Batu Bara di Tengah Gejolak India

By , Selasa, 24 Maret 2015 | 10:59 WIB

Pria bersenjata di tepi hutan itu hidup dan mati dengan nama berbeda. Ada yang mengenalnya sebagai Prashant, ada yang mengenalnya sebagai Paramjeet. Kadang dia menyebut dirinya Gopalji, bertukar alias dengan pemimpin pemberontak lain untuk mem­bingungkan pemerintah India.

Ketika saya bertemu dengannya, dia me­nyebut dirinya dengan nama lain lagi. “Kamerad Manas,” katanya melangkah keluar dari bayang­an pohon kenari besar dengan senapan mesin di tangan, perawakannya agak ramping.

Saat itu, hari sudah semakin sore dan matahari hampir kembali ke peraduannya. Siluet belasan lelaki bersenjata lainnya meng­intai dari hamparan sawah hijau di dekat kami, waspada dan menunggu.Manas dan anak buah­nya sedang dalam perjalanan dan tidak punya banyak waktu untuk mengobrol.

Di India, mereka dikenal dengan kata Naxalite: pemberontak Maois di pusat konflik internal bangsa yang terlama. Perang puluhan tahun gerombolan ini menelan lebih banyak korban di India diban­ding­kan konflik Kashmir, digambarkan mantan perdana menteri Manmohan Singh sebagai “ancaman keamanan internal terbesar” India.

Dalam serentetan kekerasan 24 jam sebelum pertemuan kami, Manas, yang baru berusia 27 tahun, bersama anak buahnya, menewaskan enam polisi dan melukai delapan polisi lain dalam penyergapan di seberang perbukitan. Kini kami bertemu di markas mereka.

!break!

Serangan itu berhasil mengembalikan kelompok Naxalite menjadi berita di halaman depan sejumlah koran India. Pasukan keamanan pun bergerak cepat menghadapi serangan tersebut.Patroli dan helikopter mengitari daerah, menyapu sejumlah desa dan menyelidik ke dalam hutan.

Kelompok Naxalite seharusnya sudah lama menjadi catatan sejarah, alih-alih giat bertempur dan membunuh atas nama Mao, pemimpin komunis Tiongkok yang sudah lama berpulang. Namun, perang mereka men­dapatkan angin segar akibat munculnya tuntutan pembangunan dan ekonomi global, saat eksploitasi mineral dan hak tanah menjadi katalis pemberontakan yang bangkit dari kubur.

Dalam skenario ini, kebutuhan energi dan keperluan industri bahan baku di India mengaitkan para pembunuh ganas di dalam hutan dengan batu bara dan baja. Produksi listrik meleburkan Naxalite ke dalam masyarakat yang paling dirugikan di negara tersebut—suku Adivasi, penduduk asli India. Pemberontakan Naxalite—yang dipicu oleh intimidasi, pemerasan, dan kekerasan—bukanlah anomali dari masa lalu, melainkan lambang konflik yang akan terjadi di masa depan. Perang ini membenturkan perkembangan dengan tradisi, di sejumlah negara bagian India yang paling kaya oleh mineral.

Memang, Manas yang kini sudah menjadi “komandan zona” kelompok Naxalite meskipun usianya masih muda, tampak yakin bahwa kesenjangan sosial di kalangan masyarakat miskin akhirnya akan memastikan kemenangan bagi perjuangannya.

!break!

“Harimau dewasa akan menua dan akhirnya mati,” ujarnya meyakinkan saya. Matanya memancarkan kilatan kaum radikal, “sama seperti pemerintah yang akan kami gulingkan yang kini sudah tua, membusuk, dan siap mati. Revolusi kami masih muda dan akan tumbuh besar. Inilah hukum alam. Dalam pertempuran antara politikus dan komunitas baru oleh rakyat, rakyatlah yang pasti menang.”

Dia menyelinap kembali ke dalam bayang-bayang bersama anak buahnya.

Kali berikutnya saya melihat wajahnya, Manas sudah tewas. Matanya menatap saya dari foto di kuil pinggir jalan di desa miskin tempatnya dilahirkan. Masyarakat setempat bercerita, dia tewas dalam baku tembak tak lama setelah pertemuan kami. Setelah membaca batu nisannya, barulah saya tahu identitas sejati pemberontak bernama banyak itu: Lalesh.

 !break!