Dari kejauhan, bono terlihat seperti garis putih lurus yang melintang di tengah sungai.Air sungai kecokelatan kontras dengan buih besar yang muncul ke permukaan.Di sisi sungai, hijau dedaunan terkesan sejuk.Pemandangan yang baru kali ini saya saksikan sepanjang hidup. Jaraknya mungkin masih berkilo meter di hadapan saya.
Garis bono terus merambat maju menuju hulu.Saya memerhatikan dari jauh, bahkan suaranyapun tak terdengar. Saya dalam penantian yang cukup lama sementara sampan nelayan masih hilir mudik.Mereka menambah kecepatan. Sampan kecil merapat ke pinggir karena tak mau diterpa gelombang.
Lima menit berlalu saat garis putih di tengah sungai itu hilang, saya kelihatan bodoh ketika menanyakannya kepada para pemuda.
Menurut mereka, gelombang bono bisa saja hilang ditengah jalan jika sampai pada bagian sungai yang dalam. Bono justru terbentuk pada permukaan sungai yang dangkal.Gelombang tercipta karena arus sungai yang turun dari hulu berbenturan dengan arus yang datang dari hilir. Dengan dasar sungai yang tidak rata, bono bisa hilang dan timbul kembali.!break!
“Ada setidaknya dua belas titik kemunculan bono disepanjang sungai, tujuh diantaranya ada di Teluk Meranti,” kata mereka.
Sekelompok peselancar, saya tahu satu diantaranya adalah ayahnya Ubay, menunggu sambil berendam. Perahu bermesin yang mengantar mereka tampak berada di depan. Kelompok ini telah mengatur jarak agar tidak berbenturan kala bono menghampiri.
Saat bono mendekat, saya merasakan jatung berdenyut dengan cepat.Antara cemas dihantam gelombang besar, bercampur dengan rasa senang karena dikepung fenomena alam yang tak biasa.Tak banyak gelombang sungai yang dapat dijadikan arena berselancar. Selain di Kampar, lainnya yang saya tahu ada di Amazon dan Borneo.
Pengemudi perahu mesin yang saya tumpangi tampak terlatih.Dia menempatkan perahu pada sisi yang tidak terlalu jauh dengan bono, tapi masih punya harapan untuk melarikan diri.Itu membuat saya merasa lebih aman.
Suara bono telah mulai bergemuruh sekitar seratus meter di depan saya. Para peselancar sudah siap diposisinya.Mereka telungkup diatas papan selancar sembari mengayuhkan tangan.
Suasana berubah ketika bono benar-benar mendekat.Air sungai di bawah perahu saya tersedot kencang ke hilir, sementara bono sudah menanti dua meter tingginya. Pengemudi perahu memutar tuas gas semakin kuat, kami melarikan diri ke hulu.
Bono tepat berada di belakang saya manakala para peselancar memulai aksinya. Tiga orang peselancar beriringan lama. Mereka mencoba berdiri, tapi gelombang membuat mereka mengurungkan niat. Kecuali itu, seorang peselancar lain sudah berhasil berdiri diatas papan. Dia menunggang bono, saya berteriak menyemangati.
Ayah Ubay mengacungkan jempol tinggi-tinggi pada saya ketika perahu menjemputnya di tengah sungai. Dari jauh saya melihat dia tersenyum. Mungkin itu adalah senyum masa depan Ubay sebagai peselancar tangguh di sungai ini, sekaligus membawa kemaslahatan bagi kampungnya, Teluk Meranti.