Kicau Terakhir

By , Senin, 25 April 2016 | 18:00 WIB

Saat matahari terbenam di Baltim, saya sedang berjalan bersama pemandu dari Pelestarian Alam Mesir dan seorang pengurus kawasan lindung setempat ketika melihat seekor burung pantai kecil yang cantik, cerek-kalung kecil, terjerat jaring di dekat jajaran kondominium. Pemandu saya, Wael Shohdi, mulai melepaskannya dengan hati-hati tetapi terhenti saat seorang anak muda berlari mendekat, membawa tas jaring dan diikuti dua teman remajanya. “Jangan sentuh burung itu,” teriaknya marah. “Itu jaring kami!”

“Tenang,” Shohdi meyakinkannya. “Kami biasa menangani burung.”

Pertengkaran terjadi saat pemburu muda itu mencoba menunjukkan kepada Shohdi cara melepas burung tanpa merusak jaring. Shohdi, yang mengutamakan keselamatan burung, entah bagaimana caranya berhasil membebaskan burung cerek itu dalam keadaan utuh. Namun, sang pemburu kemudian menuntut agar Shohdi menyerahkan burung itu.

Sang pegawai pemerintah, Hani Mansour Bishara, memberi tahu bahwa, selain dua puyuh hidup, di dalam tas pemburu itu juga terdapat seekor burung penyanyi yang masih hidup.

“Bukan, itu puyuh,” bantah sang pemburu.

“Jelas bukan puyuh.”

“Baiklah, itu burung decu kuning. Begini, Pak. Umur saya baru 20 dan jaring ini sumber nafkah kami.”

Saya menyuruh Shohdi mengingatkan sang pemburu bahwa aturan melarang orang mengambil burung selain puyuh dari jaring.

Shohdi menyampaikannya, tetapi rupanya hukum bukan argumen yang tepat untuk menghadapi pemuda 20 tahun yang sedang marah. Shohdi dan Bishara menjelaskan bahwa cerek-kalung kecil adalah spesies penting, hanya ditemukan di dataran lumpur, dan mungkin membawa penyakit yang berbahaya. (“Kami berbohong sedikit,” kata Shohdi kepada saya belakangan.)

“Jadi mana yang benar?” sang pemburu mendesak. “Burung ini membawa penyakit atau spesies penting?”

“Dua-duanya!” jawab Shohdi dan Bishara.

“Jika memang membawa penyakit,” tukas salah seorang teman remajanya, “kami semua sudah lama mati. Kami makan semua yang terjerat di jaring. Kami tidak pernah melepaskan tangkapan kami.”

“Kita tetap bisa ketularan penyakit dari burung yang telah dimasak,” Bishara berkilah.

Kekhawatiran saya akan nasib buruh cerek itu semakin besar ketika Shohdi menyerahkannya kepada pemburu, yang (baru saya ketahui kemudian) bersumpah demi Allah bahwa dia akan melepaskan burung cerek serta decu kuning di dalam tasnya, tetapi nanti setelah kami pergi.

“Tapi pihak National Geographic harus menyaksikan bahwa kedua burung ini benar-benar dilepaskan,” kata Shohdi.

Sang pemburu yang semakin naik darah itu mengeluarkan decu kuning dan melemparkannya ke udara, dan kemudian melakukan hal yang sama pada burung cerek tersebut. Keduanya langsung terbang menyusuri pantai menyusul kawanannya tanpa menoleh ke belakang. “Saya melakukannya,” kata pemburu itu dengan sikap melawan, “hanya demi menepati janji.”

!break!

Sebelum meninggalkan Mesir, saya menghabiskan beberapa hari bersama orang Badui penjerat alap-alap di padang pasir. Bahkan dalam pandangan orang Badui sekalipun, cuma orang yang kebanyakan waktu luanglah yang kerjanya menjerat alap-alap. Ada yang telah 20 tahun berburu tetapi belum pernah menangkap salah satu dari dua spesies berharga, alap-alap saker (Falco cherrug) dan alap-alap kawah. Kedua spesies itu dihargai tinggi oleh makelar yang menjualnya kepada orang Arab superkaya yang gemar berburu dengan alap-alap. Alap-alap saker demikian langka sehingga tidak sampai likuran ekor yang tertangkap setiap tahun, tetapi imbalannya menarik ratusan pemburu ke gurun pasir itu selama berminggu-minggu sekali berburu. Alap-alap saker yang bagus dapat laku hingga di atas 340 juta rupiah, alap-alap kawah di atas 140 juta rupiah.

Untuk menjerat alap-alap, banyak burung kecil yang dikorbankan. Merpati ditalikan ke tiang di padang pasir dan dibiarkan kepanasan untuk menarik burung pemangsa; tekukur dan burung puyuh dipasangi tali-temali yang dicantoli banyak jerat nilon kecil yang dapat melibat kaki alap-alap saker atau kawah; serta alap-alap kecil, seperti alap-alap walet, yang dijahit kelopak matanya sementara kakinya dipasangi pemikat yang penuh jerat dan diberi pemberat.

Para pemburu juga sering mengikat alap-alap yang tidak dibutakan ke kap mobil dan mengawasinya saat mereka melaju di pasang pasir. Apabila elang itu mendongak, berarti ada burung pemangsa besar di atas, dan pemburu turun untuk memasang berbagai pemikat. Salah satu dari dua hal paling menggembirakan yang saya alami di Mesir adalah perhatian pemburu elang terhadap buku panduan lapangan saya, Birds of Europe. Mereka semua berkerumun di sekitarnya dan membalik halaman perlahan-lahan, dari belakang ke depan seperti buku bertulisan Arab, untuk mempelajari gambar burung yang pernah mereka lihat maupun yang belum. Suatu sore, saat menyaksikan sebagian dari mereka melakukan hal ini, tiba-tiba terkilas harapan gila bahwa semua orang Badui ini, tanpa mereka sadari, sebenarnya merupakan pencinta burung.

Salah seorang pemburu mencoba memberikan kecici tak berkepala kepada alap-alap layang dan elang-alap eurasia yang dijahit kelopak matanya yang berada di dalam tenda kami. Sementara elang-alap eurasia, sekalipun berulang kali disodori daging ke mukanya, tidak berniat makan. Dia malah sibuk mematuki tali yang mengikat kakinya.

Tiba-tiba ada yang berteriak. Saya berbalik dan melihat elang-alap eurasia itu terbang menjauh dari tenda dan melesat ke padang pasir.

Para pemburu segera mengejar dengan mengendarai mobil, sebagian karena burung itu berharga bagi mereka, tetapi ada alasan lain—dan inilah satu lagi hal menggembirakan yang saya saksikan—karena burung buta itu tidak bisa bertahan hidup sendiri, dan mereka merasa bersalah atas hal itu.

Para pemburu mengkhawatirkan nasib elang-alap eurasia yang masuk semakin jauh ke padang pasir. Mereka berharap dapat menemukannya. Sementara perasaan saya bercampur aduk. Saya sadar bahwa jika burung itu berhasil lolos, dan jika tidak ada kelompok pemburu lain yang menemukannya, dia tidak akan berumur panjang. Akan tetapi, kerinduan untuk lepas dari kurungan, tampaknya melambangkan hakikat burung liar dan makna hewan ini bagi kehidupan. Dua puluh menit kemudian, ketika pemburu terakhir pulang ke tenda dengan tangan kosong, yang terkilas di pikiran saya adalah: Setidaknya burung itu mati dalam keadaan merdeka.