Titisan Pemburu Wewangian Surgawi

By , Kamis, 22 Januari 2015 | 11:55 WIB

“Menurut cerita tetua adat, kakek moyang kami turun di Sukaer Laran,” ungkap Kim. “Lalu kakek moyang kawin dengan putri raja Manlea.”

Para pedagang Cina pernah berjalan ke pedalaman dan pegunungan Atambua, Lahurus, Weluli, Besikama, Kefa, Soe, dan penjuru Timor untuk mencari cendana. Mereka punya strategi jitu dengan menikahi putri-putri raja Timor lewat sistem kawin masuk, sebutan setempat adalah ‘naik rumah’ atau ‘saenona’. Setelah itu mereka mendapat jaminan keamanan bisnis. Namun demikian, posisi para lelaki Cina di dalam keluarga kerajaan ini juga dimanfaatkan oleh penguasa setempat untuk menjadi juru bicara ketika menghadapi perundingan Portugis atau Belanda.

“Saya yang keturunan ketujuh ini tidak ada bekas Cinanya. Tetapi, setiap hari berdoa buat Bunda Maria dan Tuhan Yesus sambil membakar heong dan nyalakan lilin merah. Itu barang umum di sini,” kata Kim sambil memperlihatkan altar persembahannya.

Saya menyaksikan meja dengan altar tinggi, dengan patung Perawan Suci Maria dan salib. Di depan altar diletakkan gelas yang digunakan sebagai tempat untuk menancapkan hio. Ada pula tempat lilin perunggu yang berisi lilin merah yang telah meleleh.

Masyarakat Cina Timor sebagian besar telah berkeyakinan Katolik dan Kristen, mereka menyebutnya ‘serani tua’ dan ‘serani muda’. Sebagian kecil saja dari mereka yang menganut Islam dan keyakinan lainnya.

Kim bahkan memperlihatkan benda-benda berharga peninggalan kakek dan neneknya yang juga kawin-mawin dengan orang Cina yang baru datang pada abad ke-18.

Salah satu benda yang Kim tunjukkan kepada saya adalah bandul kalung keemasan dengan motif mandala khas Buddhisme Tibet.

“Ini kalung dengan bandul motif khas kerajaan Jenilu. Dibuat ulang pada masa kakek saya. Saya tidak pernah tahu ini motif apa, turun-temurun saja,” jelas Kim.

!break!

Saya sempat berprasangka, mungkin saja perhiasan bermotif mandala yang masuk dari Cina ditukar dengan cendana. Lantaran disukai raja dan keluarganya, jadilah motif pakem perhiasan Timor.

Kim juga menunjukkan kain adat yang didominasi warna merah. Dia mengatakan bahwa warna merah merupakan warna khas kain tenun di daerah Nimponi. Tenunannya dikerjakan para putri bangsawan yang juga masih keturunan Cina. Saya menduga, warna merah dalam kain tenun tersebut juga merupakan pengaruh yang dibawa oleh para pedagang Cina.

“Saya yakin, seluruh kerajaan di Timor ini ada darah Cinanya. Di mana-mana, di Los Palos, Dili, Kutubaba, Maliana, Weluli, Kefa, Soe, Amarasi, Betun, Besikama, Kupang. Menyebar sudah,” ujar Kim sambil memperlihatkan giginya yang memerah akibat mengunyah sirih pinang. “Tapi, kami ini ya orang Timor, Cina Timor. Ikut adat Timor, anak nona menikah pakai belis [mahar] puluhan sapi atau gading, pakai nama Timor.”

Sederet nama seperti Sally, Samara, Koliatin, Bitin Berek, Taolin, Puai, Halitaek, Pareira, Tiwu, Taolin, merupakan nama yang identik dengan keturunan Cina Timor. Mereka adalah nama keluarga bangsawan yang pernah memerintah di Timor.