongkok.

Sekeliling lahan milik pemerintah daerah Situbondo ini telah ditebangi untuk jalan inspeksi. Pada sisi yang terdekat dengan Baluran, jalan selebar 12 meter itu membuat batas taman nasional makin menganga. Kendati berada di luar kawasan, dan pembangunan pabrik belum dimulai, dampaknya telah dirasa­kan oleh Balai. “Kami harus kerja keras memantau areal taman nasional yang berbatasan dengan lahan itu,” tutur Emy, “Balai tidak bisa berbuat apa-apa karena itu lahan pemerintah daerah.”

Lahan bakal pabrik nikel itu dikelilingi taman nasional di sisi barat, utara, dan timur. Karena itu, untuk mengangkut bahan mentah nikel dan hasil peleburan, PT Indonesia Dafeng Port Heshun Mining Industry berencana memakai kawasan taman nasional di sisi timur untuk jalan dan dermaga. Jalan angkutan itu sepanjang 660 meter, selebar 20 meter.

Untuk mengkaji permohonan itu, Ke­menterian Kehutanan mengirim tim pakar ke Baluran. Tim pengkaji berisi ahli-ahli dari Pusat Penelitian Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Alam, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Kehutanan dan Balai Taman Nasional Baluran.

Tim telah mengundang investor untuk memaparkan rencana pabrik. Ketua tim, Satyawan Pudyatmoko, meminta perusahaan untuk memberikan rencana detail, dokumen analisis dampak lingkungan, rencana tapak, dan komitmen tentang lingkungan. Semua dokumen, pinta Satyawan, ditulis dan ditanda­tangani untuk menjamin komitmen perusahaan. Berdasarkan dokumen itu, tim akan menerbitkan rekomendasi. “Kami hanya memberi rekomendasi, namun izin tetap dari Kementerian Kehutanan,” jelas Satyawan, yang juga Dekan Fakultas Kehutanan UGM.

Lewat tengah hari, perusahaan baru me­ngirimkan dokumennya. Ada tiga berkas yang dibungkus dalam amplop cokelat. Sayangnya, berkas-berkas itu tak sesuai harapan. Saya mem­baca salah satunya, yang isinya justru tentang rencana pabrik peleburan nikel di Jawa Tengah, bukan di Baluran. “Kayaknya tidak serius itu perusahaan,” kata Emy.

“Tim menginginkan data-data aktivitas pabrik yang berpotensi mengganggu ekosistem, terutama terhadap flora, fauna, perairan, daratan, dan sumber daya yang menjadi faktor pembatas di Baluran,” Satyawan memaparkan. Tak satu pun dokumen yang menyajikan rencana tapak, jumlah kebutuhan air, dan jaminan komitmen. “Kebutuhan air hanya lima persen sehari. Tapi lima persen dari berapa meter kubik?” ujar Satyawan. Baluran dikenal sebagai daerah kering. Di sisi timur lahan itu, yang berbatasan dengan taman nasional, terdapat sumber air Sambikerep yang menyokong satwa liar. “Kalau mengambil air dari situ, sumber airnya akan kering.”

Begitu juga ihwal polusi lingkungan. Karena pabrik beroperasi 24 jam, tim juga menimbang dampak polusi. Tanpa adanya rencana detail, tim hanya merekomendasikan permohonan belum dapat dipertimbangkan lebih lanjut sampai data valid tersedia.

Kesempatan kedua diberikan kepada per­usahaan. Di Bogor, Jawa Barat, pada November silam, tim kembali mengkaji rencana pabrik nikel. “Tidak banyak perbaikan yang dilakukan pemohon,” ucap Satyawan. Lantaran itulah, Satyawan menuturkan, tim menyarankan pabrik tidak dibangun di lokasi yang berbatasan dengan taman nasional. “Kami menggunakan azas kehati-hatian dalam mengambil keputusan. Baluran adalah ekosistem yang khas. Indonesia rugi jika ekosistem Baluran terganggu.”

Gangguan bisa terjadi sejak tahap persiapan, pembangunan, sampai operasional pabrik. Apalagi, Satyawan menambahkan, kalau pabrik ber­operasi 24 jam, gangguan akan ber­sifat per­manen. Salah seorang anggota tim me­nuturkan, bila pengolahan nikel benar-benar ber­diri, Baluran akan menjadi taman nasional pertama yang bersisian dengan kawasan industri.

 !break!

Perjumpaan saya dengan Satyawan di Baluran seperti mengulang suatu peristiwa pada 2002. Saat itu, kami ter­pesona berjumpa sekawanan banteng di Bekol. Kini, berjarak 12 tahun, Baluran telah banyak ber­ubah. “Pengamatan teratur pada 2002, banteng masih mudah diamati dari menara peng­amatan,” kenangnya.

Kala rehat mengkaji rencana pabrik nikel, kami memalingkan pandangan ke padang Bekol. Tak ada satu pun banteng. Bekol adalah padang yang luka: akasia duri pernah merambahnya, rumputnya telah berubah. Hidupan liar masa lalu Bekol seolah diwakili etalase jajaran tengkorak banteng, kerbau liar, dan rusa—sudut favorit para pengunjung.

Satyawan tahu Baluran tengah menanggung beban berat. Balai Taman Nasional telah bertekad buat membalik keadaan, kembali ke alam Baluran seperti sebelum 1960 selama dua dekade ke depan. “Tindakan paling penting adalah mengurangi sebesar mungkin gangguan dengan mengendalikan aktivitas manusia, termasuk permukiman dan penggembalaan. Ini memang berat,” papar Satyawan.

Keadaan Baluran saat ini seperti membuka kembali pesan mulia dari Kongres Bali: peran kawasan lindung dalam pembangunan ber­kelanjutan. Kepada saya, Effendy A. Sumardja mengingatkan, “Kita terlalu menekankan aspek ekonomi dan sosial, tapi lemah soal konservasi dalam konteks pembangunan berkelanjutan.”

Pembangunan yang lestari bermakna me­manfaatkan tanpa mengorbankan kehidupan  bagi generasi penerus. Ini melibatkan peran dari pemerintah daerah, pusat, dan lintas-sektoral. Saat pembuka­an Kongres Bali, Wakil Presiden Adam Malik menyatakan, kesiapan menggelar kongres merupakan wujud komitmen dari Indonesia dalam melestarikan alam. Di sisi lain, Indonesia menghadapi tiga isu dasar: kemiskinan, lapar lahan, dan pembangunan.

Sayangnya, meski telah berselang tiga dekade, Baluran masih menggemakan pesan dengan tantangan yang sama.

---

Agus Prijono, alumnus Kehutanan Universitas Gadjah Mada, menulis "Jejak Hutan di Tanah Rakyat", Maret 2014. Karya staf fotografer Yunaidi, "Mengelak Dari Sang Ombak" terbit Desember 2014.