Pria bersenjata di tepi hutan itu hidup dan mati dengan nama berbeda. Ada yang mengenalnya sebagai Prashant, ada yang mengenalnya sebagai Paramjeet. Kadang dia menyebut dirinya Gopalji, bertukar alias dengan pemimpin pemberontak lain untuk membingungkan pemerintah India.
Ketika saya bertemu dengannya, dia menyebut dirinya dengan nama lain lagi. “Kamerad Manas,” katanya melangkah keluar dari bayangan pohon kenari besar dengan senapan mesin di tangan, perawakannya agak ramping.
Saat itu, hari sudah semakin sore dan matahari hampir kembali ke peraduannya. Siluet belasan lelaki bersenjata lainnya mengintai dari hamparan sawah hijau di dekat kami, waspada dan menunggu.Manas dan anak buahnya sedang dalam perjalanan dan tidak punya banyak waktu untuk mengobrol.
Di India, mereka dikenal dengan kata Naxalite: pemberontak Maois di pusat konflik internal bangsa yang terlama. Perang puluhan tahun gerombolan ini menelan lebih banyak korban di India dibandingkan konflik Kashmir, digambarkan mantan perdana menteri Manmohan Singh sebagai “ancaman keamanan internal terbesar” India.
Dalam serentetan kekerasan 24 jam sebelum pertemuan kami, Manas, yang baru berusia 27 tahun, bersama anak buahnya, menewaskan enam polisi dan melukai delapan polisi lain dalam penyergapan di seberang perbukitan. Kini kami bertemu di markas mereka.
Serangan itu berhasil mengembalikan kelompok Naxalite menjadi berita di halaman depan sejumlah koran India. Pasukan keamanan pun bergerak cepat menghadapi serangan tersebut.Patroli dan helikopter mengitari daerah, menyapu sejumlah desa dan menyelidik ke dalam hutan.
Kelompok Naxalite seharusnya sudah lama menjadi catatan sejarah, alih-alih giat bertempur dan membunuh atas nama Mao, pemimpin komunis Tiongkok yang sudah lama berpulang. Namun, perang mereka mendapatkan angin segar akibat munculnya tuntutan pembangunan dan ekonomi global, saat eksploitasi mineral dan hak tanah menjadi katalis pemberontakan yang bangkit dari kubur.
Dalam skenario ini, kebutuhan energi dan keperluan industri bahan baku di India mengaitkan para pembunuh ganas di dalam hutan dengan batu bara dan baja. Produksi listrik meleburkan Naxalite ke dalam masyarakat yang paling dirugikan di negara tersebut—suku Adivasi, penduduk asli India. Pemberontakan Naxalite—yang dipicu oleh intimidasi, pemerasan, dan kekerasan—bukanlah anomali dari masa lalu, melainkan lambang konflik yang akan terjadi di masa depan. Perang ini membenturkan perkembangan dengan tradisi, di sejumlah negara bagian India yang paling kaya oleh mineral.
Memang, Manas yang kini sudah menjadi “komandan zona” kelompok Naxalite meskipun usianya masih muda, tampak yakin bahwa kesenjangan sosial di kalangan masyarakat miskin akhirnya akan memastikan kemenangan bagi perjuangannya.
!break!“Harimau dewasa akan menua dan akhirnya mati,” ujarnya meyakinkan saya. Matanya memancarkan kilatan kaum radikal, “sama seperti pemerintah yang akan kami gulingkan yang kini sudah tua, membusuk, dan siap mati. Revolusi kami masih muda dan akan tumbuh besar. Inilah hukum alam. Dalam pertempuran antara politikus dan komunitas baru oleh rakyat, rakyatlah yang pasti menang.”
Dia menyelinap kembali ke dalam bayang-bayang bersama anak buahnya.
Kali berikutnya saya melihat wajahnya, Manas sudah tewas. Matanya menatap saya dari foto di kuil pinggir jalan di desa miskin tempatnya dilahirkan. Masyarakat setempat bercerita, dia tewas dalam baku tembak tak lama setelah pertemuan kami. Setelah membaca batu nisannya, barulah saya tahu identitas sejati pemberontak bernama banyak itu: Lalesh.
!break!
Perang Naxalite selalu dimulai di ujung jalanan beraspal. Semua setuju. Polisi, pejabat politik, paramiliter, suku Adivasi, petani lokal paling miskin, dan Naxalite: Itulah satu-satunya hal yang mereka semua sepakati bersama.
Selalu ada sebuah titik di dalam hutan yang terletak di jalur Koridor Merah India yang terkenal—terutama di negara bagian Chhattisgarh dan Jharkhand—di situ jalan aspal akhirnya kalah oleh tekanan pepohonan dan tumbuhan lain. Di situ terdapat kantor polisi yang masih bertahan, dijaga ketat, menandai jangkauan terjauh pemerintah pusat dan negara bagian. Kemudian, semuanya berhenti di situ.
Apakah yang dapat kita temukan di balik ujung jalan aspal? Kita masuk ke dunia lain, wajah India yang tidak berkembang, wilayah kelompok Naxalite: tanah tidak bertuan, komunisme, pengadilan rakyat, kader bersenjata, dan bom rakitan.
Kelompok Naxalite mengambil namanya dari Naxalbari, sebuah desa di Bengal Barat. Pada Mei 1967, di situ berlangsung pemberontakan gagal kaum petani miskin melawan pemilik tanah, dan seorang inspektur polisi tewas ditembus hujan panah. Pertumpahan darah itu mengawali lahirnya gerakan terpecah-pecah, terinspirasi oleh revolusi agraria ala kaum Maois.Sejak itu, militan Maois dikenal sebagai kelompok Naxalite.
Markas mereka adalah hutan Dandakaranya seluas 92.200 kilometer persegi, yang jika diterjemahkan dari bahasa Sanskrit berarti Hutan Hukuman. Membentang hingga beberapa negara bagian, termasuk Chhattisgarh dan Andhra Pradesh, Dandakaranya ibarat benteng bagi kelompok Naxalite: Abujmarh, hutan di dalam hutan, salah satu wilayah terakhir India yang belum tersentuh pemerintah.
Kematian terjadi melalui banyak cara di dalam hutan.Kelompok Naxalite membunuh polisi dan paramiliter dengan bom rakitan dan penyergapan di tapi jalan. Polisi membunuh anggota Naxalite dalam sejumlah “pertemuan”, istilah setempat yang maksudnya baku tembak dan pembunuhan yang ditargetkan. Orang yang diduga sebagai informan pemerintah akan diadili di pengadilan rakyat dan dibunuh dengan kapak atau pisau, menyebabkan lonjakan angka pembunuhan yang tak tecermin dalam perhitungan resmi korban konflik. Lebih dari 12.000 orang tewas dalam dua dasawarsa.
!break!Pengikut Maois pertama, gerombolan radikal komunis kelas menengah dari negara bagian Andhra Pradesh, tiba di Abujmarh pada 1989, menyelamatkan diri dari tindakan keras pemerintah setempat. Gerakan tersebut mungkin pada saat itu telah mati sama sekali. Namun, Abujmarh terbukti bagaikan obat mujarab bagi pendukung revolusi Maois.Di sini, di jantung hutan, mereka menemukan pengikut baru alami dari suku Adivasi.
Istilah Adivasi berarti ‘asli’ atau ‘pemukim asli’ dalam bahasa Sanskerta dan suku Adivasi secara resmi digolongkan sebagai anggota Scheduled Tribe, ditetapkan oleh Konstitusi India sebagai kelompok masyarakat adat yang mendapatkan pengakuan menurut undang-undang nasional. Jumlahnya sekitar 84 juta—6,8 persen populasi India—dan paling banyak ada di dalam dan sekitar hutan Dandakaranya.
Kita terlalu menyederhanakan masalah jika menyatakan gerakan kelompok Naxalite hanya didukung suku Adivasi.Kader organisasi ini tidak hanya mencakup Scheduled Tribe di India, tetapi juga siswa golongan menengah, serta Dalit—kaum tak tersentuh dari kasta terendah—dan sejumlah besar gerilyawan dari masyarakat miskin di negara tersebut.
Tidak berpendidikan dan lemah, suku Adivasi di Abujmarh terbukti menjadi tuan rumah alami untuk buronan yang mencari perlindungan, dan, setelah bertahun-tahun terpapar ideologi Maois, banyak di antaranya yang direkrut oleh kelompok Naxalite.
Tak mengherankan bahwa di negara yang hampir 180 juta warganya hidup dengan pendapatan kurang dari sekitar Rp25.000 per hari—dan saat biaya pesta minum di kalangan elite perkotaan di sebuah bar Delhi bisa beberapa kali lipat upah bulanan petani—komunisme militan berkembang subur di daerah yang terabaikan, di luar jangkauan otoritas setempat itu.
!break!Namun, hal yang menyebabkan pemberontakan Naxalite begitu ironis dan berdampak besar pada masa depan negara itu adalah karena pusatnya berada di jantung wilayah kaya mineral di India. Ini adalah warisan alam yang begitu penting bagi strategi Perdana Menteri Narendra Modi untuk membangkitkan ekonomi India yang sekarat, dan menyediakan listrik bagi sepertiga rumah tangga di negara itu—sekitar 300 juta orang—yang masih hidup dalam kegelapan.
Bukan kebetulan bahwa medan perang yang paling sengit berada di Jharkhand dan Chhattisgarh. Kedua negara bagian itu adalah negara bagian paling kaya mineral, memiliki lebih dari 40 persen cadangan batu bara India. Peti harta karun di bawah tanah ini juga mencakup cadangan bijih besi, batu kapur, dolomit, dan bauksit senilai triliunan dolar. Batu bara menjadi bahan bakar pembangkit listrik yang menerangi kota-kota besar India. Baja digunakan untuk mendirikan bangunan modern, kompleks teknologi canggih, kendaraan, dan proyek rekayasa.
Meskipun demikian, kedua negara bagian ini memiliki rekor kekerasan Naxalite terburuk dan tingkat kemiskinan terparah di India.Pada 2010, analisis multidimensional tentang kemiskinan menyatakan, jumlah warga miskin di delapan negara bagian di India, termasuk Jharkhand dan Chhattisgarh, lebih besar daripada gabungan 26 negara termiskin Afrika.
Alih-alih mempersempit jurang ketimpangan antara warga kaya dan miskin, kekayaan mineral malah memperparah kesenjangan tersebut. Muncul masalah lain berupa polusi, kekerasan, dan pemindahan paksa masyarakat yang harus berjuang keras menjalani kehidupan terkungkung di negara bagian itu. Lembah Karanpura di Jharkhand utara mencerminkan situasi tersebut.Dahulu, daerah tersebut terkenal dengan habitat harimau dan merupakan rute migrasi gajah. Sekarang, dipenuhi lubang kawah batu bara. Awalnya ladang batu bara dipetakan pada 1800-an, lalu hak penambangannya didapatkan oleh Central Coalfields Limited (CCL), anak perusahaan lokal Coal India Limited (CIL) milik negara, pada pertengahan 1980-an.
!break!Selama puluhan tahun, CCL menawarkan beraneka kompensasi kepada penduduk setempat—pekerjaan, uang, permukiman, perumahan alternatif—sebagai imbalan atas tanah dan kepergian mereka dari kampung halaman.Banyak yang menerima pembayaran itu, menyerahkan tanah mereka, dan pergi. Sementara bagi yang lain, iming-iming uang tak begitu menarik. Sejumlah besar bertahan saat rumah yang diselimuti debu mulai hancur dan retak akibat ledakan dinamit tambang.
Kelompok Naxalite sudah lama terbentuk di daerah itu, didorong perasaan tak puas dan diabaikan. Sebulan sebelum kunjungan pertama saya ke sana, sekelompok besar Maois bersenjata lengkap menyerang tambang Ashoka di lembah itu, membakar truk dan jip perusahaan sebelum berhasil diusir dalam baku tembak dengan polisi setempat.
“Tanah kami adalah segalanya” ujar aktivis muda lokal di desa Henjda, saat ledakan dinamit lain membahana di udara. “Tujuh puluh lima persen warga desa kami menolak menyerahkan tanah mereka ke CCL. Mereka menawarkan uang sebagai kompensasi. Mereka menawarkan pekerjaan di ladang batu bara: satu pekerjaan untuk setiap 0,8 hektare tanah. Namun, tak satu pun dari tawaran itu cukup.Uang bisa habis.Pekerjaan bisa berakhir.Selain itu, beberapa keluarga terdiri atas sembilan orang, hidupnya tergantung pada lahan pertanian empat hektare. Jadi, kami tak mau pindah.”
Seperti di daerah tambang batu bara di sejumlah pedesaan lainnya, masyarakat setempat terbagi antara yang ingin mempertahankan rumahnya dan menolak penambangan, dan mereka yang bekerja sebagai agen tanah mewakili CCL, yang bertugas membujuk masyarakat untuk menjual tanah mereka. Kelompok Maois mudah mengeksploitasi situasi ini.Perkelahian sering terjadi antara kedua golongan masyarakat dan grafiti di dinding retak memperkeruh keadaan.
“Agen CCL, silakan ambil tanah kami, tukar dengan kepalamu,” itulah salah satu ancaman yang terbaca. Ketika saya kembali ke Jharkhand dua tahun kemudian dan menanyakan kabar aktivis muda yang pernah saya kenal, saya mendapatkan informasi bahwa dia telah meninggalkan aktivitasnya, lelah oleh ancaman pembunuhan dan gangguan polisi. Teman-temannya mengatakan dia sudah punya pekerjaan baru—di CCL.
!break!
Saat saya meneruskan perjalanan melintasi Chhattisgarh dan Jharkhand, satu hal menjadi jelas: Pertambangan dan eksploitasi mineral menumbuhkan rasa benci suku Adivasi dan masyarakat pedesaan yang miskin, membuat mereka sadar, mereka adalah orang miskin di tanah yang kaya. Namun, kelompok Naxalite tak melakukan apa pun untuk menentang eksploitasi mineral. Mereka memanfaatkannya.
Kamerad Manas mengatakan bahwa sebagian besar unit pejuang Maois, saat mendengar adanya survei mineral, tak berniat menyerang dan mengusir perusahaan tambang untuk membela hak atas tanah setempat, tetapi malah mengajukan pertanyaan sederhana: “Berapa banyak pajak yang akan dibayarkan kepada kami?”
Seperti pemberontakan di mana pun, mereka butuh dana, dan potensi pajak atas pertambangan—selain jasa perlindungan, suap, dan akses ke bahan peledak industrial—jauh lebih besar daripada pajak tahunan yang dipungut kelompok Maois dari daun tendu (digunakan sejak abad ke-17 untuk membuat rokok) atau beras. Ketika ada penyerangan ke tambang, sering kali penyebabnya hanyalah karena pemiliknya tak membayar uang perlindungan atau tak memberikan sebagian keuntungannya kepada kelompok Naxalite.
“Di banyak bagian di India saat ini, Maoisme tidak ditopang oleh ideologi, tetapi didorong oleh upeti,” ujar Jairam Ramesh, Menteri India untuk urusan pedesaan, sebelum pemerintah dari partai Kongres Nasional (INC) jatuh ke Bharatiya Janata Party (BJP) pimpinan Modi pada pemilu 2014. Ramesh sangat peduli pada simbiosis antara kelompok Naxalite dan industri pertambangan sehingga dia secara terbuka menuntut moratorium atas semua penambangan di wilayah yang paling terpengaruh oleh gerilyawan.
!break!“Di mana ada pertambangan, di situ ada Maoisme, karena di mana ada pertambangan, di situ ada penghasilan lebih besar, dan di mana ada lebih banyak penghasilan, di situ pemerasan meningkat,” tambahnya. “Beberapa tokoh terkenal industri India menjalankan bisnis di daerah Maois dengan membayar kepada mereka. Saya tak ingin menyebut nama, tetapi mereka pebisnis terbesar industri India.”
Saya diizinkan melihat sekilas operasi secara langsung pada suatu hari di bulan Oktober di Jharkhand.Serangkaian komunikasi bersandi menuntun saya bertemu dengan orang tak dikenal di pasar pedesaan. Dia memandu saya ke titik pertemuan dengan komandan Naxalite, alias Kamerad Ranjit, yang selain menjalankan banyak tugas, juga bertugas mengawasi pabrik kokas yang dikendalikan pemberontak.
Pabrik itu ada di lapangan terbuka di samping hutan, beberapa kilometer dari pembangkit listrik tenaga uap Jharkhand di Bokaro.
Operasi kokas berikutnya yang ditunjukkannya kepada saya sepenuhnya dijalankan secara profesional, dan oleh Naxalite. Pabrik itu dibangun tanpa izin dan mengandalkan batu bara lokal yang ditambang secara ilegal oleh warga desa setempat. Naxalite melindungi lokasi itu dan mendapatkan uang.Polisi juga memperoleh bagian keuntungan, kata Kamerad Ranjit.Dia mengklaim bahwa Naxalite membayar seratus ribu rupee (sekitar Rp25 juta) per bulan kepada sejumlah pejabat agar tak mengganggu lokasi.Dia juga menjelaskan sistem suap sederhana yang melibatkan pejabat korup yang mendapatkan sejumlah uang untuk mengeluarkan dokumen yang mengesahkan setiap truk Naxalite yang mengangkut 23 metrik ton kokas. Naxalite memperoleh uang setara dengan Rp12,5 juta per hari dari pungutan operasional.
!break!“Kami bukan musuh perusahaan pertambangan,” kata Kamerad Ranjit sambil tersenyum, bingung melihat kerutan di kening saya. “Tambang bisa menjadi teman kami.”
Kalikan angka Rp12,5 juta per hari dengan ribuan pabrik kokas dan tambang batu bara ilegal di dalam wilayah Naxalite. Selain itu, ada lagi yang dibayarkan perusahaan tambang berskala besar kepada kelompok Maois ini setiap tahun untuk jasa perlindungan—jumlah yang digambarkan secara konservatif oleh Jairam Ramesh bernilai “jutaan dolar.” Jika jumlah itu digabungkan dengan cadangan mineral yang telah ditemukan, maraknya industri global, ketidakpuasan sosial, dan perpecahan dalam masyarakat berkembang yang disebabkan oleh keuntungan batu bara yang didistribusikan secara tidak adil, kelompok Naxalite tak lagi terlihat seperti artefak ideologi. Mereka lebih terlihat seperti gerombolan pemberontak kompleks yang pendanaannya bagus.Mereka lebih terlihat seperti fenomena global di masa sekarang, alih-alih pejuang Maois masa lalu.
Jika hutan memberikan perlindungan, dan kekayaan mineral menghasilkan dana bagi Naxalite, maka pembebasan lahan dan pengusiran warga secara paksalah yang menyediakan anggota baru sekaligus ujung tombak pemerintah terhadap pemberontakan.
Sejak menjadi undang-undang pada 1894, UU Pembebasan Lahan—undang-undang kolonial kuno yang dibuat dengan tujuan memungkinkan pemerintah merebut tanah untuk kepentingan umum—telah menjadi sumber perdebatan sengit di seluruh India. Undang-undang ini menyebabkan terusirnya jutaan orang dari rumah mereka untuk pertambangan dan pembangkit listrik tenaga air, proyek jalan raya, dan kereta api. Pada saat undang-undang itu dirombak pada 2014 untuk menyertakan klausul perbaikan dan rehabilitasi yang sesuai bagi orang-orang yang telah direbut tanahnya, kerusakan sudah telanjur terjadi. Pada tahun-tahun awal sejak kemerdekaan India saja, UU hak ganti rugi ini telah digunakan untuk mengusir sekitar 60 juta orang India, termasuk sekitar 24 juta suku Adivasi dari kampung halaman mereka.
!break!Penderitaan itu khususnya sangat parah bagi suku Adivasi, banyak di antaranya belum memperoleh permukiman yang layak. Mengingat bahwa 90 persen batu bara di India, lebih dari 50 persen cadangan mineral, dan sebagian besar lokasi bendungan pembangkit listrik tenaga air yang paling cocok berada di daerah suku Adivasi, pembebasan lahan telah menjadi inti perdebatan antara memenuhi kebutuhan masyarakat pemburu-pengumpul tradisional dan persyaratan untuk membangun ekonomi industri yang pesat.
Tetapi, kini, bahkan undang-undang baru 2014 pun menemui tantangan. Awalnya dirancang oleh Ramesh dan disahkan oleh pemerintahan INC yang baru saja digantikan, UU ini menghadirkan tolok ukur kompensasi dan pemukiman kembali para pengungsi, bermaksud untuk meredam amarah mereka dan melemahkan pengaruh Naxalite. Namun, di bawah tekanan kepentingan industri dan pertambangan, pemerintah BJP pimpinan Modi sudah merencanakan untuk merevisi UU itu, dan hak tanah tampaknya akan tetap menjadi sumber kemarahan dan sengketa.
!break!
Sebesar apa pun kekuatan yang mampu mereka peroleh dari ketidakpuasan sosial, tidak ada keraguan tentang teror yang dapat ditimbulkan Naxalite. Kebrutalan perang mereka terungkap pada suatu pagi musim semi di Chhattisgarh. Saya berjalan jauh ke daerah selatan hingga mendekati kota Bijapur, menindaklanjuti laporan polisi tentang serangan kelompok Maois di desa Adivasi. Saat berhenti di Kutru, desa di kaki bukit Abujmarh, saya menatap hutan hingga terpaku pada titik di jalanan aspal, yang kini menjadi jalan tanah.
Pemandangan itu mungkin tampak indah, tetapi hanya sedikit orang dewasa Adivasi di hutan yang menikmati makanan sehat, dan kekurangan gizi merebak pada anak-anak.Anemia dan TBC umum ditemui. Di daerah lebih terpencil, kematian merenggut tiga dari lima bayi. Hampir setiap statistik tentang suku Adivasi menempatkan mereka di dasar skala sosial penduduk India.Potensi manfaat pembangunan dan pemerataan kekayaan mineral seharusnya bisa memperbaiki kualitas hidup suku itu—kalau saja pembangunan tak salah urus seperti yang terjadi selama ini.
Jika kita mengesampingkan ketidaksetaraan, bahkan pengabaian suku Adivasi oleh negara, tampak jelas bahwa sebagian besar tak ingin terus menjalani kehidupan pemburu-pengumpul tradisional, kehidupan buta aksara, tanpa sekolah, listrik, dan jalan. Naxalite tak menawarkan alternatif lebih baik, hanya gagasan perlindungan dan ideologi kuno.
Kemudian, dari salah satu pondok desa beratap rendah pada satu sisi ujung jalan, tangisan wanita menguak keheningan.Suku Adivasi yang saya temui amat angkuh dan tegar.Mereka jarang mengungkapkan emosi ekstrem.
Orang desa mengantarkan wanita itu menemui saya. Namanya Sarita. Wajahnya pucat. Dia menatap tanpa ekspresi saat berbicara.Usianya 19 tahun, dari suku Maria.
!break!Dia tiba di Kutru semalam bersama 30 orang lainnya, kebanyakan anggota keluarganya.Mereka tinggal di Kerpe, sebuah desa jauh di dalam hutan, setelah melarikan diri dari kampung halaman.Naxalite muncul dari hutan dan menduduki desa mereka minggu lalu, mengisolasinya dari dunia luar.Ia mengatakan ada lebih dari seratus pejuang, dipimpin wanita bertubuh besar bernama Ranjita.
Kader bersenjata Naxalite biasanya muncul pada April, muncul dari Abujmarh dan bergerak dari desa ke desa di sepanjang pinggiran hutan, meminta upeti dari suku-suku atas penjualan daun tendu.Pada kesempatan ini, kelompok Maois menginginkan sesuatu selain upeti.Kerabat Sarita melakukan kesalahan fatal. Sebagai keluarga berpendidikan, tiga bulan sebelumnya mereka mengumpulkan tanda tangan dari penduduk setempat sebagai bagian dari petisi kepada otoritas negara, meminta didirikannya kantor polisi di Kerpe. Manfaat yang akan mereka peroleh dari kehadiran kantor polisi di desa adalah jalan beraspal.
Milisi menculik ayah, kakak lelaki, dan sepupu Sarita dari rumah. Lalu, Ranjita dan kadernya memanggil penduduk desa untuk menyaksikan Jan Adalat, versi Pengadilan Rakyat yang dibentuk Mao pada 1950-an sebagai cara petani Cina mengadili tuan tanah.
!break!Mula-mula Ranjita membacakan dakwaan terhadap keluarga Sarita.Berikutnya, ketiga tersangka kolaborator pemerintah, dengan tangan terikat dan mata tertutup, dipukuli dengan pentungan dan kepalan tinju di hadapan kerumunan orang yang membisu. “Dalam sekejap, semuanya selesai,” kata Sarita. “Ranjita berbicara kepada kami untuk terakhir kalinya. Dia mengatakan kepada penduduk desa, siapa pun yang memiliki kerabat di kepolisian atau pemerintah lokal diberi waktu seminggu untuk meninggalkan rumah atau dibunuh.Lalu, dia berjalan menghampiri dan berkata saya bisa menemukan ayah dan saudara saya ‘tidur’ di jalan pulang ke rumah. Kelompok Naxalite memaksa kami menyenandungkan slogan Maois beberapa kali, lalu mereka menghilang.”
Sarita menemukan ayah dan saudaranya di jalan pulang ke rumah.Keduanya tergeletak di samping sepupunya yang juga diculik.Tangan ketiga lelaki itu diikat dan mereka dipukuli sampai mati dengan bagian tumpul kapak.Kelopak mata kakaknya diiris dengan pisau.
Saya meninggalkannya berdiri di dekat hutan di tepi desa.Saat itu, dia telah berhenti menangis. Dia melihat ke sekelilingnya dengan tatapan dingin seorang pengungsi, yang menilai desakan kebutuhan hidup, dan menimbang masa depan di kedua sisi ujung jalan itu.