Kicau Terakhir

By , Senin, 25 April 2016 | 18:00 WIB

Suatu hari di pasar burung di kota turis Mediterania Marsa Matruh, Mesir. saya sedang mengamat-amati kandang yang penuh sesak dengan tekukur dan burung puyuh. Ketika itu salah seorang penjual melihat ketidaksukaan di wajah saya dan berteriak sinis, dalam bahasa Arab: “Kalian orang Amerika merasa bersalah soal burung, sementara kalau mengebom negara orang lain enak-enak saja.”

Saya bisa saja menjawab bahwa kedua hal itu, burung dan bom, sama-sama salah, bahwa satu kesalahan tidak bisa membenarkan kesalahan lainnya. Namun, harus diakui bahwa perkataan pedagang burung itu ada benarnya soal masalah pelestarian alam di dunia yang penuh konflik manusia, hal itu memang tidak bisa mungkir. Dia mencium jari-jemarinya untuk menunjukkan betapa lezat rasa daging burung itu, dan saya terus mengamati semua kandang itu dengan kening berkerut.

Bagi pengunjung, situasi di Mediterania ini sungguh mengerikan: Setiap tahun, ratusan juta burung penyanyi dan burung yang lebih besar dibunuh saat beruaya, demi perut, kantong, ego, dan kesenangan. Pembunuhan ini tidak pandang bulu, dengan dampak besar pada spesies yang sudah terpuruk akibat kerusakan atau fragmentasi habitat berkembang biaknya. Warga Mediterania menembak jenjang, bangau, dan burung pemangsa besar yang menjadi objek proyek konservasi miliaran rupiah pemerintah negara-negara di utara. Di seluruh Eropa populasi burung mengalami penurunan tajam, pembantaian di Mediterania merupakan salah satu penyebabnya.

Yang terparah pemburu dari Italia, baik yang resmi maupun liar, karena hampir sepanjang tahun hutan dan lahan basah di pedesaan Italia penuh dengan suara tembakan dan perangkap burung pengicau. Orang Prancis yang memuja makanan tetap saja menyantap emberisa kepala-hijau ilegal, sementara daftar panjang burung yang boleh diburu di Prancis menyertakan banyak spesies burung pantai yang terancam punah. Perangkap burung masih merupakan hal umum di beberapa wilayah Spanyol; pemburu Malta, karena kurangnya satwa buruan asli, menembaki burung pemangsa yang terbang melintas; orang Siprus menangkapi burung kecici dalam jumlah sangat besar dan menjadikannya santapan sehari-hari, tanpa memedulikan hukum yang melarangnya.

Sebetulnya, di Uni Eropa ada batasan teoretis tentang perburuan burung ruaya. Opini masyarakat di Uni Eropa cenderung mendukung pelestarian, dan banyak kelompok perlindungan alam yang membantu pemerintah menegakkan hukum ini. (Di Sisilia, yang dahulu merupakan tujuan populer untuk berburu burung pemangsa, perburuan hampir dapat dihapuskan, bahkan beberapa mantan pemburu liar malah menjadi pengamat burung.)

Yang situasinya tidak membaik adalah di negara-negara Mediterania yang tidak tergabung dengan Uni Eropa. Bahkan, saat mengunjungi Albania dan Mesir tahun lalu, saya menemukan bahwa keadaannya malah menjadi semakin parah.

!break!

Pada Februari 2012 Eropa Timur mengalami cuaca terdingin dalam 50 tahun terakhir. Angsa yang biasanya melewatkan musim dingin di Lembah Donau terbang ke selatan untuk menyelamatkan diri, dan sekitar 50.000 di antaranya mendarat di dataran Albania dalam keadaan lapar dan lelah. Tidak ada yang selamat untuk dijual ke restoran. Banyak angsa itu yang diberi pengenal oleh para peneliti di utara; seorang pemburu memberi tahu saya bahwa dia pernah melihat gelang pengenal dari Greenland. Meskipun tidak ada orang kelaparan di Albania, pendapatan per kapita negara ini merupakan salah satu yang terendah di Eropa. Kedatangan tidak disangka-sangka kawanan angsa yang laku dijual ini benar-benar rezeki nomplok bagi penduduk desa dan petani setempat.

Jalur migrasi burung yang paling timur di Eropa melewati negara-negara Balkan, sementara di Albania garis pantai Adriatik menghamparkan lahan basah, danau, dan dataran pesisir yang cocok untuk habitat burung. Selama ribuan tahun burung yang terbang ke utara dari Afrika dapat beristirahat dan makan di sini sebelum berjuang melintasi Pegunungan Dinarides untuk menuju tempat berkembang biaknya, lalu singgah lagi di sini pada musim gugur sebelum kembali menyeberangi Laut Tengah.

Selama 40 tahun kediktatoran Marxis Enver Hoxha, totalitarianisme menghancurkan tradisi dan tatanan masyarakat Albania, tetapi tidak berpengaruh buruk bagi populasi burung. Hoxha hanya memberikan hak istimewa memiliki senjata pribadi dan berburu kepada dirinya dan beberapa kroninya yang tepercaya. Segelintir pemburu tidak berdampak besar pada jutaan burung ruaya yang terbang melintas, sementara ketertinggalan ekonomi-sosialis negara itu, beserta penolakan mereka terhadap wisatawan pantai dari luar negeri, memastikan keselamatan kekayaan habitat pesisirnya.

Setelah Hoxha wafat tahun 1985, negara ini mengalami peralihan yang sulit ke ekonomi pasar, termasuk masa nyaris-anarki saat gudang senjata negara itu dibobol dan senjata militer dijarah warga sipil. Bahkan setelah kekuasaan negara dipulihkan, warga Albania tetap mempertahankan senjata mereka, dan dapat dimengerti bahwa masyarakatnya enggan diatur-atur lagi seperti dahulu. Perekonomian mulai tumbuh, dan salah satu cara generasi muda di Tirana mengekspresikan kebebasan dan kemakmuran baru mereka adalah dengan membeli senapan mahal, ribuan jumlahnya, dan menggunakannya untuk melakukan kegiatan yang sebelumnya hanya terbatas untuk kaum elite: menembak burung.

Di Tirana, beberapa minggu setelah puncak musim dingin Februari, saya bertemu dengan seorang wanita muda yang sangat sebal dengan hobi baru suaminya, berburu. Wanita itu berce-rita bahwa dia pernah menyaksikan sang suami berhenti di tepi jalan raya, keluar dari mobil, dan menembaki burung kecil di kabel listrik.

“Saya ingin memahami sudut pandangnya,” kata saya.

“Percuma!” katanya. “Kami sudah sering membahasnya, dan saya tetap saja tidak mengerti.” Namun, dia menghubungi suaminya dengan telepon seluler dan memintanya ikut bergabung bersama kami.

“Ini hiburan populer, dan saya terpengaruh oleh bujukan teman-teman,” jelas sang pemburu kepada saya dengan agak malu-malu. “Saya bukan pemburu betulan. Akan tetapi, karena baru, dan merasa senang memiliki senjata berizin—senapan bertenaga besar yang benar-benar bagus—dan belum pernah menembak burung sebelumnya, hal itu awalnya terasa menyenangkan. Rasanya seperti musim panas tiba dan kita merasa ingin mencebur ke lautan. Saya biasa berburu sendirian dan berkendara ke perbukitan selama satu jam. Kami tidak memiliki kawasan perlindungan yang dipasangi dengan rambu larangan, jadi saya biasa menembak apa saja yang dilihat. Memang sih rasa senangnya berkurang jika kita terpikir soal satwa yang dibunuh.”

“Bagaimana Anda menyikapinya?” tanya saya.

Pemburu itu mengernyitkan kening. “Saya merasa sangat tidak enak menghadapi situasi ini. Teman-teman saya kini juga menyatakan hal yang sama: ‘Tidak ada burung; kami berjalan selama berjam-jam tanpa melihat seekor burung pun.’ Benar-benar mengkhawatirkan. Saat ini saya senang apabila pemerintah melarang semua perburuan selama dua tahun—jangan, lima tahun—agar populasi burung bisa pulih.”

Akan tetapi, kekuatan politik di Albania sekarang dipegang oleh dua partai politik besar yang hampir seimbang dan kedua belah pihak enggan menerapkan peraturan yang berpotensi tidak populis mengenai masalah yang tidak dianggap penting oleh sebagian besar pemilih.

!break!

Ada seorang pejuang hak burung yang serius di Albania, Taulant Bino. Bino menjabat sebagai wamen di kementerian lingkungan, dan suatu pagi dia mengajak saya ke Taman Nasional Divjaka-Karavasta, kawasan luas dengan habitat lahan basah dan pantai yang luar biasa. Saat itu pertengahan Maret, waktu larangan berburu di seluruh negeri, dan taman nasional itu seharusnya penuh dengan unggas air dan burung perancah yang bermigrasi atau melewatkan musim dingin di sini. Namun, ternyata selain satu kolam yang dijaga nelayan, tidak ada burung sama sekali di taman itu; bahkan itik kalung pun tidak kelihatan congornya.

Saat mengemudi menyusuri pantai, kami segera melihat salah satu sebabnya: Sekelompok pemburu memasang pikat dan menembaki pecuk-padi besar dan biru-laut. Manajer taman nasional yang mengiringi kami mengusir para pemburu itu dengan murka, dan salah seorang pemburu mengeluarkan telepon dan mencoba menghubungi temannya yang menjadi pejabat. “Kamu gila apa?” teriak sang manajer taman kepadanya. “Sadar tidak saya sedang bersama wamen kementerian lingkungan?”

Kementerian Bino, setidaknya di atas kertas, melindungi habitat yang cukup untuk mempertahankan populasi besar burung migran dan yang berkembang biak. “Saat para pelestari lingkungan melihat bahwa perkembangan ekonomi dapat membahayakan keanekaragaman hayati,” Bino menuturkan kepada saya, “mereka berpendapat sebaiknya kawasan lindung diperluas sebelum tempat itu tergilas oleh pembangunan. Akan tetapi, sulit untuk mengendalikan orang-orang yang bersenjata—kami juga perlu dukungan polisi. Tahun 2007 kami menutup satu wilayah di sini, tahu-tahu datang 400 pemburu yang menembaki semuanya. Polisi datang dan menyita beberapa senjata, tapi dua hari kemudian mereka berkata kepada kami, ‘Ini masalah Anda, bukan masalah kami.’”

Malangnya, hukum tidak ditegakkan—fakta yang oleh para pemburu Italia, yang dibatasi oleh peraturan Uni Eropa di negaranya, dengan cepat diketahui dan dieksploitasi setelah wafatnya Hoxha. Selama seminggu saya di Albania, tidak ada kawasan lindung yang saya kunjungi yang tidak ada pemburu Italianya, meskipun musim berburu telah berakhir, bahkan hingga di luar kawasan lindung. Semua pemburu Italia itu menggunakan peralatan pemutar suara-burung berkualitas-tinggi ilegal dan menembak sepuas hati semua jenis burung yang mereka inginkan.

Pada kunjungan kedua ke Karavasta, tanpa ditemani Bino, saya melihat dua orang berbaju loreng naik ke perahu dengan membawa senjata, jelas mereka bergegas berangkat sebelum saya dapat berbicara dengan mereka. Asisten mereka yang orang Albania dan tinggal di pantai memberi tahu saya bahwa kedua orang itu asli Albania, tetapi saat saya memanggil mereka, mereka balas berteriak dalam bahasa Italia.

“Baiklah, mereka orang Italia,” aku sang asisten sementara perahu melaju menjauhi kami. “Dokter ahli jantung dari Bari, membawa peralatan lengkap. Kemarin mereka berburu di sini dari subuh sampai tengah malam.”

“Apakah mereka tahu musim berburu sudah habis?” saya bertanya.

“Mereka orang pintar.”

“Bagaimana cara mereka masuk ke taman nasional ini?”

“Gerbangnya terbuka.”

“Siapa yang dibayar? Penjaga?”

“Bukan penjaga. Lebih tinggi.”

“Manajer taman nasional?”

Sang asisten mengangkat bahu.

!break!

Albania pernah dikuasai oleh Italia, dan banyak orang Albania yang masih memandang Italia sebagai teladan kecanggihan dan kemodernan. Selain kerugian langsung yang sangat besar yang ditimbulkan wisatawan pemburu Italia di Albania, mereka juga membawa kebiasaan menembak tanpa pandang bulu serta metode berburu yang baru—khususnya penggunaan alat pemutar suara-burung yang sangat efektif memikat burung. Kecanggihan baru ini, dipadu dengan sekitar 100.000 pucuk senapan (di negara berpenduduk tiga juta), serta berbagai senjata lain, mengubah Albania menjadi lubang hitam bagi margasatwa migran Eropa timur: Jutaan burung datang kemari dan sangat sedikit yang dapat lolos hidup-hidup.

Burung yang pintar atau beruntung menghindari negara ini. Di sebuah pantai di Velipoja saya melihat kawanan besar itik alis-putih terbang bolak-balik kebingungan jauh di lepas pantai, menambah kelelahannya setelah melintasi Laut Adriatik. Hewan ini bingung karena perjalanannya menuju lahan basah tempat burung ini biasa singgah terhalang oleh para pemburu setempat yang bercokol di tempat-tempat persembunyian strategis di pantai. Martin Schneider-Jacoby, spesialis burung yang bekerja untuk organisasi Jerman EuroNatur sampai meninggal musim panas lalu, menjelaskan kepada saya bagaimana kawanan burung jenjang saat mendekati Albania dari laut terpecah menjadi dua kelompok berdasarkan umur. Burung dewasa terus terbang di ketinggian, sementara burung muda yang belum berpengalaman, saat melihat habitat menarik di bawah, merendah sampai disambut suara tembakan lalu naik lagi dan mengikuti burung dewasa. “Hewan ini datang dari Sahara,” kata Schneider-Jacoby, “dan harus melintasi gunung setinggi 2.000 meter. Perlu istirahat. Mungkin energinya masih cukup untuk melintasi pegunungan, tetapi jadi tidak dapat berkembang biak dengan baik.”

Di seberang perbatasan Albania, di Montenegro, Schneider-Jacoby menunjukkan kawasan ladang garam yang luas di kota Ulcinj. Baru-baru ini, pemburu Montenegro menghabisi semua burung di kawasan padak ini sebagaimana halnya kawasan “lindung” Albania. Untungnya, ada organisasi nirlaba yang menggaji seorang jagawana untuk melaporkan pemburu liar kepada polisi. Hasilnya sangat dramatis: hamparan burung sejauh mata memandang, ribuan burung perancah, ribuan itik, semua sibuk mencari makan. Migrasi musim semi tidak pernah tampak seluar biasa ini. “Tidak boleh ada ladang pembantaian seperti Albania di Eurasia,” kata Schneider-Jacoby. “Kami sangat terampil membunuh hewan ini, dan kami di Eropa masih belum menemukan sistem terpadu yang memungkinkan burung bertahan hidup. Satu-satunya yang kelihatannya efektif saat ini cuma larangan berburu. Andai mereka berhenti berburu, mereka dapat memiliki habitat yang terbaik di Eropa. Wisatawan akan datang ke Karavasta untuk melihat burung jenjang yang tengah singgah.”

!break!

Albania masih menyimpan harapan. Banyak pemburu baru yang tampaknya sadar bahwa harus ada perubahan; pendidikan lingkungan yang lebih baik dan peningkatan wisatawan asing dapat meningkatkan kebutuh-an kawasan alami; dan populasi burung akan pulih dengan cepat jika pemerintah menegakkan hukum di kawasan lindung.

Sementara di selatan, lebih sulit untuk optimis. Sebagaimana di Albania, sejarah dan politik Mesir menyebabkan negara ini menentang upaya konservasi. Negara ini memang menandatangani beberapa konvensi internasional yang mengatur perburuan burung, tetapi kebencian lama terhadap kolonialisme Eropa, diperparah oleh konflik antara budaya tradisional Muslim dan kebebasan Barat, menyebabkan pemerintah Mesir enggan memberlakukannya. Presiden sebelumnya, Mohamed Morsi, tidak mengambil risiko menegakkan peraturan secara ketat; ada banyak masalah lain yang lebih mendesak dibanding margasatwa.

Sebaliknya dari Balkan, masyarakat Afrika timur laut memiliki tradisi kuno yang berkesinambungan dalam hal perburuan burung migran dari semua ukuran. Sepanjang tradisi itu dilakukan dengan metode tradisional (jaring buatan tangan dan pulut, jerat kecil yang dibuat dari alang-alang, pemburunya menunggang unta), dampak pada populasi burung yang berkembang biak di Eurasia mungkin masih berkelanjutan. Masalahnya, teknologi baru menyebabkan jumlah burung yang dapat ditangkap meningkat pesat, sementara tradisi itu tetap dipertahankan.

Perbedaan budaya yang mungkin paling mengecilkan semangat adalah yang berikut ini: Pemburu burung Mesir tidak melihat ada perbedaan antara menangkap ikan dan menangkap burung, sementara, bagi kebanyakan orang Barat, burung memiliki karisma, dan dengan demikian status emosional dan bahkan etika, yang tidak dimiliki ikan. Di gurun di barat Kairo, saat duduk di dalam tenda bersama enam pemuda Badui pemburu burung, saya melihat kicuit kerbau melompat-lompat di luar tenda. Reaksi saya emosional: Betapa elok burung kecil nan jinak, hewan berdarah panas dengan bulu indah, yang baru saja terbang ratusan kilometer melintasi padang pasir. Reaksi pemburu di samping saya adalah mengambil senapan angin dan menembak. Baginya, kicuit yang luput dari tembakan itu sama seperti ikan yang lepas dari tangkapan. Bagi saya, itu kelegaan yang jarang terjadi.

Keenam pemuda Badui yang berusia awal 20-an ini berkemah dalam belukar kecil akasia, di tengah lautan pasir membara. Belukar kecil itu merupakan magnet bagi burung ruaya yang terbang menuju selatan, tanpa memandang ukuran atau spesies atau status konservasinya, ditembak dan dimakan. Bagi para pemuda itu, berburu burung merupakan hiburan, kesempatan untuk berkumpul dan melakukan kegiatan pria. Mereka juga membawa generator, komputer yang penuh dengan film kelas dua, kamera SLR, kacamata malam, dan Kalashnikov yang ditembakkan untuk bersenang-senang—mereka semua dari keluarga berada.

Di antara hasil buruan pagi mereka, yang digantung di kawat seperti serenteng ikan terdapat tekukur, kepudang emas eurasia, dan kecici mungil. Burung yang disajikan bersama nasi berbumbu merupakan santapan siang yang lezat. Meski kepudang terkenal di Timur Tengah sebagai obat kuat (burung ini “Viagra alami”, demikian kata mereka), saya tidak sedang memerlukan Viagra dan memilih burung tekukur saja.

Karena perjalanan melintasi gurun Mesir sekarang dilakukan dengan mobil, tidak lagi harus naik unta, hampir setiap pohon dan belukar yang agak besar dan terpencil, dapat didatangi pemburu selama puncak musim gugur. Namun, suku Badui biasanya menyantap sebagian besar hasil buruan mereka atau memberikannya kepada teman dan tetangga. Di tempat yang bagus, seperti oasis Al Maghrah, yang pemburunya bisa mencapai puluhan orang, seorang pemburu dapat menangkap lebih dari 50 kepudang dalam sehari.

Saya mengunjungi Al Maghrah di akhir musim, tapi kepudang-pikat (biasanya kepudang jantan yang telah mati dipasang di pancang) masih menarik banyak burung, dan jarang ada yang lolos dari pelor para pemburu. Sangat mungkin bahwa tiap tahun ada 5.000 kepudang yang ditembak di satu lokasi ini saja. Dan mengingat bahwa ada puluhan tempat berburu lainnya di gurun, jumlah burung yang ditangkap di Mesir cukup signifikan dibanding populasi dua atau tiga juta pasangan burung kepudang di Eropa. Kesenangan yang diberikan spesies adiwarna dengan kawasan jelajah musim panas dan musim dingin yang luas ini dimonopoli, setiap bulan September, oleh sejumlah kecil pemburu rekreasi. Para pemburu yang tidak kekurangan makan itu mencari obat kuat alami. Sekalipun ada sebagian yang mungkin menggunakan senjata tanpa izin, yang lainnya memburu burung itu tanpa melanggar hukum Mesir sama sekali.

!break!

Sebagian besar orang Badui yang saya ajak bicara menyatakan bahwa mereka tidak akan memburu spesies asli, seperti hupo tunggal dan tekukur senegal. Namun, seperti pemburu Mediterania lainnya, mereka menganggap semua spesies migran boleh diburu, sebagaimana kata orang Albania, “Kan bukan burung kami.” Walaupun semua pemburu Mesir yang saya temui mengakui bahwa jumlah burung ruaya menurun dalam beberapa tahun terakhir, hanya sedikit yang menerima bahwa hal ini mungkin disebabkan oleh perburuan berlebihan. Beberapa pemburu menyalahkan perubahan iklim; teori yang paling populer adalah bahwa lampu listrik yang semakin banyak di pantai menyebabkan burung tidak berani datang. (Sebenarnya, cahaya lampu malah lebih mungkin menarik kedatangan kawanan burung.)

Upaya pendidikan dan advokasi lingkungan di Mesir umumnya terbatas pada kegiatan beberapa lembaga swadaya masyarakat kecil, seperti Pelestarian Alam Mesir (yang membantu menyusun artikel ini). Kelompok advokasi-burung Eropa mencurahkan tenaga dan dana besar untuk Malta dan tempat perburuan burung migran populer lainnya, tetapi masalah di Mesir, yang jauh lebih parah daripada semua tempat di Eropa, malah diabaikan. Sementara jurang politik dan budaya antara Barat dan Timur Tengah juga menyulitkan. Pesan dasar “pendidikan” lingkungan adalah, mau tidak mau, Mesir harus menghentikan kebiasaannya; sementara keprihatinan negara gila-burung seperti Inggris, yang masih dibenci karena pernah menjajah Mesir.

Sebagian besar kota pesisir Mesir memiliki pasar burung tempat puyuh dijual seharga dua puluh ribu rupiah, tekukur lima puluh ribu, kepudang tiga puluh ribu, dan burung kecil di bawah sepuluh ribu. Di luar salah satu kota ini, El Daba, saya berkeliling di kebun seorang pria berjanggut putih dengan usaha jerat-burung yang begitu besar sehingga, bahkan setelah keluarga keenam anaknya sudah kenyang pun, masih ada kelebihan untuk dibawa ke pasar. Jaring besar menutupi delapan pohon tamariska yang tinggi dan semak-semak kecil, mengelilingi kebun ara dan zaitun. Matahari bersinar sangat terik, dan kawanan burung ruaya yang datang dari pantai terdekat mencari tempat berteduh. Burung yang menghindari jaring di satu pohon hanya terbang ke pohon berikutnya dan akhirnya tertangkap. Cucunya berlari mendekati jaring dan mengambil burung tersebut, lalu salah seorang putranya mencabut bulu-terbangnya dan memasukkannya ke dalam karung plastik. Dalam 20 menit saya melihat seekor bentet punggung-merah, seekor sikatan kalung-putih, seekor sikatan kurik, seekor kepudang emas eurasia jantan, seekor cikrak, seekor kecici kepala-hitam eurasia, dua cikrak hutan, dua burung cici, dan berbagai burung lain yang tidak saya kenal masuk ke dalam karung itu. Berdasarkan perkiraan sang petani mengenai hasil tangkapannya, saya menghitung bahwa setiap tahun antara 25 Agustus sampai 25 September, dia menangkap 600 kepudang, 250 tekukur, 200 hupo tunggal, dan 4.500 burung yang lebih kecil. Tanpa hasil buruan pun pertanian itu jelas berkecukupan; perabot di kamar tamunya yang luas, tempat saya dilayani dengan keramahan khas suku Badui, tampak baru dan berkualitas tinggi.

Ke mana pun saya pergi di sepanjang pantai ini, dari Marsa Matruh hingga Ras el Barr, saya menemukan jaring seperti yang digunakan petani itu. Yang lebih dahsyat lagi jaring kabut yang digunakan untuk menangkap burung puyuh: jaring nilon super tipis, nyaris tidak bisa dilihat burung, dipasang di tiang dan terentang dari permukaan tanah hingga lebih dari tiga meter ke atas. Jaring kabut ini juga merupakan inovasi baru, mulai dipakai di Sinai sekitar 15 tahun lalu dan menyebar ke barat sampai kini menutupi seluruh pantai Mediterania Mesir. Di Sinai utara saja, jaring kabut terentang sepanjang 80 kilometer. Sepanjang jalan raya pantai di barat Sinai, jaring itu memanjang sejauh mata memandang dan melintasi kota wisata, muka hotel, dan kondominium.

Di atas kertas, banyak pantai Mesir yang merupakan kawasan lindung. Namun perlindungan burung di suaka pesisir ini hanya sebatas pemberian izin untuk memasang jaring untuk menangkapnya. Para pemilik jaring keluar sebelum fajar dan menunggu puyuh yang tiba dari seberang lautan berdesing di pantai dan menabrak jaring. Pada hari baik, jaring sepanjang setengah kilometer dapat menghasilkan 50 puyuh atau lebih. Perkiraan terendah saya, berdasarkan angka dari tahun paceklik, setiap tahun sekitar 100.000 ekor puyuh terjerat jaring kabut di pesisir Mesir saja.

Sementara puyuh menjadi semakin langka di sebagian besar Eropa, tangkapan di Mesir justru meningkat berkat penggunaan teknologi pemutar suara-burung yang makin marak. Sistem yang terbaik, Bird Sound, dengan chip digital yang menyimpan rekaman suara berkualitas tinggi seratus jenis burung, tidak boleh digunakan untuk keperluan berburu di Uni Eropa tetapi dijual bebas di toko-toko di sini. Biasanya, sekitar tiga perempat puyuh yang datang terbang melintas di atas jaring kabut, tetapi pemburu yang menggunakan Bird Sound juga dapat memikat burung yang terbang lebih tinggi; sekarang semua penjaring kabut di Sinai utara menggunakannya, beberapa bahkan juga berburu pada musim semi selain pada musim gugur. Pemburu di beberapa danau besar Mesir juga telah mulai menggunakan Bird Sound untuk menangkap seluruh kawanan itik pada malam hari.

!break!

Di tepi pantai di kota turis Baltim, saya bertemu dengan beberapa anak-anak ini. Puyuh merupakan satu-satunya burung yang boleh ditangkap pemburu dengan jaring kabut, tetapi selalu ada burung kecil lain yang ikut tertangkap atau bahkan elang yang hendak menyergap burung di jaring.

Saat matahari terbenam di Baltim, saya sedang berjalan bersama pemandu dari Pelestarian Alam Mesir dan seorang pengurus kawasan lindung setempat ketika melihat seekor burung pantai kecil yang cantik, cerek-kalung kecil, terjerat jaring di dekat jajaran kondominium. Pemandu saya, Wael Shohdi, mulai melepaskannya dengan hati-hati tetapi terhenti saat seorang anak muda berlari mendekat, membawa tas jaring dan diikuti dua teman remajanya. “Jangan sentuh burung itu,” teriaknya marah. “Itu jaring kami!”

“Tenang,” Shohdi meyakinkannya. “Kami biasa menangani burung.”

Pertengkaran terjadi saat pemburu muda itu mencoba menunjukkan kepada Shohdi cara melepas burung tanpa merusak jaring. Shohdi, yang mengutamakan keselamatan burung, entah bagaimana caranya berhasil membebaskan burung cerek itu dalam keadaan utuh. Namun, sang pemburu kemudian menuntut agar Shohdi menyerahkan burung itu.

Sang pegawai pemerintah, Hani Mansour Bishara, memberi tahu bahwa, selain dua puyuh hidup, di dalam tas pemburu itu juga terdapat seekor burung penyanyi yang masih hidup.

“Bukan, itu puyuh,” bantah sang pemburu.

“Jelas bukan puyuh.”

“Baiklah, itu burung decu kuning. Begini, Pak. Umur saya baru 20 dan jaring ini sumber nafkah kami.”

Saya menyuruh Shohdi mengingatkan sang pemburu bahwa aturan melarang orang mengambil burung selain puyuh dari jaring.

Shohdi menyampaikannya, tetapi rupanya hukum bukan argumen yang tepat untuk menghadapi pemuda 20 tahun yang sedang marah. Shohdi dan Bishara menjelaskan bahwa cerek-kalung kecil adalah spesies penting, hanya ditemukan di dataran lumpur, dan mungkin membawa penyakit yang berbahaya. (“Kami berbohong sedikit,” kata Shohdi kepada saya belakangan.)

“Jadi mana yang benar?” sang pemburu mendesak. “Burung ini membawa penyakit atau spesies penting?”

“Dua-duanya!” jawab Shohdi dan Bishara.

“Jika memang membawa penyakit,” tukas salah seorang teman remajanya, “kami semua sudah lama mati. Kami makan semua yang terjerat di jaring. Kami tidak pernah melepaskan tangkapan kami.”

“Kita tetap bisa ketularan penyakit dari burung yang telah dimasak,” Bishara berkilah.

Kekhawatiran saya akan nasib buruh cerek itu semakin besar ketika Shohdi menyerahkannya kepada pemburu, yang (baru saya ketahui kemudian) bersumpah demi Allah bahwa dia akan melepaskan burung cerek serta decu kuning di dalam tasnya, tetapi nanti setelah kami pergi.

“Tapi pihak National Geographic harus menyaksikan bahwa kedua burung ini benar-benar dilepaskan,” kata Shohdi.

Sang pemburu yang semakin naik darah itu mengeluarkan decu kuning dan melemparkannya ke udara, dan kemudian melakukan hal yang sama pada burung cerek tersebut. Keduanya langsung terbang menyusuri pantai menyusul kawanannya tanpa menoleh ke belakang. “Saya melakukannya,” kata pemburu itu dengan sikap melawan, “hanya demi menepati janji.”

!break!

Sebelum meninggalkan Mesir, saya menghabiskan beberapa hari bersama orang Badui penjerat alap-alap di padang pasir. Bahkan dalam pandangan orang Badui sekalipun, cuma orang yang kebanyakan waktu luanglah yang kerjanya menjerat alap-alap. Ada yang telah 20 tahun berburu tetapi belum pernah menangkap salah satu dari dua spesies berharga, alap-alap saker (Falco cherrug) dan alap-alap kawah. Kedua spesies itu dihargai tinggi oleh makelar yang menjualnya kepada orang Arab superkaya yang gemar berburu dengan alap-alap. Alap-alap saker demikian langka sehingga tidak sampai likuran ekor yang tertangkap setiap tahun, tetapi imbalannya menarik ratusan pemburu ke gurun pasir itu selama berminggu-minggu sekali berburu. Alap-alap saker yang bagus dapat laku hingga di atas 340 juta rupiah, alap-alap kawah di atas 140 juta rupiah.

Untuk menjerat alap-alap, banyak burung kecil yang dikorbankan. Merpati ditalikan ke tiang di padang pasir dan dibiarkan kepanasan untuk menarik burung pemangsa; tekukur dan burung puyuh dipasangi tali-temali yang dicantoli banyak jerat nilon kecil yang dapat melibat kaki alap-alap saker atau kawah; serta alap-alap kecil, seperti alap-alap walet, yang dijahit kelopak matanya sementara kakinya dipasangi pemikat yang penuh jerat dan diberi pemberat.

Para pemburu juga sering mengikat alap-alap yang tidak dibutakan ke kap mobil dan mengawasinya saat mereka melaju di pasang pasir. Apabila elang itu mendongak, berarti ada burung pemangsa besar di atas, dan pemburu turun untuk memasang berbagai pemikat. Salah satu dari dua hal paling menggembirakan yang saya alami di Mesir adalah perhatian pemburu elang terhadap buku panduan lapangan saya, Birds of Europe. Mereka semua berkerumun di sekitarnya dan membalik halaman perlahan-lahan, dari belakang ke depan seperti buku bertulisan Arab, untuk mempelajari gambar burung yang pernah mereka lihat maupun yang belum. Suatu sore, saat menyaksikan sebagian dari mereka melakukan hal ini, tiba-tiba terkilas harapan gila bahwa semua orang Badui ini, tanpa mereka sadari, sebenarnya merupakan pencinta burung.

Salah seorang pemburu mencoba memberikan kecici tak berkepala kepada alap-alap layang dan elang-alap eurasia yang dijahit kelopak matanya yang berada di dalam tenda kami. Sementara elang-alap eurasia, sekalipun berulang kali disodori daging ke mukanya, tidak berniat makan. Dia malah sibuk mematuki tali yang mengikat kakinya.

Tiba-tiba ada yang berteriak. Saya berbalik dan melihat elang-alap eurasia itu terbang menjauh dari tenda dan melesat ke padang pasir.

Para pemburu segera mengejar dengan mengendarai mobil, sebagian karena burung itu berharga bagi mereka, tetapi ada alasan lain—dan inilah satu lagi hal menggembirakan yang saya saksikan—karena burung buta itu tidak bisa bertahan hidup sendiri, dan mereka merasa bersalah atas hal itu.

Para pemburu mengkhawatirkan nasib elang-alap eurasia yang masuk semakin jauh ke padang pasir. Mereka berharap dapat menemukannya. Sementara perasaan saya bercampur aduk. Saya sadar bahwa jika burung itu berhasil lolos, dan jika tidak ada kelompok pemburu lain yang menemukannya, dia tidak akan berumur panjang. Akan tetapi, kerinduan untuk lepas dari kurungan, tampaknya melambangkan hakikat burung liar dan makna hewan ini bagi kehidupan. Dua puluh menit kemudian, ketika pemburu terakhir pulang ke tenda dengan tangan kosong, yang terkilas di pikiran saya adalah: Setidaknya burung itu mati dalam keadaan merdeka.