Titisan Pemburu Wewangian Surgawi

By , Kamis, 22 Januari 2015 | 11:55 WIB

Di sinilah hamparan kebudayaan satu darah dan satu tradisi harus terpisah oleh batas yang ditentukan oleh Belanda dan Portugis pada 1661. Pada kenyataannya, pulau ini menyimpan kisah me­ngenai keberadaan etnik Cina di Nusantara.

!break!

Vikus masih keturunan Raja Bitin Berek Halitaek yang pernah bertakhta di wilayah Kerajaan Jenilu. Leluhurnya berkuasa atas kawasan seluas Atambua dan Atapupu. Inilah sepenggal tapak jejak sejarah dan kehidupan di Kabupaten Belu.

“Belu itu artinya sahabat, teman saudara. Memang di sini tempatnya semua orang berbagai bangsa bersahabat,” ujar Valens Pareira, seorang keponakan Vikus, yang menyambut kedatangan saya. “Cocok sudah kamu datang ke Belu.”

Sedikit berbeda dengan pamannya, Valens berperawakan tinggi dengan kulit putih mewakili leluhur yang berasal dari Cina. Namun, keduanya sama-sama memiliki mata lebar.

Saya bertanya-tanya, apakah sebutan “Tionghoa Timor” bisa menggantikan “Cina Timor” yang telah lazim digunakan di sini?

“Tionghoa itu kan istilah orang Cina di Jawa yang keturunan Hokkian,” sahut Valens. “Kami orang Cina Timor berbeda dengan mereka. Kami keturunan Kongfus kata nenek, kami keturunan pedagang dari Macau.”

Sebutan Tionghoa baru saja masuk ke Timor, yang dibawa orang-orang Jawa, demikian hemat Valens. Itu pun lebih sering digunakan dalam acara pemerintahan.

Anna Tiwu, istri Valens yang keturunan Cina, menambahkan, “Kami di sini keturunan Loro Bauho, penguasa Kerajaan Fehalaran.”

Sebagai orang Timor, keluar­ganya tidak berbeda dengan keturunan raja lainnya. Anna mengungkapkan bahwa sepanjang sejarah Timor tidak pernah ada masalah dalam penggunaan sebutan Cina. “Biarkan kami di sini tetap menggunakan kata Cina. Tidak pernah ada luka di sini, semua hidup bersahabat.”

Suami istri itu menduduki jabatan dalam pemerintah. Valens menjabat kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah di Atambua, Nusa Tenggara Timur. Sementara Anna merupakan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di kota yang sama.

Lalu, saya menanyakan alasan kedatangan kakek moyangnya dari daratan Cina. Mereka berdua kompak menjawab, “Cendana!”

Kayu dengan wangi surgawi itu disebut ‘candana’ dalam bahasa Sansekerta, ‘sandal’ dalam bahasa Arab, ‘sandalo’ dalam bahasa Portugis. Cendana merupakan jenis kayu mewangi yang menjadi barang berharga dan diburu para saudagar Cina berabad silam. Di Timor, cendana dikenal dengan nama ‘aikamanil’ atau ‘han meni’.