Akhir pekan di Taman Buru Masigit Kareumbi: puluhan mahasiswa dan mahasiswi itu menyesaki kafetaria. Sebagian mereka terkapar di teras, yang lain berbincang ringan di dalam kafe.
Sementara itu, rombongan yang lain telah mendirikan tenda penuh warna di tanah lapang. Dua-tiga orang mengail ikan di sungai yang mengalir di belakang kafetaria.
Siang itu, alam Masigit Kareumbi meruapkan berlimpah jasa lingkungan yang bisa direguk para pengunjung. Hawa sejuk, air jernih, udara bersih. Manfaatnyamemang lokal.
Namun, sebatang sungai yang mengalirdi taman buru ini memberi tengara:manfaat jasa lingkunganmelintasi batas-batas kawasan. Sungai dari sub-Daerah Aliran Sungai Citarik itu menjadi bagian dari Daerah Aliran Sungai Citarum. Dan dari Sungai Citarik pula, air mengalir sampai jauh, melintasi desa-desa, permukiman, persawahan.
Sungai selebar lima meter itu menjadi batas alam tiga kabupaten: Sumedang, Garut dan Bandung. Titik batas segitiga wilayah itu sekaligus simbol bahwa jasa lingkungan Masigit Kareumbi berputar ke berbagai penjuru.
Barangkali manfaat jasa lingkungan itu terlihat samar. Tapi lihatlah kiprah Citarum Watershed Management and Biodiversity Conservation (CWMBC). Melalui aktivitas Komponen 3, program CWMBC membuka tabir jasa lingkungan kawasan konservasi yang menaungi Kota Bandung telah menghembuskan kehidupan ke segala penjuru.
Anugerah alam dari kawasan konservasi memberkahi manusia dengan berlimpah oksigen, udara bersih, dan air.Dengan demikian, jasa lingkungan membuka peluang untuk melibatkan para penyedia dan pemanfaatnya dalam konservasi keanekaragaman hayati.
Dalam konteks itu, Komponen 3 berupaya mengembangkanimbal jasa lingkungan air (IJLA, atau payment for enviroment services [PES]) di sekitar kawasan konservasi. Upaya ini menautkan masyarakat di hulu, tengah dan hilir untuk bergabung dalam kontribusi besar: melestarikankeanekaragaman hayati.Komponen 3 diharapkan juga memberikan rekomendasi berapa Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang layak untuk setiap komoditas jasa lingkungan.
Untuk membuat gamblang jasa lingkungan dari hutan konservasi, Komponen 3 mengkaji pemanfaatanair.Observasi dilakukan ditiga kawasan: Cagar Alam Gunung Burangrang, Cagar Alam dan Taman Wisata Alam Tangkuban Parahu, dan Taman Buru Masigit Kareumbi.
Kajianini untuk membilangnilai jasa lingkungan air yang dimanfaatkan secara non-komersial dan komersial. Kajiandilakukan terhadap nilai ekonomi sumber air dan kesediaan untuk membayar para pemanfaatnya (atau willingness to pay-WTP).
Secara umum, kemauan membayar berartikesanggupan pemanfaat atau konsumen membayarkan sejumlah dana untuk memperoleh barang atau jasa. Nilai ‘kemauan membayar’adalah harga maksimum dari barang atau jasa yang dibeli konsumen pada waktu tertentu. Buat memahami ‘kemauan membayar’ konsumen,titik awalnyadimulai dari azaskemanfaatan: seberapa puaskonsumen terhadap barang atau jasa pada waktu tertentu. Kesanggupan membayar inilah yang dikaji oleh tim Komponen 3.
Di sekitar Cagar Alam Burangrang kajian dilakukan di enam desa. Mari mengunjungi Cihanjawar. Nama desa ini berasal dari nama sungai yang bermula dari air terjun di Cagar Alam Gunung Burangrang. Sungai ini memasok air irigasi persawahan Cihanjawar.
Kendati debit airnya berkurang dimusim kemarau, tetapi sungai ini tak pernah kering sepanjang tahun. Debit aliran Sungai Cihanjawar yang 285 liter per detik cukup besar untuk mengairi lahan pertanian. Tidak mengherankan, sawah Cihanjawar rata-rata panen tiga kali setahun.
Sedangkan kebutuhan air bersih masyarakat Cihanjawar dan desa-desa lainnya dipenuhi dari mata air yang berada di luar cagar alam. Ada enam sumber mata air utama di Cihanjawar: Cisalada, Kubang, Cibadak, Pemandian Kuda, dan Citengah.
Masyarakat memahami Gunung Burangrang telah menyimpan dan melanggengkan mata-mata air. Hal itu menumbuhkan perhatian dan kepedulian masyarakatterhadap kelestarian Cagar Alam Gunung Burangrang.
Pengelolaan air bagi rumah tangga di sekitar Gunung Burangrang dikelola oleh petugas khusus, yang memantau kelancaran air bersih. Iuran air bersih umumnyaRp3.000 per bulan. Iuran ini lebih rendah dari usulan pihak desa yang sebesar Rp5.000.!break!
Sayangnya, kesadaran masyarakat untuk membayar iuranmasih rendah. Itu karena sebagian masyarakat masihberpenghasilan rendah, dan terbiasa memanfaatkan air secara gratis. Kendati ada kesadaran kelestarian air menjadi tanggung jawab bersama, masyarakat memandang pemanfaatan air tak perlu dikenakan biaya.Tidak mengejutkan bila gagasan pemerintah desa ihwal iuran air Rp5.000 per bulan bertepuk sebelah tangan. Sebagian besar warga hanya menyanggupi Rp3.000.
Tidak berbeda dengan Cihanjawar, pengelolaan air di Sakambang juga dikendalikan oleh pengurus air. Enam sumber air menyokong kebutuhan air Sakambang: Cimenteng, Cipondoh, Ciputat, Ciburial, Ciandon, Sawah Lega. Setiap mata air digunakan secara merata oleh rukun tetangga dan rukun warga.
Begitu juga Pesanggrahan.Untuk memenuhi kebutuhan air rumah tangga, desa ini memanfaatkan mata air: Darmaga, Tajur 1 dan Tajur 2.
Desa-desa lain, sepeti Bojong Timur, Nagrog, dan Cibuntu, memanfaatkan mata air yang dikelola oleh pengurus. Desa terakhir, Cibuntu, merupakanpemekaran Desa Sumurugul. Pasokan air untuk rumah tangga berasal dari Sumurugul, yang bersumber dari Blok Tegal Lega Cagar Alam Gunung Burangrang.
Perusahaan Daerah Air Minum Purwakarta juga melirik berlimpahnya sumber air dari Cagar Alam Gunung Burarang. Perusahaan air minum itu membanguninstalasi pipa yang melintasi Cihanjawar, Sakambang, sampai pusat kecamatandi Wanayasa. Pemanfaatan Sungai Cihanjawar itu untuk memenuhi kebutuhan air bersih di desa-desa di dua kecamatan: Wanayasa dan Bojong.
Taksiran nilai ekonomi Sungai Cihanjawarsekitar Rp3,05 miliar per tahun. Taksiran itu hasil perkalian nilai air tanah per meter kubik:Rp340 kali debit tahunan Sungai Cihanjawar. Nilaiini akan lebih besar jikamemakai tarif dasar PDAM di Pasir Angin yang senilai Rp1.200 per kubik. Nilainya menjadi sekitar Rp10,8 per tahun.
Kawasan ini lekat dengan legenda Sunda: kisah Sangkuriang. Menjulang 2.084 meter dari permukaan laut, Tangkuban Parahumembayang indah di utara Kota Bandung. Gunung stratovulkano ini dikelola Balai Besar KSDA Jawa Barat sebagaicagar alam dan taman wisata alam. Sebagian bentang alam Tangkuban Parahu juga berfungsi sebagai hutan lindung dan hutan produksi yang dikelolaPerhutani.
Gemunung yang menaungi kota ini memunculkan teori bahwadataran tinggi Bandungmerupakan sisa danau purba yang terbentuk dari pembendungan Sungai Citarum purba oleh letusan Gunung Sunda. Salah satu relik Gunung Sunda purba ini adalah Gunung Tangkuban Parahu. Kenangan masyarakat Sunda terhadap kawasan Gunung Sunda purba diyakini mengendap dalam folkore Sangkuriang.
Dataran tinggi ini tak lekang diselimuti halimun dengan kepulan asap solfatara dari dasar kaldera.Setiap akhir pekan, wisatawan tumpah ruah di bibir kawah Tangkuban Parahu. Wisata alam ini salah satu wujud pemanfaatan jasa lingkungan aktivitas vulkanik. Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari Tangkuban Parahu cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Sepanjang 2007 sampai 2009, PNBP masih di bawah Rp1 miliar per tahun. Namun sejak 2010 penerimaan negara cenderung di atas Rp1 miliar setahun.
Selain wisata, kawasan ini juga menjadi daerah tangkapan air bagi wilayah sekitarnya. Komponen 3 mengulik dua pengguna air komersial di sekitar Tangkuban Parahu, yaitu PT Sinkona Indonesia Lestari dan PT Perkebunan Nusantara VIII.
Kedua perusahaan itu mengambil air (intake) dari Sungai Cikoneng-Cimuja.Debit air sungaiinipada bulan November sekitar 504 liter setiap detik. Sementara itu, Perum Jasa Tirta II mencatat debit pada musim hujan: 600 liter danpada musim kemarau, turun menjadi 200 liter setiap detik.Nilai ekonomi air Sungai Cimuja berdasarkan survei Komponen 3 sekitar Rp4,7 miliar per tahun.
Sinkona Indonesia adalah perusahaan pengolahan kulit kina untuk bahan obat-obatan tujuan ekspor. Bahan bakunya diperoleh dari suplai domestik 40 persen, dan 60 persen diimpor dari Afrika. Dalam proses produksinya, termasuk untuk kebersihan dan konsumsi, Sinkona membutuhkan air rata-rata 166,2 meter kubikper hari. Kebutuhan ini dapat dipenuhi sepanjang tahun dari sumber air Cikoneng-Cimuja. Investasi yang dikeluarkan—termasuk pemeliharaan dan izin—untuk mengalirkan air sampai dengan dapat dimanfaatkan senilai Rp212 juta atau Rp 42,4 juta per tahun. Kerelaan membayar atau WTP Sinkona: Rp 666,1.
Sementara itu, Perkebunan Nusantara VIII—kerap disebut perkebunan teh Ciater, adalah perusahaan negara penghasilteh kualitasekspor, yang dikenal dengan nama Teh Walini.Dalam proses produksinya, perkebunan membutuhkan air untuk mencuci daun teh petikan. Air yang dibutuhkan rata-rata 93,32 meter kubik perhari. Investasi yang dikeluarkan untuk mengalirkan air sampai di pabrik sebesar Rp53 juta atau Rp10,6 juta per tahun. Nilai kesanggupan membayar atau WTP perkebunan teh ini adalah Rp314,58.!break!
Menariknya, kedua perusahaan ini memperoleh izin pemanfaatan air dari Perum Jasa Tirta III, dan membayar retribusi air kepada Kabupaten Subang. Kepada tim Komponen 3, manajemen Sinkona dan perkebunan teh Ciatermenyatakan bersedia berkontribusi untuk penyedia jasa lingkungan air.
Masigit Kareumbi bagaikan etalase yang bisa menunjukkan secara kasat mata jasa lingkungan air yang merembet langsung dari kawasan konservasi. Ekosistem taman buruini menyangga kehidupan di tiga kabupaten: Garut, Sumedang dan Bandung. Sungai Citarik, yang melintasi taman buru,mengalir jauh, melewati permukiman, kawasan industi, perkotaan dan persawahan.
Dengan begitu, selain mengayomi aneka jenis tumbuhan dan satwa, Masigit Kareumbi sudah pasti merupakan daerah tangkapan air bagi daerah sekitarnya. Di dalam kawasan ini terdapat sekitar selusin sumber air serta aliran Sungai Cideres, Citarik dan Cimulu.
Posisinya yang termasuk dalam hulu Sungai Citarum, membuat Masigit Kareumbi menjadi kawasan penting bagi pembangunan.Sayangnya, sesuai kajian Komponen 3, populasi manusia mengepungMasigit Kareumbi.
Di samping tekanan penduduk, lahan kritis dan kerusakan lingkungan mendera daerah tangkapan airMasigit Kareumbi dan sekitarnya. Hal itumakin menegaskan betapa penting upaya konservasi daerah tangkapan air di kawasan konservasi untuk menjaga keseimbangan lingkungan.
Kajian Komponen 3 menemukan bahwa masyarakat di bagian hilir, di Sindang Pakuon, Cimanggung, Kabupaten Sumedang, memanfaatkan Sungai Citarik untuk air bersih desa. Pengelolaannya dilakukan oleh Perusahaan Air Minum Desa (Pamdes) Tirta Pakuon.Sementara itu, warga Desa Cihanjuang, Cimanggung, Kabupaten Sumedang, memanfaatkan mata air Bihbul, yang daerah resapannya berasal dari Masigit Kareumbi. Pengelolaan air diemban oleh dua lembaga: Pamdes Maju Makmur dan Mitra Sejahtera.
Pengembangan lembaga perusahaan air desa ini didukung oleh Corporate Social Resposibility (CSR) Coca-cola, Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM-Mandiri) dan dana bantuan lainnya. Dukungan dana bagi pengembangan lembaga pengelola air itu menandakanair menjadi kebutuhan utama bagi masyarakat setempat.
Memang, di balik pemanfaatan air itu terselip riwayat muram paceklik air.Sebelum ada perusahaan air minum desa, selama puluhan tahun masyarakatSindang Pakuon dan Cihanjuang selalu kesulitan air saat musim kemarau. Upaya membuat sumur gali tak banyak menolong.Selain telah tercemar limbah, pada musim kemarau sumur-sumur juga mengering. Paceklik itu membuka inisiatif:warga ingin menangguk air bersih di daerahnya. Untuk itu,warga mencari sumber air yang bisa memenuhi kebutuhan air bersih.Alhasil, dua desa itu memanfaatkan mata air Bihbul dan Sungai Citarik.
Dari penuturan kepala desa Sindang Pakuon dan Cihanjuang, menunjukkan pernah terjadi konflik dalam pemanfaatan air dengan desa lain yang menjadi lokasi sumber mata air. Konflik air ini ditengarai dari adanya gangguan-gangguan pada instalasi air bersih.
Perseteruan ini menandakan adanya kompetisi pemanfaatan air.Ini terjadi karena debit air terus berkurang untuk memasokberbagai kebutuhan: domestik, industri dan pertanian. Namun, pada saat yang sama, konflik juga membuka momentum penyadaran bagi semua pihak untuk menjaga daerah tangkapan air.
Pengalaman paceklik dan konflik airmenumbuhkan kesadaran masyarakat untuk mempertahankan daerah resapan di bagian hulu. Hal ini dibuktikan dengan adanya Keputusan Kepala Desa Cihanjuang Nomor 23 Tahun 2013 tentang Kepengurusan Pamdes Maju Makmur.
Warga di dua desa itu memang berkeinginan untuk berkontribusi terhadap penyedia jasa yang berdiam di wilayah hulu. Menariknya, para pemanfaat air ini berada di luar kawasan, namun menyadari aliran air berasal dari hutan konservasi Masigit Kareumbi. Niat berkontribusi itulah bekal awal untuk imbal jasa lingkungan air.
Imbal Jasa lingkungan merupakan mekanisme pembayaran dari pemanfaat kepada penyedia jasa lingkungan hidup.Berbekal hasil valuasi jasa lingkungan air, Komponen 3 mencoba mengembangkan lembaga imbal jasa lingkungan air di kawasan penyangga Masigit Kareumbi.
Dalam mengembangkan imbal jasa ini, yang menentukan adalah keberadaan pemanfaat dan penyedia jasa lingkungan. Tanpa ada pemanfaat dan penyedia yang saling berkomitmen, mekanisme imbal jasa mustahil dapat dikembangkan.!break!
Dari Masigit Kareumbi, diharapkan muncul sebuah model imbal jasa lingkungan bagi kawasan konservasi yang dikelola Balai Besar KSDA Jawa Barat.“Kawasan ini unik. Masigit Kareumbi dikelilingi 32 desa dari sembilan kecamatan di tiga kabupaten. Sementara di kawasan lain tidak sebanyak itu. Bayangkan saja, jasa lingkungan dari kawasan konservasi seluas 12.000 hektare bisa menghidupi 32 desa,” papar Eri Midranaya, Pengendali Ekosistem Hutan Balai Besar KSDA Jawa Barat.
Untuk itu, Komponen 3 menyisir data sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat di sepanjang Sungai Citarik. Pada 2013 tim Komponen 3 telah menghasilkan peta jasa lingkungan air yang menggambarkan hubungan hulu-hilr.
Pada tahun itu juga dilaksanakan prakondisi, yang disusul pematangan hasil kajian pada 2013. Dan, pada 2014 dilakukan pematangan konsep pengembangan imbal jasa di daerah penyangga Masigit Kareumbi.
Berbekal kegatan 2014, dalam mengembangkan imbal jasa lingkungan, pada 2015 dilakukan orientasi lapangan di daerah hilir Sub-DAS Citarik yang berhulu di Masigit-Kareumbi. Salah satu kegiatannya: memetakan para pihak pemanfaat air.
Selain tiga pemanfaat air: Tirta Pakuon, Maju Makmur dan Mitra Sejahtera, di DAS Citarik terdapat pihak lain yang memanfaat air dari Masigit Kareumbi. Salah satunya PT Coca Cola Amatil Indonesia yang berdiri pada 1980-an di Cihanjuang. Perusahaan minuman ini memanfaatkan air sebagai bahan baku utama dalam proses produksinya.
Pasokan air bakunya berasal dari air tanah dengan rencana debit mencapai 50.000 meter kubik setiap bulan. Namun, rencana itu baru terealisasi sekitar 20.000 meter kubik. Sebagian besar porsi air digunakan untuk bahan baku produksi minuman ringan dan sanitasi. Sisanya, sekitar 13 persen air untuk pasokan masyarakat di sekitar pabrik.
Air tanah ditangguk dari dua titik pengeboran, yang sayangnya mulai mengalami pencemaran—khususnya unsur logam. Akibatnya, proses produksi minuman makin sulit, yang pada akhirnya meningkatkan biaya produksi.
Selain itu, debit air tanah relatif kecil dibandingkan dengan kebutuhan air baku. Untuk mencukupi kebutuhan air bakunya, PT Coca Cola akhirnya memanen air permukaan dari Sungai Cimande. Daerah tangkapan air Sungai Cimande ini membentang di kawasan Masigit Kareumbi dan sekitarnya.
Tim Komponen 3 sempat berbincang dengan manajemen PT Coca Cola Amatil Indonesia. Perusahaan transnasional ini sebenarnya terikat dengan komitmen Coca Cola Atlanta. Komitmen itu mengamanatkan perusahaan untuk berpartisipasi dalam pelestarian sumber air dan berperan dalam mengelola tanggung jawab sosial. Partisipasi yang telah dilakukan selama ini, di antaranya, baru berupa dukungan pelestarian lingkungan bersama pihak lain, seperti penanaman pohon.
Terkait imbal jasa lingkungan bagi daerah hulu, perusahaan ini merespon cukup positif. Hal ini perlu ditindaklanjuti oleh pemangku kawasan hutan dan desa-desa yang menjadi resapan air. Secara informal, Komponen 3 telah melakukan pembicaraan informal dengan Coca Cola Indonesia ihwal peluang kontribusi bagi pelestarian Masigit Kareumbi. Responnya cukup positif.
Selain Coca Cola, masih banyak pabrik-pabrik yang memanfaatkan air permukaan dari aliran sungai yang berasal dari Masigit Kareumbi. Dengan demikian, penerima manfaat jasa lingkungan air tersebut perlu dikelola dengan baik.
Pemanfaatan air dari kawasan taman buru juga menyokong perkembangan pertanian. Sungai Citarik dimanfaatkan sebagai sumber air irigasi bagi beberapa daerah. Cakupannya luas, mengairi persawahan di dua kabupaten: Bandung dan Sumedang.
Salahsatunya pengguna irigasi adalah Perkumpulan Petani Pemakai Air Ciranjeng. Daerah irigasi Ciranjeng memanfaatkan air Sungai Citarik dengan sistem bendungan air di Sindang Pakuan. Daerah irigasi ini mampu mengairi lahan pertanian sedikitnya 64 hektare:14 hektare di Kabupaten Sumedang dan 50 hektare di Kabupaten Bandung.
Kualitas air irigasi sepanjang dua kilometer setelah Bendung Ciranjeng masih lumayan bagus. Namun setelah melewati pabrik pemintalan PT Sunsilon air mulai tercemar.
Pada saat musim kemarau debit air Sungai Citarik turun sampai 80 persen dari debit normal. Alhasil, luas lahan pertanian yang terairi hanya 50 hektare. Fluktuasi debit sungai ini dipengaruhi daerah tangkapan air di bagian hulunya. Lantaran itu, konservasi daerah resapan air bagian hulu harus dilakukan dan menjadi bagian dari tanggung-jawab para pemanfaat di hilir.
Mekanisme imbal jasa lingkungan dari pemanfaat kepada kawasan hulunya menjadi pilihan bentuk kontribusi terhadap konservasi wilayah tangkapan air.
Perlahan-lahan, makin terang benderang para pihak yang memanfaatkan air dariTaman Buru Masigit Kareumbi. Kini, mari menyisir penyedia jasa lingkungan air.!break!
Tentu saja, pihak utama penyedia jasa adalah Balai Besar KSDA Jawa Barat. Tugas Balai Besar KSDA adalah menyelenggarakan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya di kawasan-kawasan konservasi yang ada di Jawa Barat.
Hanya saja, Eri Midranaya mengingat, pada prinsipnya, dalam imbal jasa, Balai Besar KSDA Jawa Barat tidak bisa menerima benefit langsung. “Tidak boleh, dan cara pandangnya tidak mencari dana.”
Jadi, papar Eri, yang diharapkan adalah kontribusi dari pemanfaat yang menyadari bahwa pasokan jasa lingkungan berasal dari kawasan konservasi. “Lantas, pemanfaat memberikan kontribusi itu kepada masyarakat di hulu. Nah, masyarakat hulu diharapkan dapat sejahtera.Yang terpenting sebenarnya ada nilai bantu dari masyarakat hilir.”
Pendek kata: imbalan darimasyarakat hilirbakal diterimamasyarakat hulu, yang lantas digunakan untuk pengembangan ekonomi dan pelestarian kawasan konservasi. “Sederhana saja, kita hanya berharap tiga kontribusi dari masyarakat hulu: melestarikan keanekaragaman hayati, mengamankan kawasan, menjaga mata air dan sungai. Yang dibutuhkan pemerintah adalah kontribusi aksi, karena kita tidak bisa menerima uang,” papar Eri.Dengan demikian, bila ada kontribusi dari masyarakat hilir, yang pantas menerima adalah komunitas di hulu.
Dan, yang diterima masyarakat hulu bukan uang receh. Ketika imbal jasa berjalan, papar Eri, danaakan masuk ke masyarakat hulu dan dibagi merata. “Uangnya tidak berbentuk receh, namun berbentuk penanaman kayu keras yang bisa dipanen. Itu hanya satu contoh, bentuknya bisa macam-macam asal ramah lingkungan dan berkelanjutan,” urai Eri.
Kini, saatnya membangun mekanisme mengalirkan imbalan dari masyarakat hilir ke hulu. Komponen 3 menyusun nota kesepakatanimbal jasa lingkungan untuk pembiayaan konservasi yang berkelanjutan. Skema ini dilatar-belakangiterbatasnya dana konservasi, sementara laju deforestasi dan degradasi lahan berlangsung cepat.
Nota kesepakatan ini menautkan antara pemanfaat dengan penyedia jasa lingkungan air di daerah penyangga kawasan konservasi di hulu DAS Citarum. Dengan begitu, mekanisme ini mensyaratkan adanya kesepakatan antara penyedia jasa lingkungan dan pemanfaatnya.
Pengembangan imbal jasa lingkungan difokuskan di Taman Buru Gunung Masigit Kareumbi dan daerah penyangganya. Komunikasi juga dilakukan untuk membangun jaringan kerja dengan instansi Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten Sumedang, khususnya yang terkait dengan imbal jasa lingkungan.Penerapan nota kesepakatan imbal jasa ini tidak akan terlepas dari Balai Besar KSDA Jawa Barat sebagaipengelola kawasan.
Desa-desa yang menjadi penyedia jasa lingkungan di sub-DAS Citarik, adalah Sindulang, Kecamatan Cimanggung, Sumedang, dan Tanjungwangi, Kecamatan Cicalengka, Bandung. Dua desa ini masih memiliki lahan pertanian yang lumayan luas. Namun, pemanfaatan lahannya tidak sesuai dengan kaidah-kaidah konservasi. Akibatnya, lapisan tanah subur tergerus aliran air.Di dua desa ini sudah ada tapak kinerja atau lokasi untuk mewujudkan komitmen penyedia dalam mekanisme imbal jasa lingkungan air.
Sementara itu,pemanfaat jasa adalah warga Cihanjuang dan Sindang Pakuon. Dua desa ini menyadari air yang mereka manfaatkan dipengaruhi tata guna lahan di bagian hulu. Atas dasar pemahaman tersebut, dua desa pemanfaat ini berkomitmen menganggarkan dana konservasi air dengan melestarikan kawasan Masigit Kareumbi.
Setelah ada penyedia jasa lingkungan dan pemanfaatnya, dalam nota kesepakatan dituangkan kesediaan kedua pihak. Jadi, dalam nota kesepakatan imbal jasa lingkungan harus tertuangadanya pemanfaat, penyedia jasa lingkungan, dan tapak kinerja (lahan milik anggota kelompok penyedia jasa). Untuk itu, sebelum penulisan rancangan nota kesepakatan, perlu klarifikasi terhadap kondisi lapangan, lembaga penyedia, dan lembaga pemanfaat.
Sebagai bentuk komitmen kedua pihak, dirancang nota kesepakatan sebagai wujud solidaritas lingkungan. Tujuannya untukmerehabilitasi lahan pertanian melalui wanatanidi desapenyangga kawasan konservasi; pelestarian mata air; perbaikan kondisi ekonomi, sosial dan kelembagaan masyarakat di daerah penyangga, dan pelestarian kawasan Masigit Kareumbi.
Masing-masing kepala desa Cihanjuang dan Sindang Pakuon, mengamanatkan untuk menganggarkan 2 persen dan 7 persen dari keuntungan untuk konservasi tanah dan air.
Sementara itu, penyedia jasa bersedia menyusun rancangan teknis rehabilitasi lahan milik masyarakat; merehabilitasi lahan; merumuskan dan menyepakati aturan main kelompok; pelestarian mata air; perbaikan kondisi ekonomi, sosial dan kelembagaan masyarakat.
Satu hal yang unik dan menjadi salah satu ciri menonjol dari imbal jasa lingkungan air adalah tapak kinerja. Artinya, imbalan dari pemanfaat hanya akan diberikan setelah penyedia memenuhi komitmennya di tapak kinerja yang disepakati.Tapak kinerja jasa lingkungan dalam nota kesepakatan ini adalah kelestarian Taman Buru Gunung Masigit Kareumbi dan lahan pertanian milik warga yang tinggal di hulu Sungai Citarik.
Akhirnya, pada 14 Agustus 2015, bertempat di kantor Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Sumedang, Ketua BPAB Mitra Sejahtera Desa Sindangpakuon, Supendi, dan Ketua kelompok MDK Sindulang, Hendra Purnama, menandatangani nota kesepakatan pemanfaat dan penyedia jasa lingkungan air.
Penandatangan nota kesepakatan juga dilakukan antara pemanfaat Pamdes Maju Makmur dari Desa Cihanjuang, yang diwakili ketuanya, Tarmidi, dan penyedia yang diwakili Ketua Kelompok Lestari, Cimanggung, Aon Sumantri. Lantas, disusul oleh Ketua KSMTirta Pakuon, Ogi Diana Yusup, meneken nota kesepakatan dengan Asep Saepudin sebagai Ketua Kelompok MDK Tanjung Wangi.