Titisan Pemburu Wewangian Surgawi

By , Kamis, 22 Januari 2015 | 11:55 WIB

Menjelang sore di Atambua, Belu, Nusa Tenggara Timur, udara panas sisa siang tadi masih terasa membakar. Saya memutuskan bertandang ke sebuah rumah tradisi Timor yang berhawa sejuk, meskipun atapnya terbuat dari seng dan genteng. Dindingnya separuh tembok bata. Separuh lagi dari bebak, kayu pohon lontar, yang dicat seputih kapur. Rumah itu tampak bersahaja, hanya berhias kalender dan lukisan Perawan Suci Maria.

“Masuk, ayo masuk, lalu coba ini sirih pinang,” ujar seorang lelaki dari ruangan dalam. “Ini cara orang Belu menyambut tamu kehormatan dan sahabat.”

Dia adalah Vikus Pareira, usianya sekitar 70-an dan salah seorang bangsawan Timor yang berdarah Cina. Kendati keturunan Cina, dia tampak berkulit gelap dan berambut keriting. Matanya pun belok.

Kemudian Vikus mengambil kotak sirih dan mengulurkan daun sirih kepada saya.

Saya tertawa seraya menyambutnya. Dia memberi contoh cara merampai kapur sirih. Satu per satu diambilnya dari kotak sirih: pinang dibubuhkan sedikit kapur dan gambir, lantas disatukan dalam lipatan daun sirih.

Saya pun mengikutinya.

!break!

Perlahan saya memamahnya laksana me­ngunyah permen karet. Ludah yang bercampur cairan merah itu memang tidak pernah ditelan karena memabukkan. Rasanya getir, pahit, dan berangsur aneh di lidah saya. Bertahan tak sampai satu menit, saya memutuskan untuk memindahkan rampaian sirih pinang dari mulut saya ke kotak pembuangan yang terbuat dari anyaman rumput.

“Itu adat Belu,” ujarnya. “Nona akan terbiasa.”

Vikus berasal dari keluarga berfam Pareira. Ayahnya dahulu seorang fetor, gelar administratif semacam camat atau lurah yang diangkat oleh Belanda. Mereka yang diangkat sebagai fetor biasanya merupakan raja atau keluarganya. Tugasnya, memimpin beberapa desa di Timor.

Kemudian dia menunjukkan kepada saya selembar kertas tebal berukuran sehalaman surat kabar yang sudut-sudutnya sudah terkoyak. Warnanya serupa susu yang keruh, patron berlambang singanya pun telah memudar. Lembaran usang itu, yang berbahasa Belanda dan Melayu, merupakan piagam penghargaan berangka 1948 yang dianugerahkan dari Pemerintah Belanda kepada Filiardus Pareira, ayah Vikus.

Dia banyak bercerita kepada saya tentang silsilah keluarga dan kecinaannya yang tak tertampakkan. “Kami ini orang Cina Timor, beginilah kami, ada yang putih ada yang hitam. Dulu nenek moyang kami dipanggil Sina Mutin Malaka, orang Cina dari Malaka.”

Saya kadang sulit membedakan keturunan Cina di keluarga Timor karena mereka memiliki tengara raga yang serupa dengan warga setempat. Namun, sebagian dari mereka punya kemiripan dengan orang Cina pada umumnya.

Timor adalah sebuah pulau dengan kondisi geografis yang beraneka ragam, dari tanah kering stepa dan sabana sampai tanah yang subur di pegunungan. Pulau itu berukuran sekitar 32.000 kilometer persegi. Bentuknya seperti buaya yang sedang berenang, yang  dipercaya menjadi kisah legenda bahwa Pulau Timor merupakan penjelmaan seekor buaya.

Di sinilah hamparan kebudayaan satu darah dan satu tradisi harus terpisah oleh batas yang ditentukan oleh Belanda dan Portugis pada 1661. Pada kenyataannya, pulau ini menyimpan kisah me­ngenai keberadaan etnik Cina di Nusantara.

!break!

Vikus masih keturunan Raja Bitin Berek Halitaek yang pernah bertakhta di wilayah Kerajaan Jenilu. Leluhurnya berkuasa atas kawasan seluas Atambua dan Atapupu. Inilah sepenggal tapak jejak sejarah dan kehidupan di Kabupaten Belu.

“Belu itu artinya sahabat, teman saudara. Memang di sini tempatnya semua orang berbagai bangsa bersahabat,” ujar Valens Pareira, seorang keponakan Vikus, yang menyambut kedatangan saya. “Cocok sudah kamu datang ke Belu.”

Sedikit berbeda dengan pamannya, Valens berperawakan tinggi dengan kulit putih mewakili leluhur yang berasal dari Cina. Namun, keduanya sama-sama memiliki mata lebar.

Saya bertanya-tanya, apakah sebutan “Tionghoa Timor” bisa menggantikan “Cina Timor” yang telah lazim digunakan di sini?

“Tionghoa itu kan istilah orang Cina di Jawa yang keturunan Hokkian,” sahut Valens. “Kami orang Cina Timor berbeda dengan mereka. Kami keturunan Kongfus kata nenek, kami keturunan pedagang dari Macau.”

Sebutan Tionghoa baru saja masuk ke Timor, yang dibawa orang-orang Jawa, demikian hemat Valens. Itu pun lebih sering digunakan dalam acara pemerintahan.

Anna Tiwu, istri Valens yang keturunan Cina, menambahkan, “Kami di sini keturunan Loro Bauho, penguasa Kerajaan Fehalaran.”

Sebagai orang Timor, keluar­ganya tidak berbeda dengan keturunan raja lainnya. Anna mengungkapkan bahwa sepanjang sejarah Timor tidak pernah ada masalah dalam penggunaan sebutan Cina. “Biarkan kami di sini tetap menggunakan kata Cina. Tidak pernah ada luka di sini, semua hidup bersahabat.”

Suami istri itu menduduki jabatan dalam pemerintah. Valens menjabat kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah di Atambua, Nusa Tenggara Timur. Sementara Anna merupakan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di kota yang sama.

Lalu, saya menanyakan alasan kedatangan kakek moyangnya dari daratan Cina. Mereka berdua kompak menjawab, “Cendana!”

Kayu dengan wangi surgawi itu disebut ‘candana’ dalam bahasa Sansekerta, ‘sandal’ dalam bahasa Arab, ‘sandalo’ dalam bahasa Portugis. Cendana merupakan jenis kayu mewangi yang menjadi barang berharga dan diburu para saudagar Cina berabad silam. Di Timor, cendana dikenal dengan nama ‘aikamanil’ atau ‘han meni’.

***

!break!

Romantisme cendana dikenal sejak masa awal globalisasi. Tome Pires, seorang apoteker dari bangsawan di Lisbon, Portugal, mencatat kisah perjalanannya ke Nusantara dalam Suma Oriental (1512-1515). “Tuhan telah menciptakan Timor sebagai surga cendana,” demikian tulisnya, “Maluku sebagai tempat tumbuhnya cengkih dan Banda sebagai surganya pala.”

Tampaknya, catatan itu menunjukkan alasan para pedagang Eropa datang ke Nusantara pada abad ke-16. Namun, jauh sebelum bangsa Eropa merambahi negeri kepulauan ini, para pedagang Cina telah lebih dulu membuat jalur perdagangan cendana yang tak sepopuler jalur sutra dan jalur rempah-rempah.

Jalur cendana selalu menjadi rahasia di antara pedagang Cina di Macau. Kini, saatnya kita membuka serpihan kisah jalur cendana dan menguak makna di balik sebutan lain Pulau Timor, yakni Nusa Cendana. Sebutan itu muncul pada masa awal globalisasi, suatu zaman ketika bangsa Timor mula-mula melakukan interaksi dengan orang asing.

 Beberapa sumber tua yang menceritakan aktivitas perdagangan cendana di Timor adalah sebuah naskah catatan perjalanan yang ditulis oleh Wang Da Yuan, berjudul Daoyi Chi Lue pada 1330.

Wang menyebutkan bahwa di wilayah Pulau Timor (Gu Li Ti Men) tidak tumbuh pohon lainnya selain cendana, yang dikenal dalam bahasa Cina sebagai ‘tan’ atau ‘chandan’. Naskah dari Wang juga menyebutkan dua belas pelabuhan besar; tiga di antaranya merupakan pelabuhan besar tujuan para pedagang Cina pada masa Dinasti Yuan: Di Li (Dili), Mei Luo (Belu), dan Gu Bang (Kupang).

Mahuan, seorang ahli tafsir bahasa dalam armada Cheng He, menulis kisah perjalanan muhibahnya ke Nusantara pada 1416 yang berjudul Yingyai Shenglan. Mahuan bercerita tentang cendana di Timor dan menyebut pulau itu sebagai Gu Li.

Sumber terakhir di era yang sama adalah Xing Cha Sheng Lan karya Fei Xin yang ditulis pada 1436. Mahuan dan Feixin adalah tentara yang turut dalam ekspedisi Cheng He pada masa Dinasti Ming ke Asia Tenggara, Asia Selatan, Timur Tengah, dan Afrika pada 1405-1433.

Para pelancong Cina itu juga memerikan gambaran orang Timor dan pertukaran cendana dengan keramik, perhiasan, senjata, dan besi. Pasokan cendana terbilang langka, harganya pun fantastis.

Sejatinya, posisi Timor sebagai penghasil cendana terbaik telah disebut dalam sumber terlawas berjudul Zhufan Zhi pada 1225. Naskah itu ditulis oleh Chau Ju Kua, seorang pengawas perdagangan Cina di Macau. Mereka telah berjejak di Timor jauh sebelum kedatangan orang-orang Portugis.

Pemerian tentang Timor dan cendana juga muncul dalam catatan pedagang dan para misionaris Portugis yang datang belakangan.

!break!

Masifnya perdagangan cendana merupakan salah satu sebab raja-raja Timor memperluas daerah kekuasaannya untuk menguasai hutan-hutan cendana. Kayu beraroma harum itu menjadi komoditas penting di India dan Cina untuk aneka kegiatan religius, yakni untuk wewangian berbentuk dupa, serbuk, dan hio. Kayu ini digunakan juga sebagai bahan campuran kosmetik, aroma terapi, serta obat.

Para pedagang cendana dari Cina ke Timor paling sedikit datang dua kali dalam satu tahun. Kapal-kapal jung pernah membuang sauh di dua belas pelabuhan Pulau Timor. Salah satu yang terbesar adalah Pelabuhan Atapapena. Tempat berlabuh kapal-kapal jung dari Cina itu dikenal juga dengan sebutan Namon Sukaer, yang artinya Pelabuhan Pohon Asam.

Pohon-pohon asam yang tumbuh di sekitar pelabuhan itu mungkin hasil ceceran dagangan yang dibawa juragan Cina atau Jawa pada masa Majapahit. Kini, segerombol pohon asam masih bisa dijumpai di bekas pelabuhan itu.

Nama Pelabuhan Atapapena  berubah menjadi Namon Malai atau Pelabuhan Malayu, sekarang bernama Atapupu. Nama Namon Sukaer kini dikenal sebagai Sukaer Laran. Kawasan ini pun merupakan bekas pelabuhan ramai yang diakui dunia karena nama Atafuffus, sebutan orang Portugis untuk Atapupu, dapat ditemukan dalam peta dunia karya kartografer Diego Ribero pada 1539.

Atapupu adalah sebuah kota pelabuhan kecil di perbatasan antara Indonesia dan Timor-Leste. Nadi kehidupan di kota kecil itu berdenyut lamban. Perkampungan pesisir ini hanya diramaikan aktivitas nelayan, perdagangan ikan skala kecil. Saban hari, seruas marga provinsi diramaikan lalu-lalang mobil biro perjalanan antarkota dan berbagai truk yang mengangkut kebutuhan pokok ke Timor-Leste.

!break!

Selain sebagai pusat perdagangan cendana, pelabuhan Atapupu juga menjadi pusat penjualan budak. Konon, nama Atapupu berasal dari kata ata yang berarti ‘budak’, dan pupu yang berarti ‘lebam’. Secara harfiah: budak yang dipukuli hingga lebam kulitnya.

Daerah pesisir itu tercatat sebagai per­kampungan Cina yang ramai, seperti yang dikabarkan oleh Pater Kraaiijvanger dalam suratnya kepada Gubernur Jenderal Jan Jacob Rochussen pada 1 Agustus 1883.

“Sekarang kami sudah dua bulan hidup sebagai warga Atapupu. Rumah kami berada di antara perkampungan orang-orang Cina,” tulis Kraaiijvanger. “Orang Cina di sini jumlahnya mencapai 300 orang. Rupanya mereka senang dengan kedatangan kami. Terutama ada seorang kapiten Cina yang selalu memberi bantuan, makanan, dan daging untuk kami. Orang Cina sudah lama masuk ke Atapupu.”

Sambil menunggu angin yang membawa kapal-kapal berlayar kembali ke Malaka, para pedagang Cina menetap sementara di Atapupu. Dari Atapupu, orang Cina menyebar ke seluruh tanah Timor. Tujuan mereka adalah pasar Maubara dan pasar Kutubaba—kini menjadi bagian dari Timor-Leste—untuk mencari pasokan cendana.

Sayangnya, pohon cendana itu tumbuh subur tanpa usaha budi daya sementara perburuan untuk perdagangan kian berkecamuk. Akibatnya, lalu lintas perdagangan kayu ini pun mulai surut pada akhir abad ke-18. Belanda yang mencoba menguasai perdagangan cendana justru rugi besar pada 1752. Namun, orang Cina masih menancapkan gigi-geliginya dalam Jalur Cendana untuk keperluan perdagangan komoditas lain sampai akhir abad ke-19.

 ***

!break!

Gigi Petrus Kim Novak berona merah. Saya berjumpa dengan Kim yang juga keturunan Raja Bitin Berek Halitaek, dan berkerabat jauh dengan Vikus dan Valens. Perawakannya tinggi besar, sedikit tambun. Di wajah Kim, saya masih melihat bekas garis-garis ketampanan di masa mudanya dengan semburat raut Portugis.

Kim merupakan mantan kepala desa Atapupu. Ia banyak bercerita kepada saya tentang kakek moyang yang berada di tingkat keenam silsilah keluarganya. Dia seorang keturunan Cina Macau yang datang untuk berdagang dan menikah dengan putri raja Manlea di Nimponi.

“Menurut cerita tetua adat, kakek moyang kami turun di Sukaer Laran,” ungkap Kim. “Lalu kakek moyang kawin dengan putri raja Manlea.”

Para pedagang Cina pernah berjalan ke pedalaman dan pegunungan Atambua, Lahurus, Weluli, Besikama, Kefa, Soe, dan penjuru Timor untuk mencari cendana. Mereka punya strategi jitu dengan menikahi putri-putri raja Timor lewat sistem kawin masuk, sebutan setempat adalah ‘naik rumah’ atau ‘saenona’. Setelah itu mereka mendapat jaminan keamanan bisnis. Namun demikian, posisi para lelaki Cina di dalam keluarga kerajaan ini juga dimanfaatkan oleh penguasa setempat untuk menjadi juru bicara ketika menghadapi perundingan Portugis atau Belanda.

“Saya yang keturunan ketujuh ini tidak ada bekas Cinanya. Tetapi, setiap hari berdoa buat Bunda Maria dan Tuhan Yesus sambil membakar heong dan nyalakan lilin merah. Itu barang umum di sini,” kata Kim sambil memperlihatkan altar persembahannya.

Saya menyaksikan meja dengan altar tinggi, dengan patung Perawan Suci Maria dan salib. Di depan altar diletakkan gelas yang digunakan sebagai tempat untuk menancapkan hio. Ada pula tempat lilin perunggu yang berisi lilin merah yang telah meleleh.

Masyarakat Cina Timor sebagian besar telah berkeyakinan Katolik dan Kristen, mereka menyebutnya ‘serani tua’ dan ‘serani muda’. Sebagian kecil saja dari mereka yang menganut Islam dan keyakinan lainnya.

Kim bahkan memperlihatkan benda-benda berharga peninggalan kakek dan neneknya yang juga kawin-mawin dengan orang Cina yang baru datang pada abad ke-18.

Salah satu benda yang Kim tunjukkan kepada saya adalah bandul kalung keemasan dengan motif mandala khas Buddhisme Tibet.

“Ini kalung dengan bandul motif khas kerajaan Jenilu. Dibuat ulang pada masa kakek saya. Saya tidak pernah tahu ini motif apa, turun-temurun saja,” jelas Kim.

!break!

Saya sempat berprasangka, mungkin saja perhiasan bermotif mandala yang masuk dari Cina ditukar dengan cendana. Lantaran disukai raja dan keluarganya, jadilah motif pakem perhiasan Timor.

Kim juga menunjukkan kain adat yang didominasi warna merah. Dia mengatakan bahwa warna merah merupakan warna khas kain tenun di daerah Nimponi. Tenunannya dikerjakan para putri bangsawan yang juga masih keturunan Cina. Saya menduga, warna merah dalam kain tenun tersebut juga merupakan pengaruh yang dibawa oleh para pedagang Cina.

“Saya yakin, seluruh kerajaan di Timor ini ada darah Cinanya. Di mana-mana, di Los Palos, Dili, Kutubaba, Maliana, Weluli, Kefa, Soe, Amarasi, Betun, Besikama, Kupang. Menyebar sudah,” ujar Kim sambil memperlihatkan giginya yang memerah akibat mengunyah sirih pinang. “Tapi, kami ini ya orang Timor, Cina Timor. Ikut adat Timor, anak nona menikah pakai belis [mahar] puluhan sapi atau gading, pakai nama Timor.”

Sederet nama seperti Sally, Samara, Koliatin, Bitin Berek, Taolin, Puai, Halitaek, Pareira, Tiwu, Taolin, merupakan nama yang identik dengan keturunan Cina Timor. Mereka adalah nama keluarga bangsawan yang pernah memerintah di Timor.

Tak semata-mata nama bangsawan Timor, nama Portugis pun diambil menjadi nama belakang keluarga keturunan Cina. Nama belakang seperti Da Silva, Pareira, Da Costa merupakan nama Portugis yang digunakan oleh para bangsawan di Flores dan Timor, setelah mereka dibaptis oleh para paderi Katolik yang datang dari Portugis.

Saya berjumpa dengan Alowisya Ikis, seorang seorang gadis aristokrat keturunan penguasa Lamaknen. Dia merupakan generasi kelima dari Lai Kui Fa, seorang pedagang asal Cina yang singgah dan menetap di Timor. Leluhurnya menikah dengan Bei Bui Rai, putri Raja Maudemu dari Weluli, sebuah desa sakral di pinggang Gunung Lakaan, Atambua.

“Kakek datang untuk berdagang cendana. Ia menikah dengan nenek Bei Bui Rai. Sekarang keturunan keluarga Lay menyebar sampai ke Kupang dan Dili. Kakek saya seorang fetor, pejabat zaman Belanda, Kaka,” ujar Alowisya.

!break!

Setelah upacara pernikahan dalam sistem saenona, para lelaki Cina pun menanggalkan marganya. Bahkan, anak-anaknya kelak akan menggunakan nama keluarga ibunya. Nama Cina boleh diberikan sebagai alias dan dianggap tidak sah. Demikianlah nasib lelaki dari daratan Cina yang menikah dengan para putri raja yang menganut sistem kekerabatan matrilineal. Tak ada putra yang meneruskan marga, tak ada putra yang memimpin upacara pemujaan leluhur kala dia wafat.

Kendati Alowisya berdarah Cina, dia mengaku tidak memiliki nama Cina seperti umumnya orang-orang Tionghoa di kawasan Nusantara lainnya. “Keluarga kami di sini matrilineal, yang pegang belis kawin itu perempuan semua. Nanti sebelum pernikahan kami sembahyang bakar hio di makam kakek moyang!” ujarnya dengan lantang.

Alowisya mengajak saya ke pegunungan sejuk, berkendara sekitar dua jam dari Atambua. Kami menyaksikan lembah rumput dengan kuda liar dan sapi yang tengah menyenggut. Di rumah sukunya yang berada di Dirun, Lamaknen, dia berkata, “Bahkan, rumah suku kami pun hanya perempuan yang boleh tinggal di situ, harta nenek moyang dijaga oleh perempuan.”

 ***

Semarak Tahun Baru Imlek telah tiba. Saya kembali berkunjung ke rumah keluarga Kim, dan merayakan pergantian tahun dalam kalender Cina bersama mereka. Kim berkisah kepada saya, “Menjelang tahun baru kami biasanya mempersiapkan diri. Perempuan me­masak makanan dan kue-kue. Laki-laki mem­bersihkan rumah dan mengeluarkan barang-barang pusaka peninggalan nenek moyang.”

Siang hari, Kim memotong babi untuk perjamuan malam harinya. Mulai pukul tujuh malam, dia dan keluarganya menyiapkan meja kecil di halaman rumah. Mereka meletakkan hidangan babi panggang di atas meja.

Lantas, beberapa kerabatnya menyiapkan sopi, semacam arak khas Timor, dalam lima gelas kecil sebagai lambang lima jari tangan dan kaki yang menopang kehidupan. Angka lima juga kerap melambangkan lima unsur alam dalam tradisi Cina—tanah, kayu, logam, api, dan air. Mereka pun membuat kue tradisional lima macam, tersaji dalam lima piring.

Tepat tengah malam, saya menyaksikan keluarga Kim bersalin dengan busana kain adat, lengkap dengan perhiasan. Mereka menuangkan arak dalam gelas kecil dan menyiramkannya ke tanah sambil mengucap syukur.

“Kami bakar hio pertama untuk Tuhan Allah, hio kedua untuk para leluhur kami, hio ketiga untuk makhluk hidup dan alam,” ujar Kim. “Selesai berdoa, kami makan babi panggang dengan minum arak. Hanya seperti itu. Tidak pernah ada perayaan besar lainnya.”

!break!

Namun, Cina Timor tidak ada merayakan Cap Gomeh—hari kelima belas Imlek. Kebanyakan dari mereka cukup menggunakan momen tahun baru Imlek untuk berkumpul bersama keluarga.

Tak banyak nama Cina atau bangunan klenteng seperti layaknya di Jawa. Tidak ada klenteng tua yang bertahan di Timor. Hanya ada dua buah rumah ibadah yang tertinggal: Klenteng Kemakmuran dengan arsitektur Eropa yang berdiri pada 1936 di Dili, Timor-Leste, dan Rumah Abu Keluarga Lay yang dibangun sejak 1865 di Kupang, Indonesia.

 ***

Babak terpenting dari interaksi Timor de­ngan dunia luar—pedagang asing dan misiona­ris—adalah perspektif budaya yang menciptakan daya adaptasi tinggi masyarakatnya.

Kuda dan kerbau dibawa oleh pedagang Hindu Jawa; pedagang Portugis membawa jagung dan kentang; pedagang Belanda membawa kopi, ketela, dan hewan ternak lainnya. Kemudian, pedagang Cina memperkenalkan bibit tanaman buah, sayur, kepandaian bercocok tanam, kemahiran membuat furnitur, kecakapan membuat perhiasan, kepiawaian menenun dan pewarnaan, serta budaya makan sirih pinang.

Valens Pareira pernah berkata dengan tegas, “Orang Cina Timor dan orang Timor disatukan oleh budaya: budaya Timor. Nenek moyang kami berinteraksi dengan perkawinan. Kami Cina Timor adalah orang Timor itu sendiri. Kami pun menyambut tamu dan sahabat dengan sirih pinang.”

“Ini sangat menarik: posisi dalam politik,” ungkap Valens. Separuh anggota DPRD Kabupaten Belu, demikian ungkapnya, adalah orang Cina Timor, baik yang terlihat berkulit putih dan bermata sipit, maupun yang berkulit hitam dan bermata lebar.

Menurutnya, jika keturunan Cina di Indonesia bisa meninggalkan trauma sejarah mereka, dia yakin semakin banyak dari mereka yang akan berpartisipasi dalam kehidupan politik dan budaya. Reformasi telah berjalan belasan tahun, “tetapi stigma dan stereotip untuk orang Cina masih dipolitisasi,” ungkapnya. “Setelah kami [orang Cina] mengambil sikap [nasionalis], tetap saja tuduhan [tidak nasionalis] datang kemudian.”

Diskriminasi terjadi karena sejarah, sementara banyak di antara kita tidak tahu banyak tentang sejarah. Belanda-lah, demikian ungkap Valens, sebagai pihak yang telah meminggirkan keturunan Cina yang tinggal di Indonesia.

Perjalanan saya mengumpulkan mozaik dan serabut kisah orang Cina Timor mungkin baru saja bermula. Namun satu ihwal yang pasti: Mereka kembali mulai menanam cendana. Saya pun menanti ungkapan tentang cendana dalam naskah kuno Cina dan Portugis muncul dan semerbak mewangi kembali. Akankah keinginan ini terlampiaskan? Sulit untuk menjawabnya saat ini.

Sambil menikmati udara sejuk di bukit sekitar rumah adat keluarganya di Atambua, Valens menawarkan jagung rebus kepada saya. Jagung merupakan makanan pokok orang Timor, mudah ditanam dan sudah pasti bergizi, yang kelak menjadi sumber kekuatan ekonomi di pulau ini selain sapi ternak.

“Masa kejayaan cendana mungkin sudah tiada, namun buah berwarna keemasan ini dan tradisi budaya Timor akan menjadi masa depan kami,” ujarnya sembari membidikkan kameranya ke bentang alam perairan Atapupu, tempat leluhurnya pertama kali berjejak. “Keberlangsungan budaya juga harus didukung oleh kekuatan pangan!”

---

Ini adalah kisah pertama Agni Malagina, sinolog dan dosen Program Studi Cina di Universitas Indonesia, untuk majalah ini. Feri Latief banyak memotret tentang kehidupan manusia dan budaya.