Dilema Baluran

By , Selasa, 23 Desember 2014 | 13:07 WIB

Saya terjebak. Ribuan kaki sapi pagi itu mengaduk pasir pantai. Tanpa sadar, saya telah terkepung. Aroma lembu bersama debu menyusup ke hidung. Debu selembut bedak menempel di wajah, rambut, dan tubuh. Dari arah timur Merak, sapi-sapi berarak menuju padang rumput Taman Nasional Baluran.

“Berangkat pukul delapan, pulang sore,” tutur Muhammad Ibnu Azwan, salah seorang penggembala. Wawan, begitu panggilan remaja 15 tahun ini, menggiring kawanan sapi dari belakang. Lima kawannya yang lain memandu di depan dan dari samping barisan sapi. Ini penggembalaan tiada tara. Sekitar 1.300 sapi beranjak ke luar kandang, menyerbu padang rumput. Burung-burung merak hijau (Pavo muticus) menyingkir; rusa-rusa (Cervus timorensis) berkelebat menjauh.

Kemarau menguasai alam Baluran pada September itu. Rumput menguning, pohon-pohon meranggas. Jejak api yang baru saja melalap sebagian padang tertinggal di tanah dan batu yang gosong. Kehidupan sedang di titik nadir di wilayah sisi utara taman nasional yang berbatasan dengan Selat Madura itu. Sapi-sapi kurus.

Musim kemarau juga berarti Wawan makin jauh menggembala, menusuk masuk kawasan taman. Penggembala akan menggiring sapi ke padang yang masih berumput. Namun, rerumputan sedang merana dengan batang yang keras dan patah. “Sapi juga tidak mau memakannya,” ungkap remaja lulusan sekolah dasar itu. Sapi-sapi terpaksa menjilati remah rumput di atas tanah. “Itu yang dimakan sapi karena telah lunak.”

Arak-arakan sapi berhenti di padang Bilik. Hewan pemamah biak itu menyebar ke segala arah, melahap tumbuhan apa saja yang bisa dimakan. Penggembalaan hari itu menempuh jarak sekitar tiga kilometer. Wawan, bersama Hendriyanto, berteduh di bawah pohon pilang (Acacia leucophloea), duduk di tanah hitam.

!break!

Peternakan sapi di Merak membentuk penggembalaan yang khas. Setiap hari, sapi digembala oleh enam orang secara bergiliran. Wawan mendapatkan jatah angon sekali sepekan. Sementara Hendri, yang tak lulus sekolah dasar, mendapat jatah dua kali. Sebenarnya dia hanya angon sekali, tutur Hendri, “Yang satu menggantikan orang lain. Saya dibayar Rp30.000.”

Saat tidak mengangon, Hendri mencari kemiri di pedalaman taman nasional. “Di sana, di Gunung Kembar,” kisah Hendri, mengangkat dagunya menunjuk ke Gunung Baluran. Itu zona inti taman nasional yang semestinya tidak bisa dimasuki manusia—kecuali peneliti dan petugas taman. “Kalau saya cuma santai-santai, mendengarkan musik,” papar Wawan.

Saya trenyuh mendengar kisahnya. Pada padang taman nasional, dua remaja ini meng­gantungkan hidup. Perikehidupan di Merak sebenarnya berada di batas dua sisi yang saling berbenturan. Di satu sisi, taman nasional melestarikan padang rumput seisinya yang mem­bentang di Jawa bagian timur; di sisi lain, ada masyarakat yang juga butuh hidup. Alam pikiran Wawan dan Hendri terlalu muda buat menjangkau dilema itu. “Orang-orang tua yang lebih tahu,” kata Hendri sambil meminum air tawar dari botol bekas yang kusam.

Hari mulai senja. Denting lonceng terdengar dari pantai, pertanda kawan­an sapi telah pulang. Penggembala cukup menggiring saja. Asal pintu kandang terbuka, sapi akan masuk sendiri. Kandang-kandang berderet di sepanjang tepi pantai, di depan rumah sang pemilik. Kampung ini terdiri atas beberapa blok permukiman: Merak, Widuri, Air Karang, Lempuyang, Sirondo, Simacan, Masigit, dan Balanan. Permukiman berjajar dari barat ke timur, mengikuti garis pantai utara yang menyerong—dekat mulut utara Selat Bali.

!break!

Tidak mudah mencapai perkampungan yang secara administratif masuk Desa Sumberwaru, Banyuputih, Situbondo, itu. Saat musim kering, dengan sepeda motor, warga Merak keluar-masuk melewati jalan setapak yang membelah wilayah taman. Kala hujan, transportasi hanya bisa melalui laut.

Namun, dari tempat antah-berantah ini, peternakan mengibarkan Merak menjadi sentra sapi lokal Situbondo. Tak heran, para pembeli rela datang ke wilayah ini. “Itulah saya bilang, agar sapi lokal tidak punah,” tutur Imam Haris, tokoh setempat. Tetapi, dia mengerti bahwa taman nasional melestarikan banteng jawa (Bos javanicus) yang juga memamah rumput yang sama dengan sapi. Dia juga paham, tempat tinggalnya berdiri di atas tanah negara yang dikelola taman nasional.

Haris, istri, dan empat anaknya berdiam di rumah sederhana semipermanen. “Saya tidak bisa membangun rumah permanen. Aturan dari taman nasional begitu. Bahkan, untuk memperbaiki rumah, saya juga memberitahu petugas taman nasional.”

Dia menuturkan, Merak merupakan daerah minus, tanpa fasilitas umum: pendidikan—meski kini ada sekolah dasar, dan kesehatan—kini ada puskesmas pembantu. Anak pertama­nya, yang bernama Rifki, tak sempat mengenyam pendidikan yang layak. “Salah satu korbannya adalah anak saya yang nomor satu,” katanya dengan tatapan menerawang.

“Kenapa tidak mencari kehidupan di luar Merak?” tanya saya.

“Sudah saya coba, ke Sulawesi, ke Kalimantan. Balik lagi ke Merak.”

“Bila pindah ke luar taman nasional?”

“Warga Merak inginnya hidup berdampingan terus. Apa mungkin pemerintah menyediakan tempat di luar seluas 300 hektare? Kalaupun mungkin, sebagian besar warga berpendidikan rendah, hidup di kampung lain pasti tidak dapat bekerja. Nggak ada penghasilan,” jawab Haris, menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal.

“Jumlah warga makin banyak, tempat terbatas. Kalau hanya orang tua yang tinggal di Merak, sementara anak-anak di luar?”

“Saya tidak bisa mengekang anak-anak. Dia mau tinggal di Merak, monggo; mau di luar juga silakan saja.”

“Warga menggembala di taman nasional. Itu gratis. Apa kontribusi warga untuk taman?”

“Kita ikut mengamankan taman nasional. Pas kebakaran, kita cepat-cepat ikut memadamkan api. Hubungan kita dengan petugas taman nasional baik. Ibaratnya kita ini kawin siri [dengan taman nasional]. Kalau rebutan harta gono-gini, nggak dapat kita...,” tutur Haris sembari tertawa lebar. Rumahnya kerap dijadikan tempat berkumpul sejumlah warga saat Merak dilanda isu pemindahan permukiman. “Banyak yang berkeluh kesah dan menangis, mau hidup di mana lagi.”

 !break!

Merak bagaikan kesempatan hidup kedua bagi sebagian warganya. Saya mendengar, tak sedikit orang yang pernah mengarungi dunia gelap, lalu tobat setelah bermukim di Merak. “Ini kampung hidup,” jelas Misrah. Lelaki empat anak dan bercucu tiga ini datang ke Merak pada 1980-an.

Sebelum masuk Merak, Misrah hidup di jalanan. Misrah menuturkan bahwa dia berutang dua nyawa. “Dulu-dulunya itu. Bejatnya saya.” Datanglah Misrah muda ke Merak, membuka lembaran baru. Dia mulai menjadi buruh tani. Untuk makan dia memulung sisa-sisa hasil panen. Pelan-pelan kehidupan Misrah membaik. Dia memiliki rumah, beternak sapi, dan menyekolahkan anak-anak. Tahun 2000, Misrah mulai membangun rumah permanen.

“Saat membangun, akan dibongkar oleh pihak taman nasional. Tapi saya pertahankan. Di sini memang tidak boleh membuat rumah. Kalau diizinkan, pasti rumah warga bagus-bagus,” tutur Misrah sambil mensyukuri hidupnya yang telah lurus. Di depan rumahnya, dia baru saja membangun musala sederhana. Saat magrib, Misrah bersama tetangganya bercengkerama di teras musala.

Merak telah membalik takdir hidupnya. “Kalau dikeluarkan dari Merak, berarti pe­merintah mengumpulkan kembali para maling dan pencuri di luar. Itu tafsir saya,” katanya seraya menduga kira-kira 20 persen warga adalah mantan orang yang tidak benar.

Dilema memang begitu tebal mengendap di sekeping tanah taman nasional itu. Selama di kampung yang menatap Selat Madura itu, saya senantiasa bertanya kepada diri sendiri: “Mengapa semua orang yang sudah tahu bahwa ladang, kebun, dan rumahnya berdiri di tanah negara tetap bertahan? Tak adakah seorang pun yang mengerti arti penting Baluran? Adakah upaya pemerintah dalam membenahi per­soalan tanah dan kehidupan masyarakat? Sebagai salah satu taman nasional pertama di Indonesia, mengapa persoalan di Baluran belum juga rampung?”

!break!

“Aman, nyaman, dan ekonomi berjalan,” tutur Kepala Dusun Merak Suharto. Aman, karena tidak ada kasus kriminal. Nyaman, karena Merak tak terjangkau desas-desus nasional. “Ekonomi berjalan karena semua orang bisa bekerja, di kebun, di ladang, dan beternak sapi,” imbuhnya, “yang kelaparan berarti orangnya malas.”

Dia menilai, warga sebaiknya tidak beternak sapi berlebihan. “Penggembalaan sapi memang sudah mengepung taman nasional. Jadi, saya berharap ternak sapi tidak berlebihan. Itu sebenarnya yang dipersoalkan oleh taman nasional,” ujar Suharto yang duduk di kursi roda. Separuh tubuhnya lumpuh direnggut stroke. Dua istrinya menemani di rumahnya yang sederhana.

Taman nasional, bagi Suharto, untuk melestarikan hewan dan alam yang tidak bisa dihuni manusia. “Cuma, kita ini ‘kan warga negara Indonesia yang juga berhak hidup,” kilahnya. Dia termasuk salah satu generasi awal yang tahu bagaimana riwayat permukiman Merak berkembang.

Pada 1975, areal dari Merak hingga Masigit dikelola oleh PT Gunung Gumitir. Perusahaan ini mengajak beberapa petani buat menanam pohon turi yang disela cabai dan jagung. ”Ada bagi hasil untuk tanaman turi antara warga dengan perusahaan.” Kayu-kayu turi itu untuk memasok pabrik kertas di Jawa Timur. Tidak tahu kenapa, PT Gunung Gumitir meninggalkan lahan perkebunan. ”Masyarakat ditinggalkan dan dibiarkan, makanya berkembang sendiri.” Izin hak guna usaha perkebunan tersebut habis pada 2000 silam, dan masyarakat tetap berkembang hingga kini. ”Sudah terlanjur.”

Saya bertanya: ”Warga sudah tahu taman nasional tidak bisa didiami. Mengapa masih tetap bertahan?”

“Memang tidak bisa dihuni, cuma balik lagi. Ada ‘cuma’ wong namanya juga manusia, kami ingin tetap di Merak. Meskipun tanpa sertifikat tanah, dan hanya boleh membangun gubuk.”

Dulunya, Labuhan Merak dan Gunung Masigit merupakan hak guna usaha perkebunan tinggalan zaman kolonial. Pemerintah pada 1957 membatalkan hak atas kedua persil itu; lahan lalu dikuasai negara.

Pada 1962, menteri pertanian menjadikan bekas perkebunan itu sebagai kawasan lindung, digabung dengan Suaka Margasatwa Baluran yang sudah ditetapkan sejak 1937. Pada titik ini status kawasan jelas: untuk pelestarian. Datanglah PT Gunung Gumitir, Surabaya, yang mengajukan permohonan hak guna usaha (HGU), dengan sokongan izin sementara dari bupati Situbondo pada 1974. Setahun kemudian, izin HGU selama 25 tahun, antara 1975 sampai 2000, diberikan Menteri Dalam Negeri.

Menteri Pertanian—saat itu belum ada kementerian kehutanan—memprotes keluarnya izin tersebut: Suaka Margasatwa Baluran sedang mendapatkan perhatian internasional. Beban HGU hanya akan menimbulkan reaksi dunia.

!break!

Sejak itu, saling-silang pendapat dua ke­menterian itu—lalu kementerian kehutanan—terus berlangsung selama1975-1985. Keadaan kian runyam saat taman nasional mendata lahan perkebunan pada 1986. Dari tanah PT Gunung Gumitir yang seluas 363 hektare, yang dikelola hanya 279 hektare. Itu pun hanya 26 hektare yang dikelola perusahaan, sisanya disewakan kepada penggarap. Tindakan menyewakan lahan itu melecut arus pemukim mendiami Merak dan sekitarnya.

Di antara perbantahan pendapat itu, pada 6 Maret 1980 Suaka Margasatwa Baluran dideklarasikan sebagai taman nasional pertama di Indonesia bersama Gunung Leuser, Sumatra Utara; Ujung Kulon, Banten; Komodo, Nusa Tenggara Timur; dan Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat. Dua tahun kemudian, kala World National Park Congress III pada 1982 di Bali, Indonesia kembali mendeklarasikan 11 kawasan suaka alam sebagai calon taman nasional baru, menyusul lima taman nasional pertama tersebut. “Indonesia adalah negara berkembang pertama yang menjadi tuan rumah Kongres Taman Nasional,” kenang Effendy A. Sumardja.

Sejak 1977, Effendy berkiprah di Inter­national Union for Conservation of Nature (IUCN), serikat internasional bagi konservasi alam. Pada dekade 1970, taman nasional tengah menjadi tren global, terutama di negara-negara Dunia Ketiga. Arah global ini se­iring dengan niat Indonesia melakukan pembangunan berkelanjutan. Pun, Kongres Bali meng­angkat tema peran kawasan lindung dalam pembangunan berkelanjutan. Pada saat yang sama, Effendy duduk sebagai wakil manajer National Park Development Project dari FAO-UNDP. Proyek inilah yang mengkaji kawasan lindung yang akan dijadikan taman nasional.

“Seluruh negara yang memiliki taman nasional mengikuti kriteria IUCN,” jelas Effendy, kini Presiden Direktur PT Restorasi Ekosistem Indonesia, “meski setiap negara punya konsep yang berbeda-beda; kalau dihitung-hitung, konsepnya bisa seratus lebih.” Effendy menyadari bahwa Indonesia memiliki tantangan yang berbeda dalam pengelolaan taman nasional. “Kita berbeda dengan negara-negara maju. Ada aspek sosial dan manusia di taman nasional,” jelasnya kepada saya.

Kongres Bali memberi kesempatan bagi Indonesia menyumbangkan gagasan ihwal pentingnya aspek sosial. Melalui debat ber­jam-jam, Effendy menuturkan, IUCN akhir­nya menerima aspek sosial. “Kita tidak bisa mengikuti negara-negara maju, taman nasional kosong tanpa manusia. Mereka tidak meng­hadapi tantangan seperti Indonesia atau negara berkembang lainnya. Kita tidak bisa meletakkan taman nasional seperti dalam kaca toples.”

!break!

Perbedaan itu tecermin dalam pembagian zona-zona taman nasional. Ada zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan, dan zona rehabilitasi. “Untuk memenuhi aspek sosial, ada zona pemanfaatan tradisional,” lanjut pria berambut putih ini. Di zona itu masyarakat sekitar taman bisa memungut hasil hutan bukan kayu.

Baluran diteguhkan menjadi taman nasional karena alamnya. “Dari menara pengamatan Bekol, padang rumput terlihat luas, dengan kumpulan banteng 30 sampai 50 ekor. Cocok bagi Indonesia untuk ditawarkan ke dunia internasional: padang rumput di kawasan hutan tropis,” tutur Effendy mengenang kunjungannya ke Baluran.

Effendy tak mengelak bahwa Baluran lekat dengan tantangan sosial masyarakat. “Itu sudah lama dan turun-temurun. Sebenarnya, kalau memakai konsep internasional, tidak boleh ada permukiman. Tetapi saya melihat dari sisi yang lain. Taman nasional ada untuk kepentingan masyarakat, agar pembangunan menyentuh daerah-daerah terpencil,” Effendy memaparkan.

Syaratnya, di sisi lain, taman nasional harus melakukan penyuluhan kepada masyarakat. Persoalannya, kini permukiman di Merak dan sekitarnya berkembang di tanah negara. “Kalau memang akan bedol desa atau apa pun, kenapa tidak dari dulu-dulu?” sergah Effendy.

Dia menegaskan, Baluran menghadapi tantangan berat dan tidak mudah. “Kita harus berani melakukan sesuatu, membatasi permukiman sesuai luas lahan semula. Itu harus berani. Dari dulu pihak kehutanan sudah protes, tetapi tidak ada reaksi apa pun. Sementara generasi pertama sudah tidak ada, sudah ganti orang-orang baru, berkembang, jumlahnya makin banyak.”

Keberanian itu diperlukan untuk segera me­nuntaskan persoalan permukiman. “Biar bisa menyelesaikan Acacia nilotica yang merambah padang rumput dan populasi banteng. Tantangan Baluran sangat berat. Tetapi saya optimistis Baluran tetap bertahan,” kata Effendy penuh harapan.

 !break!

Balai Taman Nasional Baluran telah merevisi zonasi kawasannya dengan menetapkan lahan bekas PT Gunung Gumitir sebagai zona khusus—sekitar 280 hektare. Kawasan ini untuk pemanfaatan dengan pengaturan khusus, lantaran ada masyarakat dan fasilitas publik.

“Saya berharap zona khusus tidak selamanya. Suatu saat nanti, Merak dan sekitarnya harus kembali menjadi zona rimba. Masyarakat sudah diberitahu, untuk sementara ini bisa bekerja di Merak. Setelah ada keputusan dari bupati Situbondo, dan gubernur Jawa Timur, masyarakat akan keluar,” jelas Kepala Balai Taman Nasional Baluran Emy Endah Suwarni.

Balai telah berupaya menyelesaikan per­mukiman dengan berbagai cara: penyuluhan, pem­berdayaan, dan pengukuran batas par­tisipatif agar sepaham. Balai juga membatasi jumlah kandang dan sapi; lahan tidak bisa diwaris­kan, dijual atau dihibahkan; tak ada bangunan baru, dan bangunan lama mesti bersifat nonpermanen.

Tim terpadu rupanya memilih pilihan warga Merak dan sekitarnya tetap bermukim di areal taman nasional. “Perkembangan terakhir, opsinya hanya satu, warga tetap di sana. Berarti itu ‘kan bukan opsi, wong hanya satu,” papar Ruswanto, Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah II, yang membawahi wilayah Merak. Banyak hal dilakukan Ruswanto untuk mengelola dampak permukiman dan penggembalaan sapi. “Kami telah melarang gurandong—kendaraan ubahan lokal—masuk ke Merak. Itu juga ada yang pro dan kontra. Kami masih memberi toleransi sepeda motor melintas,” paparnya.

Penyelesaian permukiman di lahan bekas HGU itu nampaknya masih bakal menempuh jalan panjang. Bila pilihannya tetap di Merak, Ruswanto menuturkan, gubernur mesti mengajukan perubahan kawasan hutan konservasi kepada menteri kehutanan. Peng­ajuan itu diikuti revisi rencana tata ruang provinsi, dan berkonsultasi dengan kementerian. Lalu, menteri mengajukan perubahan itu untuk mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. “Jadi, bakal panjang. Keputusannya tergantung kepada DPR.”

 !break!

Seekor rusa jantan bersembunyi di semak kering yang jarang-jarang. Merasa tak aman, ia melesat masuk ke taman nasional. Siang itu, sang rusa masuk ke kawasan bekas hak guna usaha PT Baluran Kapuk Indah, di Wonorejo, Banyuputih. Di tanah ini bakal dibangun pabrik pengolahan nikel dengan pemodal dari Tiongkok.

Sekeliling lahan milik pemerintah daerah Situbondo ini telah ditebangi untuk jalan inspeksi. Pada sisi yang terdekat dengan Baluran, jalan selebar 12 meter itu membuat batas taman nasional makin menganga. Kendati berada di luar kawasan, dan pembangunan pabrik belum dimulai, dampaknya telah dirasa­kan oleh Balai. “Kami harus kerja keras memantau areal taman nasional yang berbatasan dengan lahan itu,” tutur Emy, “Balai tidak bisa berbuat apa-apa karena itu lahan pemerintah daerah.”

Lahan bakal pabrik nikel itu dikelilingi taman nasional di sisi barat, utara, dan timur. Karena itu, untuk mengangkut bahan mentah nikel dan hasil peleburan, PT Indonesia Dafeng Port Heshun Mining Industry berencana memakai kawasan taman nasional di sisi timur untuk jalan dan dermaga. Jalan angkutan itu sepanjang 660 meter, selebar 20 meter.

Untuk mengkaji permohonan itu, Ke­menterian Kehutanan mengirim tim pakar ke Baluran. Tim pengkaji berisi ahli-ahli dari Pusat Penelitian Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Alam, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Kehutanan dan Balai Taman Nasional Baluran.

Tim telah mengundang investor untuk memaparkan rencana pabrik. Ketua tim, Satyawan Pudyatmoko, meminta perusahaan untuk memberikan rencana detail, dokumen analisis dampak lingkungan, rencana tapak, dan komitmen tentang lingkungan. Semua dokumen, pinta Satyawan, ditulis dan ditanda­tangani untuk menjamin komitmen perusahaan. Berdasarkan dokumen itu, tim akan menerbitkan rekomendasi. “Kami hanya memberi rekomendasi, namun izin tetap dari Kementerian Kehutanan,” jelas Satyawan, yang juga Dekan Fakultas Kehutanan UGM.

Lewat tengah hari, perusahaan baru me­ngirimkan dokumennya. Ada tiga berkas yang dibungkus dalam amplop cokelat. Sayangnya, berkas-berkas itu tak sesuai harapan. Saya mem­baca salah satunya, yang isinya justru tentang rencana pabrik peleburan nikel di Jawa Tengah, bukan di Baluran. “Kayaknya tidak serius itu perusahaan,” kata Emy.

“Tim menginginkan data-data aktivitas pabrik yang berpotensi mengganggu ekosistem, terutama terhadap flora, fauna, perairan, daratan, dan sumber daya yang menjadi faktor pembatas di Baluran,” Satyawan memaparkan. Tak satu pun dokumen yang menyajikan rencana tapak, jumlah kebutuhan air, dan jaminan komitmen. “Kebutuhan air hanya lima persen sehari. Tapi lima persen dari berapa meter kubik?” ujar Satyawan. Baluran dikenal sebagai daerah kering. Di sisi timur lahan itu, yang berbatasan dengan taman nasional, terdapat sumber air Sambikerep yang menyokong satwa liar. “Kalau mengambil air dari situ, sumber airnya akan kering.”

Begitu juga ihwal polusi lingkungan. Karena pabrik beroperasi 24 jam, tim juga menimbang dampak polusi. Tanpa adanya rencana detail, tim hanya merekomendasikan permohonan belum dapat dipertimbangkan lebih lanjut sampai data valid tersedia.

Kesempatan kedua diberikan kepada per­usahaan. Di Bogor, Jawa Barat, pada November silam, tim kembali mengkaji rencana pabrik nikel. “Tidak banyak perbaikan yang dilakukan pemohon,” ucap Satyawan. Lantaran itulah, Satyawan menuturkan, tim menyarankan pabrik tidak dibangun di lokasi yang berbatasan dengan taman nasional. “Kami menggunakan azas kehati-hatian dalam mengambil keputusan. Baluran adalah ekosistem yang khas. Indonesia rugi jika ekosistem Baluran terganggu.”

Gangguan bisa terjadi sejak tahap persiapan, pembangunan, sampai operasional pabrik. Apalagi, Satyawan menambahkan, kalau pabrik ber­operasi 24 jam, gangguan akan ber­sifat per­manen. Salah seorang anggota tim me­nuturkan, bila pengolahan nikel benar-benar ber­diri, Baluran akan menjadi taman nasional pertama yang bersisian dengan kawasan industri.

 !break!

Perjumpaan saya dengan Satyawan di Baluran seperti mengulang suatu peristiwa pada 2002. Saat itu, kami ter­pesona berjumpa sekawanan banteng di Bekol. Kini, berjarak 12 tahun, Baluran telah banyak ber­ubah. “Pengamatan teratur pada 2002, banteng masih mudah diamati dari menara peng­amatan,” kenangnya.

Kala rehat mengkaji rencana pabrik nikel, kami memalingkan pandangan ke padang Bekol. Tak ada satu pun banteng. Bekol adalah padang yang luka: akasia duri pernah merambahnya, rumputnya telah berubah. Hidupan liar masa lalu Bekol seolah diwakili etalase jajaran tengkorak banteng, kerbau liar, dan rusa—sudut favorit para pengunjung.

Satyawan tahu Baluran tengah menanggung beban berat. Balai Taman Nasional telah bertekad buat membalik keadaan, kembali ke alam Baluran seperti sebelum 1960 selama dua dekade ke depan. “Tindakan paling penting adalah mengurangi sebesar mungkin gangguan dengan mengendalikan aktivitas manusia, termasuk permukiman dan penggembalaan. Ini memang berat,” papar Satyawan.

Keadaan Baluran saat ini seperti membuka kembali pesan mulia dari Kongres Bali: peran kawasan lindung dalam pembangunan ber­kelanjutan. Kepada saya, Effendy A. Sumardja mengingatkan, “Kita terlalu menekankan aspek ekonomi dan sosial, tapi lemah soal konservasi dalam konteks pembangunan berkelanjutan.”

Pembangunan yang lestari bermakna me­manfaatkan tanpa mengorbankan kehidupan  bagi generasi penerus. Ini melibatkan peran dari pemerintah daerah, pusat, dan lintas-sektoral. Saat pembuka­an Kongres Bali, Wakil Presiden Adam Malik menyatakan, kesiapan menggelar kongres merupakan wujud komitmen dari Indonesia dalam melestarikan alam. Di sisi lain, Indonesia menghadapi tiga isu dasar: kemiskinan, lapar lahan, dan pembangunan.

Sayangnya, meski telah berselang tiga dekade, Baluran masih menggemakan pesan dengan tantangan yang sama.

---

Agus Prijono, alumnus Kehutanan Universitas Gadjah Mada, menulis "Jejak Hutan di Tanah Rakyat", Maret 2014. Karya staf fotografer Yunaidi, "Mengelak Dari Sang Ombak" terbit Desember 2014.