Batu Bara di Tengah Gejolak India

By , Selasa, 24 Maret 2015 | 10:59 WIB

Perang Naxalite selalu dimulai di ujung jalanan beraspal. Semua setuju. Polisi, pejabat politik, paramiliter, suku Adivasi, petani lokal paling miskin, dan Naxalite: Itulah satu-satunya hal yang mereka semua sepakati bersama.

Selalu ada sebuah titik di dalam hutan yang terletak di jalur Koridor Merah India yang terkenal—terutama di negara bagian Chhattisgarh dan Jharkhand—di situ jalan aspal akhirnya kalah oleh tekanan pepohonan dan tumbuhan lain. Di situ terdapat kantor polisi yang masih bertahan, dijaga ketat, menandai jangkauan terjauh pemerintah pusat dan negara bagian. Kemudian, semuanya berhenti di situ.

Apakah yang dapat kita temukan di balik ujung jalan aspal? Kita masuk ke dunia lain, wajah India yang tidak berkembang, wilayah kelompok Naxalite: tanah tidak bertuan, komunisme, pengadil­an rakyat, kader bersenjata, dan bom rakitan.

Kelompok Naxalite mengambil namanya dari Naxalbari, sebuah desa di Bengal Barat. Pada Mei 1967, di situ berlangsung pemberontakan gagal kaum petani miskin melawan pemilik tanah, dan seorang inspektur polisi tewas ditembus hujan panah. Pertumpahan darah itu mengawali lahirnya gerakan terpecah-pecah, terinspirasi oleh revolusi agraria ala kaum Maois.Sejak itu, militan Maois dikenal sebagai kelompok Naxalite.

Markas mereka adalah hutan Dandakaranya seluas 92.200 kilometer persegi, yang jika diterjemahkan dari bahasa Sanskrit berarti Hutan Hukuman. Membentang hingga beberapa negara bagian, termasuk Chhattisgarh dan Andhra Pradesh, Dandakaranya ibarat benteng bagi kelompok Naxalite: Abujmarh, hutan di dalam hutan, salah satu wilayah terakhir India yang belum tersentuh pemerintah.

Kematian terjadi melalui banyak cara di dalam hutan.Kelompok Naxalite membunuh polisi dan paramiliter dengan bom rakitan dan penyergapan di tapi jalan. Polisi membunuh anggota Naxalite dalam sejumlah “pertemuan”, istilah setempat yang maksudnya baku tembak dan pembunuhan yang ditargetkan. Orang yang diduga sebagai informan pemerintah akan diadili di pengadilan rakyat dan dibunuh dengan kapak atau pisau, menyebabkan lonjakan angka pembunuhan yang tak tecermin dalam perhitungan resmi korban konflik. Lebih dari 12.000 orang tewas dalam dua dasawarsa.

!break!

Pengikut Maois pertama, gerombolan radikal komunis kelas menengah dari negara bagian Andhra Pradesh, tiba di Abujmarh pada 1989, menyelamatkan diri dari tindakan keras pemerintah setempat. Gerakan tersebut mungkin pada saat itu telah mati sama sekali. Namun, Abujmarh terbukti bagaikan obat mujarab bagi pendukung revolusi Maois.Di sini, di jantung hutan, mereka menemukan pengikut baru alami dari suku Adivasi.

Istilah Adivasi berarti ‘asli’ atau ‘pemukim asli’ dalam bahasa Sanskerta dan suku Adivasi secara resmi digolongkan sebagai anggota Scheduled Tribe, ditetapkan oleh Konstitusi India sebagai kelompok masyarakat adat yang mendapatkan pengakuan menurut undang-undang nasional. Jumlahnya sekitar 84 juta—6,8 persen populasi India—dan paling banyak ada di dalam dan sekitar hutan Dandakaranya.

Kita terlalu menyederhanakan masalah jika menyatakan gerakan kelompok Naxalite hanya didukung suku Adivasi.Kader organisasi ini tidak hanya mencakup Scheduled Tribe di India, tetapi juga siswa golongan menengah, serta Dalit—kaum tak tersentuh dari kasta terendah—dan sejumlah besar gerilyawan dari masyarakat miskin di negara tersebut.

Tidak berpendidikan dan lemah, suku Adivasi di Abujmarh terbukti menjadi tuan rumah alami untuk buronan yang mencari perlindungan, dan, setelah bertahun-tahun terpapar ideologi Maois, banyak di antaranya yang direkrut oleh kelompok Naxalite.

Tak mengherankan bahwa di negara yang hampir 180 juta warganya hidup dengan pendapatan kurang dari sekitar Rp25.000 per hari—dan saat biaya pesta minum di kalangan elite perkotaan di sebuah bar Delhi bisa beberapa kali lipat upah bulanan petani—komunisme militan berkembang subur di daerah yang terabaikan, di luar jangkauan otoritas setempat itu.

!break!

Namun, hal yang menyebabkan pem­berontakan Naxalite begitu ironis dan ber­dampak besar pada masa depan negara itu adalah karena pusatnya berada di jantung wilayah kaya mineral di India. Ini adalah warisan alam yang begitu penting bagi strategi Perdana Menteri Narendra Modi untuk membangkitkan ekonomi India yang sekarat, dan menyediakan listrik bagi sepertiga rumah tangga di negara itu—sekitar 300 juta orang—yang masih hidup dalam kegelapan.