Senandung Jiwa Sungai Kampar

By , Rabu, 3 Februari 2016 | 20:23 WIB

Sungai Kampar tak hanya badan air yang meliuk di ceruk landai bumi Lancang Kuning. Sungai ini telah menjadi tulang punggung kehidupan masyarakat melayu Riau. Sementara bentang hutan gambut justru memberikan nuansa embara lain dari sekedar mengarung sungai.  Diantara nadi kehidupan itu, ombak besar selalu muncul saban akhir tahun, bono.

Husni, pria tua 76 tahun yang berpapasan dengan saya di Pulau Muda mengatakan kakeknya sangat takut dengan bono.Bila bono datang, keluarganya segera menutup pintu rumah rapat-rapat.Air merangkak naik di tiang-tiang tinggi penyangga rumah.  “Sesekali, air merendam rumah,” keluhnya.

Para pendatang diingatkan untuk membuat rumah dengan tiang kokoh yang tinggi bila tak mau tersapu air.  Kakek Husni, sudah beberapa keturunan berdiam di Pulau Muda.  Husni sendiri adalah generasi keempat.

Zaman Husni kecil, Bono digambarkan bagai sosok hantu yang menakutkan.  Kedatangannya disertai suara gemuruh yang membahana.  Gelombang pasang menenggelamkan rumah-rumah.  Saat air surut, kehidupan kembali berjalan normal.

“Tapi kini, justru bono dianggap berkah,” dia tersenyum.

Perjalanan saya ke Teluk Meranti tertahan di Pulau Muda.  Kapal Cepat Rizki Baru Express 88 harus tertambat di batas air surut bila tak mau kandas di jalan. Padahal, Teluk Meranti tak sampai satu jam lagi di depan.

Betul kata orang-orang Tanjungbatu di Pulau Kundur, tempat saya bermalam di hari sebelumnya.  Jika tak berangkat lebih pagi, kemungkinan akan tertahan di Pulau Muda dan harus menunggu bono lewat.  Jika tidak, maka kapal akan kandas.  Bila sudah kandas, kemungkinan diterjang bono dari belakang justru lebih besar.

Husni tersenyum dan menggelengkan kepala.  “Kenapa mau lihat bono?” tanya dia.

Pertanyaan yang sulit saya jawab karena sebulan sebelumnya saya sudah mencoba mengejar bono, tapi luput.  Satu-satunya alasan yang saya miliki hanyalah penasaran.  Dia tertawa mendengar alasan konyol itu.

Perahu nelayan masih hilir mudik ketika air surut.  Sebagian ada yang bermesin, tapi kebanyakan malah hanya dikayuh pendayung.  Nelayan mengangkat jaring yang dipasang sejak pagi.  Ikan-ikan berkecipak kala tersangkut jala yang diangkat ke perahu.Mereka beruntung, kata Husni, ikan masih tersedia untuk dimakan. 

Perahu-perahu masyarakat Melayu Sungai Kampar dibuat dari kayu yang mereka tebang di hutan terdekat dengan perkampungan.  Namun perahu akan sangat bermanfaat jika papan sambungan di badan perahu berada tepat dihitungan cino.!break!

“Papan perahu dihitung dari tapak di dasar perahu.  Urutannya rajo, cino, buto,” kata Husni.

Papan pertama berada di dasar perahu disebut rajo. Dilanjutkan dengan papan kedua, cino. Papan ketiga dipasang setelah itu dengan sebutan buto. Demikian seterusnya sampai pada papan terakhir di bagian atas.  Bagian atas inilah yang harus berada pada hitungancino.