Batu Bara di Tengah Gejolak India

By , Selasa, 24 Maret 2015 | 10:59 WIB

Sebesar apa pun kekuatan yang mampu mereka peroleh dari ketidakpuasan sosial, tidak ada keraguan tentang teror yang dapat ditimbulkan Naxalite. Kebrutalan perang mereka terungkap pada suatu pagi musim semi di Chhattisgarh. Saya berjalan jauh ke daerah selatan hingga mendekati kota Bijapur, menindaklanjuti laporan polisi tentang serang­an kelompok Maois di desa Adivasi. Saat berhenti di Kutru, desa di kaki bukit Abujmarh, saya menatap hutan hingga terpaku pada titik di jalanan aspal, yang kini menjadi jalan tanah.

Pemandangan itu mungkin tampak indah, tetapi hanya sedikit orang dewasa Adivasi di hutan yang menikmati makanan sehat, dan kekurangan gizi merebak pada anak-anak.Anemia dan TBC umum ditemui. Di daerah lebih terpencil, kematian merenggut tiga dari lima bayi. Hampir setiap statistik tentang suku Adivasi menempatkan mereka di dasar skala sosial penduduk India.Potensi manfaat pembangunan dan pemerataan kekayaan mine­ral seharusnya bisa memperbaiki kualitas hidup suku itu—kalau saja pembangunan tak salah urus seperti yang terjadi selama ini.

Jika kita mengesampingkan ketidaksetaraan, bahkan pengabaian suku Adivasi oleh negara, tampak jelas bahwa sebagian besar tak ingin terus menjalani kehidupan pemburu-pe­ngumpul tradisional, kehidupan buta aksara, tanpa sekolah, listrik, dan jalan. Naxalite tak menawarkan alternatif lebih baik, hanya gagasan perlindungan dan ideologi kuno.

Kemudian, dari salah satu pondok desa beratap rendah pada satu sisi ujung jalan, tangisan wanita menguak keheningan.Suku Adivasi yang saya temui amat angkuh dan tegar.Mereka jarang mengungkapkan emosi ekstrem.

Orang desa mengantarkan wanita itu me­nemui saya. Namanya Sarita. Wajahnya pucat. Dia menatap tanpa ekspresi saat berbicara.Usianya 19 tahun, dari suku Maria.

!break!

Dia tiba di Kutru semalam bersama 30 orang lainnya, kebanyakan anggota keluarganya.Mereka tinggal di Kerpe, sebuah desa jauh di dalam hutan, setelah melarikan diri dari kampung halaman.Naxalite muncul dari hutan dan menduduki desa mereka minggu lalu, meng­isolasinya dari dunia luar.Ia mengatakan ada lebih dari seratus pejuang, dipimpin wanita bertubuh besar bernama Ranjita.

Kader bersenjata Naxalite biasanya muncul pada April, muncul dari Abujmarh dan bergerak dari desa ke desa di sepanjang pinggiran hutan, meminta upeti dari suku-suku atas penjualan daun tendu.Pada kesempatan ini, kelompok Maois menginginkan sesuatu selain upeti.Kerabat Sarita melakukan kesalahan fatal. Sebagai keluarga berpendidikan, tiga bulan sebelumnya mereka mengumpulkan tanda tangan dari penduduk setempat sebagai bagian dari petisi kepada otoritas negara, meminta didirikannya kantor polisi di Kerpe. Manfaat yang akan mereka peroleh dari kehadiran kantor polisi di desa adalah jalan beraspal.

Milisi menculik ayah, kakak lelaki, dan se­pupu Sarita dari rumah. Lalu, Ranjita dan kadernya memanggil penduduk desa untuk menyaksikan Jan Adalat, versi Pengadilan Rakyat yang dibentuk Mao pada 1950-an sebagai cara petani Cina mengadili tuan tanah.

!break!

Mula-mula Ranjita membacakan dakwaan terhadap keluarga Sarita.Berikutnya, ketiga tersangka kolaborator pemerintah, dengan tangan terikat dan mata tertutup, dipukuli dengan pentungan dan kepalan tinju di hadapan kerumunan orang yang membisu. “Dalam sekejap, semuanya selesai,” kata Sarita. “Ranjita berbicara kepada kami untuk terakhir kalinya. Dia mengatakan kepada penduduk desa, siapa pun yang memiliki kerabat di kepolisian atau pemerintah lokal diberi waktu seminggu untuk meninggalkan rumah atau dibunuh.Lalu, dia berjalan menghampiri dan berkata saya bisa menemukan ayah dan saudara saya ‘tidur’ di jalan pulang ke rumah. Kelompok Naxalite memaksa kami menyenandungkan slogan Maois beberapa kali, lalu mereka menghilang.”

Sarita menemukan ayah dan saudaranya di jalan pulang ke rumah.Keduanya tergeletak di samping sepupunya yang juga diculik.Tangan ketiga lelaki itu diikat dan mereka dipukuli sampai mati dengan bagian tumpul kapak.Kelopak mata kakaknya diiris dengan pisau.

Saya meninggalkannya berdiri di dekat hutan di tepi desa.Saat itu, dia telah berhenti menangis. Dia melihat ke sekelilingnya dengan tatapan dingin seorang pengungsi, yang menilai desakan kebutuhan hidup, dan menimbang masa depan di kedua sisi ujung jalan itu.