Kicau Terakhir

By , Senin, 25 April 2016 | 18:00 WIB

Suatu hari di pasar burung di kota turis Mediterania Marsa Matruh, Mesir. saya sedang mengamat-amati kandang yang penuh sesak dengan tekukur dan burung puyuh. Ketika itu salah seorang penjual melihat ketidaksukaan di wajah saya dan berteriak sinis, dalam bahasa Arab: “Kalian orang Amerika merasa bersalah soal burung, sementara kalau mengebom negara orang lain enak-enak saja.”

Saya bisa saja menjawab bahwa kedua hal itu, burung dan bom, sama-sama salah, bahwa satu kesalahan tidak bisa membenarkan kesalahan lainnya. Namun, harus diakui bahwa perkataan pedagang burung itu ada benarnya soal masalah pelestarian alam di dunia yang penuh konflik manusia, hal itu memang tidak bisa mungkir. Dia mencium jari-jemarinya untuk menunjukkan betapa lezat rasa daging burung itu, dan saya terus mengamati semua kandang itu dengan kening berkerut.

Bagi pengunjung, situasi di Mediterania ini sungguh mengerikan: Setiap tahun, ratusan juta burung penyanyi dan burung yang lebih besar dibunuh saat beruaya, demi perut, kantong, ego, dan kesenangan. Pembunuhan ini tidak pandang bulu, dengan dampak besar pada spesies yang sudah terpuruk akibat kerusakan atau fragmentasi habitat berkembang biaknya. Warga Mediterania menembak jenjang, bangau, dan burung pemangsa besar yang menjadi objek proyek konservasi miliaran rupiah pemerintah negara-negara di utara. Di seluruh Eropa populasi burung mengalami penurunan tajam, pembantaian di Mediterania merupakan salah satu penyebabnya.

Yang terparah pemburu dari Italia, baik yang resmi maupun liar, karena hampir sepanjang tahun hutan dan lahan basah di pedesaan Italia penuh dengan suara tembakan dan perangkap burung pengicau. Orang Prancis yang memuja makanan tetap saja menyantap emberisa kepala-hijau ilegal, sementara daftar panjang burung yang boleh diburu di Prancis menyertakan banyak spesies burung pantai yang terancam punah. Perangkap burung masih merupakan hal umum di beberapa wilayah Spanyol; pemburu Malta, karena kurangnya satwa buruan asli, menembaki burung pemangsa yang terbang melintas; orang Siprus menangkapi burung kecici dalam jumlah sangat besar dan menjadikannya santapan sehari-hari, tanpa memedulikan hukum yang melarangnya.

Sebetulnya, di Uni Eropa ada batasan teoretis tentang perburuan burung ruaya. Opini masyarakat di Uni Eropa cenderung mendukung pelestarian, dan banyak kelompok perlindungan alam yang membantu pemerintah menegakkan hukum ini. (Di Sisilia, yang dahulu merupakan tujuan populer untuk berburu burung pemangsa, perburuan hampir dapat dihapuskan, bahkan beberapa mantan pemburu liar malah menjadi pengamat burung.)

Yang situasinya tidak membaik adalah di negara-negara Mediterania yang tidak tergabung dengan Uni Eropa. Bahkan, saat mengunjungi Albania dan Mesir tahun lalu, saya menemukan bahwa keadaannya malah menjadi semakin parah.

!break!

Pada Februari 2012 Eropa Timur mengalami cuaca terdingin dalam 50 tahun terakhir. Angsa yang biasanya melewatkan musim dingin di Lembah Donau terbang ke selatan untuk menyelamatkan diri, dan sekitar 50.000 di antaranya mendarat di dataran Albania dalam keadaan lapar dan lelah. Tidak ada yang selamat untuk dijual ke restoran. Banyak angsa itu yang diberi pengenal oleh para peneliti di utara; seorang pemburu memberi tahu saya bahwa dia pernah melihat gelang pengenal dari Greenland. Meskipun tidak ada orang kelaparan di Albania, pendapatan per kapita negara ini merupakan salah satu yang terendah di Eropa. Kedatangan tidak disangka-sangka kawanan angsa yang laku dijual ini benar-benar rezeki nomplok bagi penduduk desa dan petani setempat.

Jalur migrasi burung yang paling timur di Eropa melewati negara-negara Balkan, sementara di Albania garis pantai Adriatik menghamparkan lahan basah, danau, dan dataran pesisir yang cocok untuk habitat burung. Selama ribuan tahun burung yang terbang ke utara dari Afrika dapat beristirahat dan makan di sini sebelum berjuang melintasi Pegunungan Dinarides untuk menuju tempat berkembang biaknya, lalu singgah lagi di sini pada musim gugur sebelum kembali menyeberangi Laut Tengah.

Selama 40 tahun kediktatoran Marxis Enver Hoxha, totalitarianisme menghancurkan tradisi dan tatanan masyarakat Albania, tetapi tidak berpengaruh buruk bagi populasi burung. Hoxha hanya memberikan hak istimewa memiliki senjata pribadi dan berburu kepada dirinya dan beberapa kroninya yang tepercaya. Segelintir pemburu tidak berdampak besar pada jutaan burung ruaya yang terbang melintas, sementara ketertinggalan ekonomi-sosialis negara itu, beserta penolakan mereka terhadap wisatawan pantai dari luar negeri, memastikan keselamatan kekayaan habitat pesisirnya.

Setelah Hoxha wafat tahun 1985, negara ini mengalami peralihan yang sulit ke ekonomi pasar, termasuk masa nyaris-anarki saat gudang senjata negara itu dibobol dan senjata militer dijarah warga sipil. Bahkan setelah kekuasaan negara dipulihkan, warga Albania tetap mempertahankan senjata mereka, dan dapat dimengerti bahwa masyarakatnya enggan diatur-atur lagi seperti dahulu. Perekonomian mulai tumbuh, dan salah satu cara generasi muda di Tirana mengekspresikan kebebasan dan kemakmuran baru mereka adalah dengan membeli senapan mahal, ribuan jumlahnya, dan menggunakannya untuk melakukan kegiatan yang sebelumnya hanya terbatas untuk kaum elite: menembak burung.

Di Tirana, beberapa minggu setelah puncak musim dingin Februari, saya bertemu dengan seorang wanita muda yang sangat sebal dengan hobi baru suaminya, berburu. Wanita itu berce-rita bahwa dia pernah menyaksikan sang suami berhenti di tepi jalan raya, keluar dari mobil, dan menembaki burung kecil di kabel listrik.

“Saya ingin memahami sudut pandangnya,” kata saya.

“Percuma!” katanya. “Kami sudah sering membahasnya, dan saya tetap saja tidak mengerti.” Namun, dia menghubungi suaminya dengan telepon seluler dan memintanya ikut bergabung bersama kami.