Titisan Pemburu Wewangian Surgawi

By , Kamis, 22 Januari 2015 | 11:55 WIB

Menjelang sore di Atambua, Belu, Nusa Tenggara Timur, udara panas sisa siang tadi masih terasa membakar. Saya memutuskan bertandang ke sebuah rumah tradisi Timor yang berhawa sejuk, meskipun atapnya terbuat dari seng dan genteng. Dindingnya separuh tembok bata. Separuh lagi dari bebak, kayu pohon lontar, yang dicat seputih kapur. Rumah itu tampak bersahaja, hanya berhias kalender dan lukisan Perawan Suci Maria.

“Masuk, ayo masuk, lalu coba ini sirih pinang,” ujar seorang lelaki dari ruangan dalam. “Ini cara orang Belu menyambut tamu kehormatan dan sahabat.”

Dia adalah Vikus Pareira, usianya sekitar 70-an dan salah seorang bangsawan Timor yang berdarah Cina. Kendati keturunan Cina, dia tampak berkulit gelap dan berambut keriting. Matanya pun belok.

Kemudian Vikus mengambil kotak sirih dan mengulurkan daun sirih kepada saya.

Saya tertawa seraya menyambutnya. Dia memberi contoh cara merampai kapur sirih. Satu per satu diambilnya dari kotak sirih: pinang dibubuhkan sedikit kapur dan gambir, lantas disatukan dalam lipatan daun sirih.

Saya pun mengikutinya.

!break!

Perlahan saya memamahnya laksana me­ngunyah permen karet. Ludah yang bercampur cairan merah itu memang tidak pernah ditelan karena memabukkan. Rasanya getir, pahit, dan berangsur aneh di lidah saya. Bertahan tak sampai satu menit, saya memutuskan untuk memindahkan rampaian sirih pinang dari mulut saya ke kotak pembuangan yang terbuat dari anyaman rumput.

“Itu adat Belu,” ujarnya. “Nona akan terbiasa.”

Vikus berasal dari keluarga berfam Pareira. Ayahnya dahulu seorang fetor, gelar administratif semacam camat atau lurah yang diangkat oleh Belanda. Mereka yang diangkat sebagai fetor biasanya merupakan raja atau keluarganya. Tugasnya, memimpin beberapa desa di Timor.

Kemudian dia menunjukkan kepada saya selembar kertas tebal berukuran sehalaman surat kabar yang sudut-sudutnya sudah terkoyak. Warnanya serupa susu yang keruh, patron berlambang singanya pun telah memudar. Lembaran usang itu, yang berbahasa Belanda dan Melayu, merupakan piagam penghargaan berangka 1948 yang dianugerahkan dari Pemerintah Belanda kepada Filiardus Pareira, ayah Vikus.

Dia banyak bercerita kepada saya tentang silsilah keluarga dan kecinaannya yang tak tertampakkan. “Kami ini orang Cina Timor, beginilah kami, ada yang putih ada yang hitam. Dulu nenek moyang kami dipanggil Sina Mutin Malaka, orang Cina dari Malaka.”

Saya kadang sulit membedakan keturunan Cina di keluarga Timor karena mereka memiliki tengara raga yang serupa dengan warga setempat. Namun, sebagian dari mereka punya kemiripan dengan orang Cina pada umumnya.

Timor adalah sebuah pulau dengan kondisi geografis yang beraneka ragam, dari tanah kering stepa dan sabana sampai tanah yang subur di pegunungan. Pulau itu berukuran sekitar 32.000 kilometer persegi. Bentuknya seperti buaya yang sedang berenang, yang  dipercaya menjadi kisah legenda bahwa Pulau Timor merupakan penjelmaan seekor buaya.