Kicau Terakhir

By , Senin, 25 April 2016 | 18:00 WIB

“Ini hiburan populer, dan saya terpengaruh oleh bujukan teman-teman,” jelas sang pemburu kepada saya dengan agak malu-malu. “Saya bukan pemburu betulan. Akan tetapi, karena baru, dan merasa senang memiliki senjata berizin—senapan bertenaga besar yang benar-benar bagus—dan belum pernah menembak burung sebelumnya, hal itu awalnya terasa menyenangkan. Rasanya seperti musim panas tiba dan kita merasa ingin mencebur ke lautan. Saya biasa berburu sendirian dan berkendara ke perbukitan selama satu jam. Kami tidak memiliki kawasan perlindungan yang dipasangi dengan rambu larangan, jadi saya biasa menembak apa saja yang dilihat. Memang sih rasa senangnya berkurang jika kita terpikir soal satwa yang dibunuh.”

“Bagaimana Anda menyikapinya?” tanya saya.

Pemburu itu mengernyitkan kening. “Saya merasa sangat tidak enak menghadapi situasi ini. Teman-teman saya kini juga menyatakan hal yang sama: ‘Tidak ada burung; kami berjalan selama berjam-jam tanpa melihat seekor burung pun.’ Benar-benar mengkhawatirkan. Saat ini saya senang apabila pemerintah melarang semua perburuan selama dua tahun—jangan, lima tahun—agar populasi burung bisa pulih.”

Akan tetapi, kekuatan politik di Albania sekarang dipegang oleh dua partai politik besar yang hampir seimbang dan kedua belah pihak enggan menerapkan peraturan yang berpotensi tidak populis mengenai masalah yang tidak dianggap penting oleh sebagian besar pemilih.

!break!

Ada seorang pejuang hak burung yang serius di Albania, Taulant Bino. Bino menjabat sebagai wamen di kementerian lingkungan, dan suatu pagi dia mengajak saya ke Taman Nasional Divjaka-Karavasta, kawasan luas dengan habitat lahan basah dan pantai yang luar biasa. Saat itu pertengahan Maret, waktu larangan berburu di seluruh negeri, dan taman nasional itu seharusnya penuh dengan unggas air dan burung perancah yang bermigrasi atau melewatkan musim dingin di sini. Namun, ternyata selain satu kolam yang dijaga nelayan, tidak ada burung sama sekali di taman itu; bahkan itik kalung pun tidak kelihatan congornya.

Saat mengemudi menyusuri pantai, kami segera melihat salah satu sebabnya: Sekelompok pemburu memasang pikat dan menembaki pecuk-padi besar dan biru-laut. Manajer taman nasional yang mengiringi kami mengusir para pemburu itu dengan murka, dan salah seorang pemburu mengeluarkan telepon dan mencoba menghubungi temannya yang menjadi pejabat. “Kamu gila apa?” teriak sang manajer taman kepadanya. “Sadar tidak saya sedang bersama wamen kementerian lingkungan?”

Kementerian Bino, setidaknya di atas kertas, melindungi habitat yang cukup untuk mempertahankan populasi besar burung migran dan yang berkembang biak. “Saat para pelestari lingkungan melihat bahwa perkembangan ekonomi dapat membahayakan keanekaragaman hayati,” Bino menuturkan kepada saya, “mereka berpendapat sebaiknya kawasan lindung diperluas sebelum tempat itu tergilas oleh pembangunan. Akan tetapi, sulit untuk mengendalikan orang-orang yang bersenjata—kami juga perlu dukungan polisi. Tahun 2007 kami menutup satu wilayah di sini, tahu-tahu datang 400 pemburu yang menembaki semuanya. Polisi datang dan menyita beberapa senjata, tapi dua hari kemudian mereka berkata kepada kami, ‘Ini masalah Anda, bukan masalah kami.’”

Malangnya, hukum tidak ditegakkan—fakta yang oleh para pemburu Italia, yang dibatasi oleh peraturan Uni Eropa di negaranya, dengan cepat diketahui dan dieksploitasi setelah wafatnya Hoxha. Selama seminggu saya di Albania, tidak ada kawasan lindung yang saya kunjungi yang tidak ada pemburu Italianya, meskipun musim berburu telah berakhir, bahkan hingga di luar kawasan lindung. Semua pemburu Italia itu menggunakan peralatan pemutar suara-burung berkualitas-tinggi ilegal dan menembak sepuas hati semua jenis burung yang mereka inginkan.

Pada kunjungan kedua ke Karavasta, tanpa ditemani Bino, saya melihat dua orang berbaju loreng naik ke perahu dengan membawa senjata, jelas mereka bergegas berangkat sebelum saya dapat berbicara dengan mereka. Asisten mereka yang orang Albania dan tinggal di pantai memberi tahu saya bahwa kedua orang itu asli Albania, tetapi saat saya memanggil mereka, mereka balas berteriak dalam bahasa Italia.

“Baiklah, mereka orang Italia,” aku sang asisten sementara perahu melaju menjauhi kami. “Dokter ahli jantung dari Bari, membawa peralatan lengkap. Kemarin mereka berburu di sini dari subuh sampai tengah malam.”

“Apakah mereka tahu musim berburu sudah habis?” saya bertanya.

“Mereka orang pintar.”