Imbalan bagi Jasa Alam

By , Rabu, 20 April 2016 | 16:29 WIB

Selain wisata, kawasan ini juga menjadi daerah tangkapan air bagi wilayah sekitarnya. Komponen 3 mengulik dua pengguna air komersial di sekitar Tangkuban Parahu, yaitu PT Sinkona Indonesia Lestari dan PT Perkebunan Nusantara VIII.

Kedua perusahaan itu mengambil air (intake) dari Sungai Cikoneng-Cimuja.Debit air sungaiinipada bulan November sekitar 504 liter setiap detik. Sementara itu, Perum Jasa Tirta II mencatat debit pada musim hujan: 600 liter danpada musim kemarau, turun menjadi 200 liter setiap detik.Nilai ekonomi air Sungai Cimuja berdasarkan survei Komponen 3 sekitar Rp4,7 miliar per tahun.

Sinkona Indonesia adalah perusahaan pengolahan kulit kina untuk bahan obat-obatan tujuan ekspor. Bahan bakunya diperoleh dari suplai domestik 40 persen, dan 60 persen diimpor dari Afrika. Dalam proses produksinya, termasuk untuk kebersihan dan konsumsi, Sinkona membutuhkan air rata-rata 166,2 meter kubikper hari. Kebutuhan ini dapat dipenuhi sepanjang tahun dari sumber air Cikoneng-Cimuja. Investasi yang dikeluarkan—termasuk pemeliharaan dan izin—untuk mengalirkan air sampai dengan dapat dimanfaatkan senilai Rp212 juta atau Rp 42,4 juta per tahun. Kerelaan membayar atau WTP Sinkona: Rp 666,1.

Sementara itu, Perkebunan Nusantara VIII—kerap disebut perkebunan teh Ciater, adalah perusahaan negara penghasilteh kualitasekspor, yang dikenal dengan nama Teh Walini.Dalam proses produksinya, perkebunan membutuhkan air untuk mencuci daun teh petikan. Air yang dibutuhkan rata-rata 93,32 meter kubik perhari. Investasi yang dikeluarkan untuk mengalirkan air sampai di pabrik sebesar Rp53 juta atau Rp10,6 juta per tahun. Nilai kesanggupan membayar atau WTP perkebunan teh ini adalah Rp314,58.!break!

Menariknya, kedua perusahaan ini memperoleh izin pemanfaatan air dari Perum Jasa Tirta III, dan membayar retribusi air kepada Kabupaten Subang. Kepada tim Komponen 3, manajemen Sinkona dan perkebunan teh Ciatermenyatakan bersedia berkontribusi untuk penyedia jasa lingkungan air.

Masigit Kareumbi bagaikan etalase yang bisa menunjukkan secara kasat mata jasa lingkungan air yang merembet langsung dari kawasan konservasi. Ekosistem taman buruini menyangga kehidupan di tiga kabupaten: Garut, Sumedang dan Bandung. Sungai Citarik, yang melintasi taman buru,mengalir jauh, melewati permukiman, kawasan industi, perkotaan dan persawahan.

Dengan begitu, selain mengayomi aneka jenis tumbuhan dan satwa, Masigit Kareumbi sudah pasti merupakan daerah tangkapan air bagi daerah sekitarnya. Di dalam kawasan ini terdapat sekitar selusin sumber air serta aliran Sungai Cideres, Citarik dan Cimulu.

Posisinya yang termasuk dalam hulu Sungai Citarum, membuat Masigit Kareumbi menjadi kawasan penting bagi pembangunan.Sayangnya, sesuai kajian Komponen 3, populasi manusia mengepungMasigit Kareumbi.

Di samping tekanan penduduk, lahan kritis dan kerusakan lingkungan mendera daerah tangkapan airMasigit Kareumbi dan sekitarnya. Hal itumakin menegaskan betapa penting upaya konservasi daerah tangkapan air di kawasan konservasi untuk menjaga keseimbangan lingkungan.

Kajian Komponen 3 menemukan bahwa masyarakat di bagian hilir, di Sindang Pakuon, Cimanggung, Kabupaten Sumedang, memanfaatkan Sungai Citarik untuk air bersih desa. Pengelolaannya dilakukan oleh Perusahaan Air Minum Desa (Pamdes) Tirta Pakuon.Sementara itu, warga Desa Cihanjuang, Cimanggung, Kabupaten Sumedang, memanfaatkan mata air Bihbul, yang daerah resapannya berasal dari Masigit Kareumbi. Pengelolaan air diemban oleh dua lembaga: Pamdes Maju Makmur dan Mitra Sejahtera.

Pengembangan lembaga perusahaan air desa ini didukung oleh Corporate Social Resposibility (CSR) Coca-cola, Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM-Mandiri) dan dana bantuan lainnya. Dukungan dana bagi pengembangan lembaga pengelola air itu menandakanair menjadi kebutuhan utama bagi masyarakat setempat.

Memang, di balik pemanfaatan air itu terselip riwayat muram paceklik air.Sebelum ada perusahaan air minum desa, selama puluhan tahun masyarakatSindang Pakuon dan Cihanjuang selalu kesulitan air saat musim kemarau. Upaya membuat sumur gali tak banyak menolong.Selain telah tercemar limbah, pada musim kemarau sumur-sumur juga mengering. Paceklik itu membuka inisiatif:warga ingin menangguk air bersih di daerahnya. Untuk itu,warga mencari sumber air yang bisa memenuhi kebutuhan air bersih.Alhasil, dua desa itu memanfaatkan mata air Bihbul dan Sungai Citarik.