“Bagaimana cara mereka masuk ke taman nasional ini?”
“Gerbangnya terbuka.”
“Siapa yang dibayar? Penjaga?”
“Bukan penjaga. Lebih tinggi.”
“Manajer taman nasional?”
Sang asisten mengangkat bahu.
Albania pernah dikuasai oleh Italia, dan banyak orang Albania yang masih memandang Italia sebagai teladan kecanggihan dan kemodernan. Selain kerugian langsung yang sangat besar yang ditimbulkan wisatawan pemburu Italia di Albania, mereka juga membawa kebiasaan menembak tanpa pandang bulu serta metode berburu yang baru—khususnya penggunaan alat pemutar suara-burung yang sangat efektif memikat burung. Kecanggihan baru ini, dipadu dengan sekitar 100.000 pucuk senapan (di negara berpenduduk tiga juta), serta berbagai senjata lain, mengubah Albania menjadi lubang hitam bagi margasatwa migran Eropa timur: Jutaan burung datang kemari dan sangat sedikit yang dapat lolos hidup-hidup.
Burung yang pintar atau beruntung menghindari negara ini. Di sebuah pantai di Velipoja saya melihat kawanan besar itik alis-putih terbang bolak-balik kebingungan jauh di lepas pantai, menambah kelelahannya setelah melintasi Laut Adriatik. Hewan ini bingung karena perjalanannya menuju lahan basah tempat burung ini biasa singgah terhalang oleh para pemburu setempat yang bercokol di tempat-tempat persembunyian strategis di pantai. Martin Schneider-Jacoby, spesialis burung yang bekerja untuk organisasi Jerman EuroNatur sampai meninggal musim panas lalu, menjelaskan kepada saya bagaimana kawanan burung jenjang saat mendekati Albania dari laut terpecah menjadi dua kelompok berdasarkan umur. Burung dewasa terus terbang di ketinggian, sementara burung muda yang belum berpengalaman, saat melihat habitat menarik di bawah, merendah sampai disambut suara tembakan lalu naik lagi dan mengikuti burung dewasa. “Hewan ini datang dari Sahara,” kata Schneider-Jacoby, “dan harus melintasi gunung setinggi 2.000 meter. Perlu istirahat. Mungkin energinya masih cukup untuk melintasi pegunungan, tetapi jadi tidak dapat berkembang biak dengan baik.”
Di seberang perbatasan Albania, di Montenegro, Schneider-Jacoby menunjukkan kawasan ladang garam yang luas di kota Ulcinj. Baru-baru ini, pemburu Montenegro menghabisi semua burung di kawasan padak ini sebagaimana halnya kawasan “lindung” Albania. Untungnya, ada organisasi nirlaba yang menggaji seorang jagawana untuk melaporkan pemburu liar kepada polisi. Hasilnya sangat dramatis: hamparan burung sejauh mata memandang, ribuan burung perancah, ribuan itik, semua sibuk mencari makan. Migrasi musim semi tidak pernah tampak seluar biasa ini. “Tidak boleh ada ladang pembantaian seperti Albania di Eurasia,” kata Schneider-Jacoby. “Kami sangat terampil membunuh hewan ini, dan kami di Eropa masih belum menemukan sistem terpadu yang memungkinkan burung bertahan hidup. Satu-satunya yang kelihatannya efektif saat ini cuma larangan berburu. Andai mereka berhenti berburu, mereka dapat memiliki habitat yang terbaik di Eropa. Wisatawan akan datang ke Karavasta untuk melihat burung jenjang yang tengah singgah.”
!break!Albania masih menyimpan harapan. Banyak pemburu baru yang tampaknya sadar bahwa harus ada perubahan; pendidikan lingkungan yang lebih baik dan peningkatan wisatawan asing dapat meningkatkan kebutuh-an kawasan alami; dan populasi burung akan pulih dengan cepat jika pemerintah menegakkan hukum di kawasan lindung.
Sementara di selatan, lebih sulit untuk optimis. Sebagaimana di Albania, sejarah dan politik Mesir menyebabkan negara ini menentang upaya konservasi. Negara ini memang menandatangani beberapa konvensi internasional yang mengatur perburuan burung, tetapi kebencian lama terhadap kolonialisme Eropa, diperparah oleh konflik antara budaya tradisional Muslim dan kebebasan Barat, menyebabkan pemerintah Mesir enggan memberlakukannya. Presiden sebelumnya, Mohamed Morsi, tidak mengambil risiko menegakkan peraturan secara ketat; ada banyak masalah lain yang lebih mendesak dibanding margasatwa.
Sebaliknya dari Balkan, masyarakat Afrika timur laut memiliki tradisi kuno yang berkesinambungan dalam hal perburuan burung migran dari semua ukuran. Sepanjang tradisi itu dilakukan dengan metode tradisional (jaring buatan tangan dan pulut, jerat kecil yang dibuat dari alang-alang, pemburunya menunggang unta), dampak pada populasi burung yang berkembang biak di Eurasia mungkin masih berkelanjutan. Masalahnya, teknologi baru menyebabkan jumlah burung yang dapat ditangkap meningkat pesat, sementara tradisi itu tetap dipertahankan.