Senandung Jiwa Sungai Kampar

By , Rabu, 3 Februari 2016 | 20:23 WIB

Cino berarti giat bekerja, rajin, terampil dan bisa mendatangkan rezeki,” ucapnya.

Rajo (raja) berdasarkan sifatnya hanya bisa memerintah dan tidak bisa bekerja.  Kalau berakhir dengan rajo, lanjut Husni, biasanya perahu akan banyak tingkahnya.  Perahu dengan hitungan papan seperti ini tidak mendatangkan keuntungan, justru pemiliklah yang harus melayaninya.

Sementara buto (buta), pada dasarnya tidak bisa kemana-mana dan kerap rusak.  Perahu walaupun bisa digunakan untuk usaha, tapi akan banyak sekali pengeluaran untuk memperbaikinya.

Selain hitungan papan, masyarakat juga mempertimbangkan jenis sambungan kayu.  Sambungan diusahakan tidak tepat berada di tulang perahu.  Jika sambungan tepat berada di tulang perahu, maka biasanya perahu tak berumur panjang.

Bicara banyak tentang kepercayaan masyarakat melayu Riau membuat perjalanan saya terasa singkat.  Di beberapa warung yang saya singgahi, warga juga menceritakan tentang peruntungan baik jika si perahu dicegat ditengah jalan untuk mengangkut orang sakit.  Saya membayangkan betapa jiwa sosial sudah terbentuk sedemikian rupa.

Masyarakat juga percaya, hewan yang melahirkan di dalam perahu yang sedang sandar juga membawa peruntungan baik.  Terutama kucing, dipercaya akan membawa berkah berkepanjangan bagi si pemilik perahu.

Di lapangan kecil di Desa Teluk Meranti, anak-anak bersuka ria.  Seorang anak, tampaknya dia yang paling belia diantara anak-anak yang bermain, meluncur mulus diatas papan selancar.

Saya terkesima, ketika Ubay, anak kecil itu berdiri dan merentangkan tangan menjaga keseimbangan.  Sementara papan selancar limbung karena ombak buatan yang tidak stabil.  Beberapa anak yang lebih besar berada di belakang Ubay, mereka berlari membungkuk mendorong papan seluncur hingga menghasilkan ombak.!break!

Menurut Ubay, jika pasang naik, dia dan kakak-kakak sepermainannya berlatih menunggang bono.

tak bose bono ‘e,” katanya dalam logat Melayu yang kental.  Dia seolah menegaskan jika ombak yang dia tunggangi bukanlah ombak besar.

Ubay dan kawan-kawan masih bercengkrama kala senja merambat turun.  Para orang tua di sekitar pemukiman memanggil anak-anak pulang.

Saya masih membayangkan berpuluh tahun lalu ketika kakek Husnimerinding ketakutan saat bonomenerjang, tapi kini justru anak-anak menjadikan ombak sebagai maninan.  Sebuah peralihan cara berpikir yang patut ditelusuri.