Kicau Terakhir

By , Senin, 25 April 2016 | 18:00 WIB

Perbedaan budaya yang mungkin paling mengecilkan semangat adalah yang berikut ini: Pemburu burung Mesir tidak melihat ada perbedaan antara menangkap ikan dan menangkap burung, sementara, bagi kebanyakan orang Barat, burung memiliki karisma, dan dengan demikian status emosional dan bahkan etika, yang tidak dimiliki ikan. Di gurun di barat Kairo, saat duduk di dalam tenda bersama enam pemuda Badui pemburu burung, saya melihat kicuit kerbau melompat-lompat di luar tenda. Reaksi saya emosional: Betapa elok burung kecil nan jinak, hewan berdarah panas dengan bulu indah, yang baru saja terbang ratusan kilometer melintasi padang pasir. Reaksi pemburu di samping saya adalah mengambil senapan angin dan menembak. Baginya, kicuit yang luput dari tembakan itu sama seperti ikan yang lepas dari tangkapan. Bagi saya, itu kelegaan yang jarang terjadi.

Keenam pemuda Badui yang berusia awal 20-an ini berkemah dalam belukar kecil akasia, di tengah lautan pasir membara. Belukar kecil itu merupakan magnet bagi burung ruaya yang terbang menuju selatan, tanpa memandang ukuran atau spesies atau status konservasinya, ditembak dan dimakan. Bagi para pemuda itu, berburu burung merupakan hiburan, kesempatan untuk berkumpul dan melakukan kegiatan pria. Mereka juga membawa generator, komputer yang penuh dengan film kelas dua, kamera SLR, kacamata malam, dan Kalashnikov yang ditembakkan untuk bersenang-senang—mereka semua dari keluarga berada.

Di antara hasil buruan pagi mereka, yang digantung di kawat seperti serenteng ikan terdapat tekukur, kepudang emas eurasia, dan kecici mungil. Burung yang disajikan bersama nasi berbumbu merupakan santapan siang yang lezat. Meski kepudang terkenal di Timur Tengah sebagai obat kuat (burung ini “Viagra alami”, demikian kata mereka), saya tidak sedang memerlukan Viagra dan memilih burung tekukur saja.

Karena perjalanan melintasi gurun Mesir sekarang dilakukan dengan mobil, tidak lagi harus naik unta, hampir setiap pohon dan belukar yang agak besar dan terpencil, dapat didatangi pemburu selama puncak musim gugur. Namun, suku Badui biasanya menyantap sebagian besar hasil buruan mereka atau memberikannya kepada teman dan tetangga. Di tempat yang bagus, seperti oasis Al Maghrah, yang pemburunya bisa mencapai puluhan orang, seorang pemburu dapat menangkap lebih dari 50 kepudang dalam sehari.

Saya mengunjungi Al Maghrah di akhir musim, tapi kepudang-pikat (biasanya kepudang jantan yang telah mati dipasang di pancang) masih menarik banyak burung, dan jarang ada yang lolos dari pelor para pemburu. Sangat mungkin bahwa tiap tahun ada 5.000 kepudang yang ditembak di satu lokasi ini saja. Dan mengingat bahwa ada puluhan tempat berburu lainnya di gurun, jumlah burung yang ditangkap di Mesir cukup signifikan dibanding populasi dua atau tiga juta pasangan burung kepudang di Eropa. Kesenangan yang diberikan spesies adiwarna dengan kawasan jelajah musim panas dan musim dingin yang luas ini dimonopoli, setiap bulan September, oleh sejumlah kecil pemburu rekreasi. Para pemburu yang tidak kekurangan makan itu mencari obat kuat alami. Sekalipun ada sebagian yang mungkin menggunakan senjata tanpa izin, yang lainnya memburu burung itu tanpa melanggar hukum Mesir sama sekali.

!break!

Sebagian besar orang Badui yang saya ajak bicara menyatakan bahwa mereka tidak akan memburu spesies asli, seperti hupo tunggal dan tekukur senegal. Namun, seperti pemburu Mediterania lainnya, mereka menganggap semua spesies migran boleh diburu, sebagaimana kata orang Albania, “Kan bukan burung kami.” Walaupun semua pemburu Mesir yang saya temui mengakui bahwa jumlah burung ruaya menurun dalam beberapa tahun terakhir, hanya sedikit yang menerima bahwa hal ini mungkin disebabkan oleh perburuan berlebihan. Beberapa pemburu menyalahkan perubahan iklim; teori yang paling populer adalah bahwa lampu listrik yang semakin banyak di pantai menyebabkan burung tidak berani datang. (Sebenarnya, cahaya lampu malah lebih mungkin menarik kedatangan kawanan burung.)

Upaya pendidikan dan advokasi lingkungan di Mesir umumnya terbatas pada kegiatan beberapa lembaga swadaya masyarakat kecil, seperti Pelestarian Alam Mesir (yang membantu menyusun artikel ini). Kelompok advokasi-burung Eropa mencurahkan tenaga dan dana besar untuk Malta dan tempat perburuan burung migran populer lainnya, tetapi masalah di Mesir, yang jauh lebih parah daripada semua tempat di Eropa, malah diabaikan. Sementara jurang politik dan budaya antara Barat dan Timur Tengah juga menyulitkan. Pesan dasar “pendidikan” lingkungan adalah, mau tidak mau, Mesir harus menghentikan kebiasaannya; sementara keprihatinan negara gila-burung seperti Inggris, yang masih dibenci karena pernah menjajah Mesir.

Sebagian besar kota pesisir Mesir memiliki pasar burung tempat puyuh dijual seharga dua puluh ribu rupiah, tekukur lima puluh ribu, kepudang tiga puluh ribu, dan burung kecil di bawah sepuluh ribu. Di luar salah satu kota ini, El Daba, saya berkeliling di kebun seorang pria berjanggut putih dengan usaha jerat-burung yang begitu besar sehingga, bahkan setelah keluarga keenam anaknya sudah kenyang pun, masih ada kelebihan untuk dibawa ke pasar. Jaring besar menutupi delapan pohon tamariska yang tinggi dan semak-semak kecil, mengelilingi kebun ara dan zaitun. Matahari bersinar sangat terik, dan kawanan burung ruaya yang datang dari pantai terdekat mencari tempat berteduh. Burung yang menghindari jaring di satu pohon hanya terbang ke pohon berikutnya dan akhirnya tertangkap. Cucunya berlari mendekati jaring dan mengambil burung tersebut, lalu salah seorang putranya mencabut bulu-terbangnya dan memasukkannya ke dalam karung plastik. Dalam 20 menit saya melihat seekor bentet punggung-merah, seekor sikatan kalung-putih, seekor sikatan kurik, seekor kepudang emas eurasia jantan, seekor cikrak, seekor kecici kepala-hitam eurasia, dua cikrak hutan, dua burung cici, dan berbagai burung lain yang tidak saya kenal masuk ke dalam karung itu. Berdasarkan perkiraan sang petani mengenai hasil tangkapannya, saya menghitung bahwa setiap tahun antara 25 Agustus sampai 25 September, dia menangkap 600 kepudang, 250 tekukur, 200 hupo tunggal, dan 4.500 burung yang lebih kecil. Tanpa hasil buruan pun pertanian itu jelas berkecukupan; perabot di kamar tamunya yang luas, tempat saya dilayani dengan keramahan khas suku Badui, tampak baru dan berkualitas tinggi.

Ke mana pun saya pergi di sepanjang pantai ini, dari Marsa Matruh hingga Ras el Barr, saya menemukan jaring seperti yang digunakan petani itu. Yang lebih dahsyat lagi jaring kabut yang digunakan untuk menangkap burung puyuh: jaring nilon super tipis, nyaris tidak bisa dilihat burung, dipasang di tiang dan terentang dari permukaan tanah hingga lebih dari tiga meter ke atas. Jaring kabut ini juga merupakan inovasi baru, mulai dipakai di Sinai sekitar 15 tahun lalu dan menyebar ke barat sampai kini menutupi seluruh pantai Mediterania Mesir. Di Sinai utara saja, jaring kabut terentang sepanjang 80 kilometer. Sepanjang jalan raya pantai di barat Sinai, jaring itu memanjang sejauh mata memandang dan melintasi kota wisata, muka hotel, dan kondominium.

Di atas kertas, banyak pantai Mesir yang merupakan kawasan lindung. Namun perlindungan burung di suaka pesisir ini hanya sebatas pemberian izin untuk memasang jaring untuk menangkapnya. Para pemilik jaring keluar sebelum fajar dan menunggu puyuh yang tiba dari seberang lautan berdesing di pantai dan menabrak jaring. Pada hari baik, jaring sepanjang setengah kilometer dapat menghasilkan 50 puyuh atau lebih. Perkiraan terendah saya, berdasarkan angka dari tahun paceklik, setiap tahun sekitar 100.000 ekor puyuh terjerat jaring kabut di pesisir Mesir saja.

Sementara puyuh menjadi semakin langka di sebagian besar Eropa, tangkapan di Mesir justru meningkat berkat penggunaan teknologi pemutar suara-burung yang makin marak. Sistem yang terbaik, Bird Sound, dengan chip digital yang menyimpan rekaman suara berkualitas tinggi seratus jenis burung, tidak boleh digunakan untuk keperluan berburu di Uni Eropa tetapi dijual bebas di toko-toko di sini. Biasanya, sekitar tiga perempat puyuh yang datang terbang melintas di atas jaring kabut, tetapi pemburu yang menggunakan Bird Sound juga dapat memikat burung yang terbang lebih tinggi; sekarang semua penjaring kabut di Sinai utara menggunakannya, beberapa bahkan juga berburu pada musim semi selain pada musim gugur. Pemburu di beberapa danau besar Mesir juga telah mulai menggunakan Bird Sound untuk menangkap seluruh kawanan itik pada malam hari.

!break!

Di tepi pantai di kota turis Baltim, saya bertemu dengan beberapa anak-anak ini. Puyuh merupakan satu-satunya burung yang boleh ditangkap pemburu dengan jaring kabut, tetapi selalu ada burung kecil lain yang ikut tertangkap atau bahkan elang yang hendak menyergap burung di jaring.