Sungai Kampar tak hanya badan air yang meliuk di ceruk landai bumi Lancang Kuning. Sungai ini telah menjadi tulang punggung kehidupan masyarakat melayu Riau. Sementara bentang hutan gambut justru memberikan nuansa embara lain dari sekedar mengarung sungai. Diantara nadi kehidupan itu, ombak besar selalu muncul saban akhir tahun, bono.
Husni, pria tua 76 tahun yang berpapasan dengan saya di Pulau Muda mengatakan kakeknya sangat takut dengan bono.Bila bono datang, keluarganya segera menutup pintu rumah rapat-rapat.Air merangkak naik di tiang-tiang tinggi penyangga rumah. “Sesekali, air merendam rumah,” keluhnya.
Para pendatang diingatkan untuk membuat rumah dengan tiang kokoh yang tinggi bila tak mau tersapu air. Kakek Husni, sudah beberapa keturunan berdiam di Pulau Muda. Husni sendiri adalah generasi keempat.
Zaman Husni kecil, Bono digambarkan bagai sosok hantu yang menakutkan. Kedatangannya disertai suara gemuruh yang membahana. Gelombang pasang menenggelamkan rumah-rumah. Saat air surut, kehidupan kembali berjalan normal.
“Tapi kini, justru bono dianggap berkah,” dia tersenyum.
Perjalanan saya ke Teluk Meranti tertahan di Pulau Muda. Kapal Cepat Rizki Baru Express 88 harus tertambat di batas air surut bila tak mau kandas di jalan. Padahal, Teluk Meranti tak sampai satu jam lagi di depan.
Betul kata orang-orang Tanjungbatu di Pulau Kundur, tempat saya bermalam di hari sebelumnya. Jika tak berangkat lebih pagi, kemungkinan akan tertahan di Pulau Muda dan harus menunggu bono lewat. Jika tidak, maka kapal akan kandas. Bila sudah kandas, kemungkinan diterjang bono dari belakang justru lebih besar.
Husni tersenyum dan menggelengkan kepala. “Kenapa mau lihat bono?” tanya dia.
Pertanyaan yang sulit saya jawab karena sebulan sebelumnya saya sudah mencoba mengejar bono, tapi luput. Satu-satunya alasan yang saya miliki hanyalah penasaran. Dia tertawa mendengar alasan konyol itu.
Perahu nelayan masih hilir mudik ketika air surut. Sebagian ada yang bermesin, tapi kebanyakan malah hanya dikayuh pendayung. Nelayan mengangkat jaring yang dipasang sejak pagi. Ikan-ikan berkecipak kala tersangkut jala yang diangkat ke perahu.Mereka beruntung, kata Husni, ikan masih tersedia untuk dimakan.
Perahu-perahu masyarakat Melayu Sungai Kampar dibuat dari kayu yang mereka tebang di hutan terdekat dengan perkampungan. Namun perahu akan sangat bermanfaat jika papan sambungan di badan perahu berada tepat dihitungan cino.!break!
“Papan perahu dihitung dari tapak di dasar perahu. Urutannya rajo, cino, buto,” kata Husni.
Papan pertama berada di dasar perahu disebut rajo. Dilanjutkan dengan papan kedua, cino. Papan ketiga dipasang setelah itu dengan sebutan buto. Demikian seterusnya sampai pada papan terakhir di bagian atas. Bagian atas inilah yang harus berada pada hitungancino.
“Cino berarti giat bekerja, rajin, terampil dan bisa mendatangkan rezeki,” ucapnya.
Rajo (raja) berdasarkan sifatnya hanya bisa memerintah dan tidak bisa bekerja. Kalau berakhir dengan rajo, lanjut Husni, biasanya perahu akan banyak tingkahnya. Perahu dengan hitungan papan seperti ini tidak mendatangkan keuntungan, justru pemiliklah yang harus melayaninya.
Sementara buto (buta), pada dasarnya tidak bisa kemana-mana dan kerap rusak. Perahu walaupun bisa digunakan untuk usaha, tapi akan banyak sekali pengeluaran untuk memperbaikinya.
Selain hitungan papan, masyarakat juga mempertimbangkan jenis sambungan kayu. Sambungan diusahakan tidak tepat berada di tulang perahu. Jika sambungan tepat berada di tulang perahu, maka biasanya perahu tak berumur panjang.
Bicara banyak tentang kepercayaan masyarakat melayu Riau membuat perjalanan saya terasa singkat. Di beberapa warung yang saya singgahi, warga juga menceritakan tentang peruntungan baik jika si perahu dicegat ditengah jalan untuk mengangkut orang sakit. Saya membayangkan betapa jiwa sosial sudah terbentuk sedemikian rupa.
Masyarakat juga percaya, hewan yang melahirkan di dalam perahu yang sedang sandar juga membawa peruntungan baik. Terutama kucing, dipercaya akan membawa berkah berkepanjangan bagi si pemilik perahu.
Di lapangan kecil di Desa Teluk Meranti, anak-anak bersuka ria. Seorang anak, tampaknya dia yang paling belia diantara anak-anak yang bermain, meluncur mulus diatas papan selancar.
Saya terkesima, ketika Ubay, anak kecil itu berdiri dan merentangkan tangan menjaga keseimbangan. Sementara papan selancar limbung karena ombak buatan yang tidak stabil. Beberapa anak yang lebih besar berada di belakang Ubay, mereka berlari membungkuk mendorong papan seluncur hingga menghasilkan ombak.!break!
Menurut Ubay, jika pasang naik, dia dan kakak-kakak sepermainannya berlatih menunggang bono.
“tak bose bono ‘e,” katanya dalam logat Melayu yang kental. Dia seolah menegaskan jika ombak yang dia tunggangi bukanlah ombak besar.
Ubay dan kawan-kawan masih bercengkrama kala senja merambat turun. Para orang tua di sekitar pemukiman memanggil anak-anak pulang.
Saya masih membayangkan berpuluh tahun lalu ketika kakek Husnimerinding ketakutan saat bonomenerjang, tapi kini justru anak-anak menjadikan ombak sebagai maninan. Sebuah peralihan cara berpikir yang patut ditelusuri.
Sungai Kampar mengalir tenang ke hilir kala bono berlalu. Saya melewatkan kesempatan pertama berjumpa langsung dengan bono di hari itu.
Hutan sekunder memeriahkan pemandangan bentang alam yang samar tertutup kabut. Di kejauhan seberang sungai, pohon nipah melambai seiring tiupan angin. Saya masih ingin berlama-lama, tapi sebentar lagi gelap memeluk alam.
Di Desa Teluk Meranti setidaknya ada tiga tempat penginapan yang bisa disewa. Tapi Manejer Restorasi Ekosistem Riau (RER), Muhammad Iqbal menyarankan saya menginap di komplek perumahan RER yang tak jauh dari pusat desa.
Berbagi kisah dengan Iqbal mungkin ada hal menarik yang dapat saya lakukan melewati malam. Apa lagi ada pesta bakar ikan malam itu. Jadi, untuk apa membuang waktu? Perahu bermesin yang saya tumpangi menerjang hujan di samarnya senja.
Iqbal menceritakan potensi wisata bono yang dapat dikembangkan menjadi wisata dunia. Tahun 2013, kisahnya, sebuah festival digelar guna mempromosikan bono. tapi sayang, festival ini hanya berlangsung sekali.
Para peselancar ombak sungai dari berbagai negara turut hadir. Para pemuda Teluk Meranti juga sudah mulai belajar berselancar. Sejak itulah usaha penginapan mulai tumbuh.!break!
“Tapi kalau hanya menunggu bono, tentu semenanjung Kampar hanyalah sebuah daratan rawa gambut yang dipadati oleh tutupan hutan dan tanaman industri,” kata Iqbal.
Kini, RER mencoba melihat lebih dari sekedar bono. Inisiatif ini dimulai dikembangkan untuk melihat keragaman kekayaan hayati dan keunikan bentang alam.
Saya menikmati penelusuran hutan gambut bersama Iqbal pada kesempatan kunjungan saya yang pertama di bulan November. Aliran sungai-sungai kecil di dalam kawasan menjadi pemandangan alam yang menakjubkan.
Bertemu dengan masyarakat lokal menjadikan saya sadar bahwa kekayaan ini tak seharusnya hilang lantaran kebakaran hutan. Karena sesungguhnya kebakaran bisa dikelola dengan menjaga muka air tetap berada pada ambang yang memungkinkan untuk mencegah api.
“Konsekuensinya, pertumbuhan tanaman industri akan melambat. Tapi dalam jangka panjang justru itu lebih menguntungkan ketimbang habis dilalap api,” kata Iqbal.
Akasia muda melambai tersapu angin. Kenyataan yang tak dapat dihindari dari konsep pengelolaan bentang alam yang diserahkan pada kebutuhan pasar kayu. Tapi Sungai Kampar justru tak sebatas itu. Saya berkesempatan menikmati suara walet dari rumah-rumah yang sengaja disiapkan bagi jenis ini.
Walet telah menjadi sandaran kehidupan sebagian warga. Saya bertemu pemilik rumah walet di Teluk Meranti, saya memanggilnya Koko.
Dua bangunan bertingkat telah dia buat guna menjaring walet bersarang. Dibagian bawah, Koko memasang tapak rumah yang aman dari serangan tikus. Rekaman kicauan walet diputar terus-menerus.
Sayangnya, saya hanya dapat melihat rumah walet dari luar. Koko tak mengizinkan siapapun masuk walaupun dari kalangan keluarga sendiri. Menurutnya, walet akan pindah jika merasa tidak nyaman. Walau masih penasaran dengan bagian dalam rumah walet, tapi saya menghargai keputusan itu, walau hanya untuk sekedar mendapatkan foto.
Koko memperlihatkan sarang walet berkualitas baik seharga Sembilan juta rupiah per kilogramnya.Mangkuk sarang yang melengkung sempurna bewarna pitih bersih menjadikan harga jualnya lebih tinggi.Ini menjadi pengalaman baru bagi saya belajar tentang kehidupan walet yang selama ini hanya saya dapatkan dari bahan bacaan.
Tapi sesungguhnya saya masih menyimpan rasa penasaran untuk berada di tengah kepungan bono.saya kembali ke rumah Ubay untuk sekedar bercengkarama dengan anak-anak yang tengah membersihkan papan selancar.!break!
Mereka telah tumbuh menjadi generasi yang akan melanjutkan petualangan-petualangan seru ayahnya ketika menunggang bono. Ayah Ubay seorang peselancar, dia ingin seperti ayahnya. Dari Ubay pula saya mendapat kabar jika sang ayah akan berselancar siang nanti.
Masih terlalu pagi ketika saya harus menantikan bono.Saya memutuskan ikut dalam rombongan memacing.Rombongan ini adalah para pemuda setempat yang turut menanti kedatangan bono.
“Banyak ikan disini,” kata mereka ramah.
Ikan Toman sebesar betis orang dewasa yang saya kudap kemaren malam menggelepar di pikiran saya.Sungai Kampar menyediakan tempat hidup bagi jenis-jenis ikan sungai termasuk patin, baung serta udang.
Namun entah mengapa ikan tak kunjung menyangkut di mata pancing.Sementara umpan yang mereka bawa sudah mulai berkurang.Ikan-ikan berukuran kecil yang berhasil ditangkap harus dikorbankan sebagai umpan.
Tak kuasa mengusir bosan, saya mengalihkan pandangan pada sampan-sampan yang lalu lalang.Para nelayan menggunakan sampan berbagai ukuran. Lalu lintas sampan sudah mencapai kesetimbangannya, sampan besar akan memperlambat lajunya ketika berpapasan dengan sampan kecil guna menghindari gelombang besar. Adab masyarakat sungai betul-betul membuat saya sadar bahwa saling menghormati merupakan nilai yang seharusnya dimiliki semua orang. Saya tersenyum ketika membayangkan adab lalu lintas di kota yang sudah tergerus.
Lamunan saya tiba-tiba buyar manakala seseorang berteriak, bono!
Dari kejauhan, bono terlihat seperti garis putih lurus yang melintang di tengah sungai.Air sungai kecokelatan kontras dengan buih besar yang muncul ke permukaan.Di sisi sungai, hijau dedaunan terkesan sejuk.Pemandangan yang baru kali ini saya saksikan sepanjang hidup. Jaraknya mungkin masih berkilo meter di hadapan saya.
Garis bono terus merambat maju menuju hulu.Saya memerhatikan dari jauh, bahkan suaranyapun tak terdengar. Saya dalam penantian yang cukup lama sementara sampan nelayan masih hilir mudik.Mereka menambah kecepatan. Sampan kecil merapat ke pinggir karena tak mau diterpa gelombang.
Lima menit berlalu saat garis putih di tengah sungai itu hilang, saya kelihatan bodoh ketika menanyakannya kepada para pemuda.
Menurut mereka, gelombang bono bisa saja hilang ditengah jalan jika sampai pada bagian sungai yang dalam. Bono justru terbentuk pada permukaan sungai yang dangkal.Gelombang tercipta karena arus sungai yang turun dari hulu berbenturan dengan arus yang datang dari hilir. Dengan dasar sungai yang tidak rata, bono bisa hilang dan timbul kembali.!break!
“Ada setidaknya dua belas titik kemunculan bono disepanjang sungai, tujuh diantaranya ada di Teluk Meranti,” kata mereka.
Sekelompok peselancar, saya tahu satu diantaranya adalah ayahnya Ubay, menunggu sambil berendam. Perahu bermesin yang mengantar mereka tampak berada di depan. Kelompok ini telah mengatur jarak agar tidak berbenturan kala bono menghampiri.
Saat bono mendekat, saya merasakan jatung berdenyut dengan cepat.Antara cemas dihantam gelombang besar, bercampur dengan rasa senang karena dikepung fenomena alam yang tak biasa.Tak banyak gelombang sungai yang dapat dijadikan arena berselancar. Selain di Kampar, lainnya yang saya tahu ada di Amazon dan Borneo.
Pengemudi perahu mesin yang saya tumpangi tampak terlatih.Dia menempatkan perahu pada sisi yang tidak terlalu jauh dengan bono, tapi masih punya harapan untuk melarikan diri.Itu membuat saya merasa lebih aman.
Suara bono telah mulai bergemuruh sekitar seratus meter di depan saya. Para peselancar sudah siap diposisinya.Mereka telungkup diatas papan selancar sembari mengayuhkan tangan.
Suasana berubah ketika bono benar-benar mendekat.Air sungai di bawah perahu saya tersedot kencang ke hilir, sementara bono sudah menanti dua meter tingginya. Pengemudi perahu memutar tuas gas semakin kuat, kami melarikan diri ke hulu.
Bono tepat berada di belakang saya manakala para peselancar memulai aksinya. Tiga orang peselancar beriringan lama. Mereka mencoba berdiri, tapi gelombang membuat mereka mengurungkan niat. Kecuali itu, seorang peselancar lain sudah berhasil berdiri diatas papan. Dia menunggang bono, saya berteriak menyemangati.
Ayah Ubay mengacungkan jempol tinggi-tinggi pada saya ketika perahu menjemputnya di tengah sungai. Dari jauh saya melihat dia tersenyum. Mungkin itu adalah senyum masa depan Ubay sebagai peselancar tangguh di sungai ini, sekaligus membawa kemaslahatan bagi kampungnya, Teluk Meranti.