Titisan Pemburu Wewangian Surgawi

By , Kamis, 22 Januari 2015 | 11:55 WIB

Para pedagang cendana dari Cina ke Timor paling sedikit datang dua kali dalam satu tahun. Kapal-kapal jung pernah membuang sauh di dua belas pelabuhan Pulau Timor. Salah satu yang terbesar adalah Pelabuhan Atapapena. Tempat berlabuh kapal-kapal jung dari Cina itu dikenal juga dengan sebutan Namon Sukaer, yang artinya Pelabuhan Pohon Asam.

Pohon-pohon asam yang tumbuh di sekitar pelabuhan itu mungkin hasil ceceran dagangan yang dibawa juragan Cina atau Jawa pada masa Majapahit. Kini, segerombol pohon asam masih bisa dijumpai di bekas pelabuhan itu.

Nama Pelabuhan Atapapena  berubah menjadi Namon Malai atau Pelabuhan Malayu, sekarang bernama Atapupu. Nama Namon Sukaer kini dikenal sebagai Sukaer Laran. Kawasan ini pun merupakan bekas pelabuhan ramai yang diakui dunia karena nama Atafuffus, sebutan orang Portugis untuk Atapupu, dapat ditemukan dalam peta dunia karya kartografer Diego Ribero pada 1539.

Atapupu adalah sebuah kota pelabuhan kecil di perbatasan antara Indonesia dan Timor-Leste. Nadi kehidupan di kota kecil itu berdenyut lamban. Perkampungan pesisir ini hanya diramaikan aktivitas nelayan, perdagangan ikan skala kecil. Saban hari, seruas marga provinsi diramaikan lalu-lalang mobil biro perjalanan antarkota dan berbagai truk yang mengangkut kebutuhan pokok ke Timor-Leste.

!break!

Selain sebagai pusat perdagangan cendana, pelabuhan Atapupu juga menjadi pusat penjualan budak. Konon, nama Atapupu berasal dari kata ata yang berarti ‘budak’, dan pupu yang berarti ‘lebam’. Secara harfiah: budak yang dipukuli hingga lebam kulitnya.

Daerah pesisir itu tercatat sebagai per­kampungan Cina yang ramai, seperti yang dikabarkan oleh Pater Kraaiijvanger dalam suratnya kepada Gubernur Jenderal Jan Jacob Rochussen pada 1 Agustus 1883.

“Sekarang kami sudah dua bulan hidup sebagai warga Atapupu. Rumah kami berada di antara perkampungan orang-orang Cina,” tulis Kraaiijvanger. “Orang Cina di sini jumlahnya mencapai 300 orang. Rupanya mereka senang dengan kedatangan kami. Terutama ada seorang kapiten Cina yang selalu memberi bantuan, makanan, dan daging untuk kami. Orang Cina sudah lama masuk ke Atapupu.”

Sambil menunggu angin yang membawa kapal-kapal berlayar kembali ke Malaka, para pedagang Cina menetap sementara di Atapupu. Dari Atapupu, orang Cina menyebar ke seluruh tanah Timor. Tujuan mereka adalah pasar Maubara dan pasar Kutubaba—kini menjadi bagian dari Timor-Leste—untuk mencari pasokan cendana.

Sayangnya, pohon cendana itu tumbuh subur tanpa usaha budi daya sementara perburuan untuk perdagangan kian berkecamuk. Akibatnya, lalu lintas perdagangan kayu ini pun mulai surut pada akhir abad ke-18. Belanda yang mencoba menguasai perdagangan cendana justru rugi besar pada 1752. Namun, orang Cina masih menancapkan gigi-geliginya dalam Jalur Cendana untuk keperluan perdagangan komoditas lain sampai akhir abad ke-19.

 ***

!break!

Gigi Petrus Kim Novak berona merah. Saya berjumpa dengan Kim yang juga keturunan Raja Bitin Berek Halitaek, dan berkerabat jauh dengan Vikus dan Valens. Perawakannya tinggi besar, sedikit tambun. Di wajah Kim, saya masih melihat bekas garis-garis ketampanan di masa mudanya dengan semburat raut Portugis.

Kim merupakan mantan kepala desa Atapupu. Ia banyak bercerita kepada saya tentang kakek moyang yang berada di tingkat keenam silsilah keluarganya. Dia seorang keturunan Cina Macau yang datang untuk berdagang dan menikah dengan putri raja Manlea di Nimponi.